Sejarah Pancasila menjadi fondasi utama Indonesia, dirumuskan melalui proses panjang dan penuh tantangan bagi bangsa ini.
Ideologi ini telah menjadi simbol harapan bagi seluruh masyarakat Indonesia dalam membangun bangsa dan negara. Proses pembentukan Pancasila adalah momen penting dalam perjalanan sejarah Indonesia.
Dengan keberagaman budaya dan latar belakang yang dimiliki bangsa ini, Pancasila tetap menjadi nilai yang hidup dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Indonesia.
Penting untuk diingat bahwa Pancasila hadir dalam semua aspek kehidupan bangsa.
Selanjutnya, akan dijelaskan tentang sejarah Pancasila, proses perumusan Pancasila, fungsinya, makna dari setiap sila, serta butir-butir pelaksanaan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan masyarakat.
Sejarah Pancasila: Perumusan dan Kelahirannya
Sejarah Pancasila berfokus pada perkembangan rumusan dasar negara Indonesia dari tahun 1945 hingga keluarnya Instruksi Presiden tahun 1968.
Pada awalnya, Jepang memberikan janji kemerdekaan kepada Indonesia, sehingga pada 29 April 1945 dibentuklah Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI).
Dalam proses tersebut, muncul berbagai usulan mengenai perumusan dasar negara. Buku Uraian Pancasila karya A. Saibini menjadi rujukan penting agar interpretasi Pancasila tidak menimbulkan kebingungan di masyarakat pasca-proklamasi kemerdekaan.
Pada sidang pertama BPUPKI, dasar negara mulai dirumuskan. Muhammad Yamin mengajukan rumusan yang mencakup:
- Peri Kebangsaan
- Peri Kemanusiaan
- Peri Ketuhanan
- Peri Kerakyatan
- Kesejahteraan Rakyat
Sementara itu, Mr. Soepomo mengusulkan dasar negara berisi:
- Nasionalisme
- Takut Kepada Tuhan
- Kerakyatan
- Kekeluargaan
- Keadilan Rakyat
Ir. Soekarno memberikan usulan yang mencakup:
- Nasionalisme
- Peri Kemanusiaan
- Mufakat demokrasi
- Kesejahteraan Sosial
- Ketuhanan Yang Maha Esa
Istilah “Pancasila” sendiri berasal dari usulan Ir. Soekarno.
Pada sidang kedua, BPUPKI membahas pidato terkait usulan dasar negara dari ketiga tokoh tersebut.
Pembahasan ini kemudian dilanjutkan oleh Panitia Sembilan, yang setelah beberapa rapat intensif, menghasilkan rumusan Pancasila dalam bentuk Piagam Jakarta, yang berisi:
- Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya
- Kemanusiaan yang adil dan beradab
- Persatuan Indonesia
- Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan
- Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Setelah berita kekalahan Jepang tersebar luas pada 15 Agustus 1945, kekosongan kekuasaan memaksa para pemimpin pergerakan Indonesia, Ir. Soekarno dan Moh. Hatta, untuk segera memproklamasikan kemerdekaan.
Pada 17 Agustus 1945, di Jalan Pegangsaan Timur No. 56, Jakarta, Soekarno-Hatta resmi memproklamasikan Kemerdekaan Indonesia atas nama bangsa Indonesia.
Fungsi dan Kedudukan Pancasila
Pancasila sebagai dasar negara Indonesia dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat dan berperan mengatur tata kehidupan bersama.
Dalam buku Dasar Negara Indonesia karya Bambang Suteng Sulasmono, dibahas berbagai nilai Pancasila yang menjadi fondasi negara ini.
Fungsi dan kedudukan Pancasila dibagi menjadi dua kelompok, yaitu:
1. Fungsi Utama
a. Pancasila sebagai Dasar Negara
Fungsi utama Pancasila adalah sebagai landasan negara, sebagaimana tertuang dalam pembukaan UUD 1945 ayat keempat:
“… maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat yang berdasar kepada: ketuhanan yang maha esa, kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan dan perwakilan, keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia …”
Kalimat “berdasar kepada” pada ayat tersebut menunjukkan bahwa Pancasila berperan sebagai dasar filosofis negara.
b. Pancasila sebagai Dasar Filosofis Negara
Sebagai dasar filsafat negara, Pancasila mencerminkan pemikiran rasional dan kritis yang menjadi pedoman hidup bangsa secara menyeluruh. Pancasila didasarkan pada beberapa aspek filosofis, antara lain ontologi, aksiologi, dan epistemologi.
Ontologi menurut Aristoteles adalah cabang filsafat yang mempelajari hakikat keberadaan, termasuk metafisika dan realitas.
Dalam konteks ini, Pancasila dianggap eksis secara nyata, mengakui keberadaan Tuhan dan keragaman kehidupan bangsa Indonesia sebagai hal yang riil.
Sila pertama, “Ketuhanan Yang Maha Esa,” mengakui keberadaan Tuhan sebagai pencipta alam semesta.
Sila kedua menekankan manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang membutuhkan pemeliharaan jiwa dan keimanan secara harmonis. Sila ketiga, “Persatuan Indonesia,” menyatakan metafisis tentang kesatuan yang utuh dan tidak terpisahkan.
Sila keempat mengakui rakyat sebagai pilar negara berdaulat, dan sila kelima menekankan nilai keadilan yang terpenuhi saat hak dan kewajiban warga negara berjalan seimbang.
Dari segi aksiologi, Pancasila mengandung nilai-nilai dasar yang membentuk hak dan kewajiban dalam masyarakat yang majemuk.
Aksiologi adalah cabang filsafat yang mempelajari makna, sumber, jenis, dan tingkat nilai-nilai. Tujuannya adalah memahami manfaat dari nilai-nilai tersebut.
Menurut teori kausalitas Aristoteles, Pancasila memiliki nilai intrinsik dan instrumental, sehingga berfungsi sebagai dasar negara sekaligus pandangan hidup masyarakat Indonesia. Mac Scheler membagi nilai menjadi material, vital, dan kerohanian.
Nilai material bersifat nyata, vital penting bagi kehidupan, dan kerohanian berhubungan dengan aspek psikologis manusia. Empat unsur nilai kerohanian meliputi kebenaran, kebaikan, keindahan, dan kesucian.
Nilai-nilai dalam sila Pancasila termasuk nilai kerohanian yang mencakup nilai material dan vital.
Dari sudut pandang epistemologi, Pancasila merupakan ilmu pengetahuan yang dapat dibuktikan serta memiliki dasar hukum yang kuat sesuai dengan UUD 1945. Epistemologi berasal dari kata Yunani “episteme” (pengetahuan/kebenaran) dan “logos” (pikiran/teori), yang berarti teori pengetahuan yang benar.
Kebenaran Pancasila dapat dianalisis melalui empat teori: koherensi, korespondensi, pragmatisme, dan performatif. Teori koherensi menyatakan Pancasila benar jika nilai-nilai sila saling berkesinambungan.
Teori korespondensi menilai kebenaran berdasarkan kesesuaian dengan realitas masyarakat Indonesia.
Teori pragmatis menilai kebenaran dari manfaat yang diberikan kepada masyarakat, dan teori performatif menilai berdasarkan perubahan sikap, budaya, dan semangat yang dihasilkan di masyarakat.
Sila ketiga dan keempat menekankan metode pelaksanaan yang mendukung aspek epistemologi ini.
Menjadikan Pancasila sebagai dasar negara berarti semua aspek penyelenggaraan dan aturan negara harus sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam sila-sila Pancasila.
Secara tidak langsung, Pancasila menjadi sumber utama bagi peraturan dan hukum yang berlaku di Indonesia, sekaligus menjadi dasar mutlak dalam sistem hukum negara.
c. Pancasila sebagai Sumber Segala Sumber Hukum di Indonesia
Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum berarti setiap peraturan perundang-undangan tidak boleh bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Namun demikian, Pancasila bukanlah dasar hukum tertinggi dalam hierarki perundang-undangan.
Sesuai Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 Tahun 2011, dasar hukum tertinggi adalah UUD 1945. Walaupun begitu, Pancasila memiliki posisi sebagai sumber utama bagi semua peraturan hukum yang berlaku di Indonesia.
2. Fungsi Lain
Selain sebagai dasar negara, Pancasila juga memiliki fungsi lain yang lahir dari penerapan fungsinya sebagai landasan negara Indonesia.
Fungsi-fungsi tersebut meliputi Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa, jati diri bangsa, dan ideologi negara.
a. Pancasila sebagai Pandangan Hidup Bangsa
Pancasila sebagai pandangan hidup berarti nilai-nilai di dalamnya menjadi pedoman dalam menjalani kehidupan bermasyarakat.
Semua lapisan masyarakat dan penyelenggara negara harus mengamalkan nilai-nilai Pancasila. Setiap sila mengandung makna yang membimbing perilaku masyarakat.
Sila pertama menegaskan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, menghormati keberagaman agama demi terciptanya kehidupan yang damai dan harmonis.
Sila kedua mengajarkan bahwa semua manusia setara, sehingga tidak ada yang berhak menguasai yang lain. Prinsip kemanusiaan ini mengajak kita saling tolong-menolong demi kedamaian bersama.
Sila ketiga mengutamakan persatuan dan kepentingan bangsa di atas kepentingan individu, menumbuhkan semangat nasionalisme untuk bersatu tanpa membeda-bedakan suku, ras, atau agama, serta mencintai dan bangga pada tanah air.
Sila keempat menekankan pentingnya musyawarah yang jujur dan bertanggung jawab, tanpa memaksakan kehendak pribadi demi mencapai mufakat bersama.
Sila kelima menegaskan prinsip keadilan sosial bagi seluruh rakyat, menghindari penindasan dan penghinaan, serta memastikan perlakuan adil dalam aspek hukum, politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
b. Pancasila sebagai Jati Diri Bangsa
Pancasila sebagai jati diri bangsa berarti menjadi ciri khas yang membedakan Indonesia dari bangsa lain. Nilai-nilai di dalamnya mencerminkan gagasan dasar bangsa tentang kehidupan yang ideal dan menggambarkan karakter masyarakat Indonesia.
Jati diri ini sangat penting dalam pembentukan identitas bangsa dan perjuangan bangsa Indonesia.
Oleh sebab itu, seluruh masyarakat perlu menghayati nilai-nilai Pancasila untuk menghindari bergesernya nilai etika, melemahnya kemandirian bangsa, dan terlupakannya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
c. Pancasila sebagai Ideologi Negara
Pancasila sebagai ideologi negara berarti Pancasila bukan hanya sekadar pemikiran individu atau kelompok, melainkan merupakan nilai-nilai adat, budaya, dan religius yang hidup dalam masyarakat Indonesia.
Ideologi merupakan pandangan dan cita-cita yang menjadi semangat kehidupan masyarakat. Ideologi terbagi menjadi dua jenis, yakni ideologi tertutup dan terbuka.
Ideologi tertutup berasal dari luar masyarakat dan bersifat dipaksakan sehingga masyarakat kurang merasa memilikinya.
Sebaliknya, ideologi terbuka muncul dari dalam masyarakat sendiri sehingga lebih diterima dan tidak terasa memaksa.
Menurut Frans Magnis Suseno, ideologi terbuka adalah yang nilai dan cita-citanya bersumber dari masyarakat sendiri, bukan adaptasi dari luar, dan memiliki nilai operasional yang diuraikan dalam nilai instrumental.
Berdasarkan kriteria ini, Pancasila termasuk ideologi terbuka. Sebagai ideologi terbuka, Pancasila bersifat dinamis dan tidak kaku. Ia dapat menyesuaikan dengan perkembangan zaman tanpa mengubah nilai-nilai dasarnya.
Selain itu, Pancasila dapat dikembangkan secara kreatif sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia.
Pancasila memiliki tiga unsur nilai yang menunjukkan sifatnya sebagai ideologi terbuka, yaitu nilai dasar, nilai instrumental, dan nilai praktis.
- Nilai dasar adalah kelima sila Pancasila: Ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, musyawarah, dan keadilan sosial yang menjadi cita-cita bangsa dan bersumber dari nilai-nilai masyarakat Indonesia.
- Nilai instrumental adalah pelaksanaan nilai dasar yang diwujudkan dalam norma sosial, kebijakan hukum, moral, agama, dan peraturan lain dalam masyarakat.
- Nilai praktis adalah realisasi nilai dasar dan instrumental yang tampak dalam perilaku sehari-hari masyarakat, menandakan hidupnya nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan nyata.
Ketiga nilai ini menjadi tolok ukur untuk menentukan apakah suatu ideologi bersifat terbuka atau tertutup.
Makna dan Isi Sila pancasila
Setiap butir Pancasila mengandung makna yang mendalam, antara lain:
Makna Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
Bangsa Indonesia meyakini dan beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, Sang Pencipta alam semesta. Indonesia mengakui keberagaman agama yang tetap menghormati nilai ketuhanan.
Sila pertama menegaskan bahwa Tuhan menjadi pedoman utama dalam kehidupan manusia.
Makna Sila Kemanusiaan yang Adil dan Beradab
Bangsa Indonesia menjunjung tinggi martabat manusia sehingga segala keputusan didasarkan pada norma-norma yang berlaku.
Sila kedua menekankan nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, di mana masyarakat saling membantu dalam kebaikan serta menciptakan kehidupan yang damai dan sejahtera.
Makna Sila Persatuan Indonesia
Sila ini melambangkan pentingnya menjaga kesatuan dan persatuan bangsa. Meskipun masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama, mereka tetap bersatu untuk membela tanah air.
Hal ini menunjukkan bahwa perbedaan tidak menjadi penghalang dalam mewujudkan kehidupan berbangsa dan bernegara yang harmonis.
Makna Sila Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan
Sila keempat menunjukkan bahwa kekuasaan tertinggi berada di tangan rakyat. Bangsa Indonesia mengutamakan penggunaan akal sehat dan musyawarah untuk mencapai mufakat dalam pengambilan keputusan demi persatuan dan kesatuan.
Makna Sila Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Sila kelima mengandung arti keadilan yang harus diterapkan dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat, meliputi bidang politik, ekonomi, pendidikan, kesehatan, serta sosial dan budaya, untuk seluruh lapisan masyarakat secara merata.
Butir-butir Pengamalan Pancasila Berdasarkan TAP MPR
Di tengah derasnya pengaruh globalisasi, banyak orang cenderung melupakan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila. Dalam kehidupan bermasyarakat saat ini, nilai-nilai tersebut sering kali diabaikan.
Oleh karena itu, penting untuk terus menerus melakukan kajian mendalam mengenai nilai-nilai Pancasila. Sebagai warga yang mencintai bangsanya, menjadi tanggung jawab bersama untuk menjaga keaslian nilai-nilai tersebut.
Menghadapi situasi ini, reformasi berusaha mengembalikan kedudukan dan fungsi Pancasila sebagaimana ditetapkan dalam sidang MPR.
Hal tersebut tertuang dalam TAP MPR No. XVIII/MPR/1998 yang mencabut P-4 dan menegaskan Pancasila sebagai satu-satunya dasar sosial politik di Indonesia.
Pada 12 April 1976, Presiden mengajukan gagasan pedoman untuk memahami dan mengamalkan Pancasila yang dinamakan ‘Ekaprasetia Pancakarsa’.
Presiden menyampaikan dua bahan pertimbangan kepada MPR, yaitu Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan P-4. Kemudian, Badan Pekerja MPR membentuk tiga panitia Ad Hoc yang bertugas menyusun rancangan ketetapan MPR tentang P-4.
Setelah bekerja selama tiga bulan, Panitia Ad Hoc II MPR mencapai kesepakatan bahwa P-4 menjadi pedoman hidup bermasyarakat dan bernegara bagi seluruh warga Indonesia.
Selain itu, khusus untuk sila Ketuhanan Yang Maha Esa, diperlukan penjelasan lebih lanjut karena masalah agama merupakan hal yang sensitif.
Rancangan ketetapan MPR tentang P-4 yang disusun panitia ini kemudian diterima oleh Badan Pekerja MPR dan akan dibahas dalam sidang umum pada Maret 1978.
Pada 21 Maret 1978, Rapat Paripurna MPR dengan suara mayoritas memutuskan ketetapan mengenai P-4.
Akhirnya, butir-butir Pancasila resmi diatur dalam Ketetapan MPR No. II/MPR/1978, yang memuat 36 butir pengamalan praktis sebagai pedoman pelaksanaan Pancasila bagi seluruh warga negara Indonesia.
Berikut 36 butir P-4 atau Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila:
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
- Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaannya dan ketakwaannya terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Manusia Indonesia percaya dan takwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
- Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing.
- Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
2. Sila Yang Adil dan Beradab
- Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
- Mengakui persamaan derajat, persamaan hak, dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
- Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
- Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
- Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
- Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
- Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
- Berani membela kebenaran dan keadilan.
- Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
- Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
3. Sila Persatuan Indonesia
- Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
- Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
- Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
- Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
- Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.
- Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
- Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
4. Sila Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijkasanaan Dalam Permusyawaratan dan Perwakilan
- Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama.
- Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
- Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
- Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
- Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
- Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
- Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
- Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
- Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
- Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.
5. Sila Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
- Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
- Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
- Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
- Menghormati hak orang lain.
- Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
- Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain.
- Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
- Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
- Suka bekerja keras.
- Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
- Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial
Sejak tahun 2003, 36 butir pengamalan Pancasila telah diganti menjadi 45 butir. Berikut Isi dari TAP MPR no. 1/MPR/2003:
1. Pengamalan Sila Ke-1 : Pancasila Ketuhanan Yang Maha Esa
- Bangsa Indonesia menyatakan kepercayaanya dan ketaqwaanya kepada Tuhan Yang Maha Esa.
- Manusia Indonesia percaya dan taqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa, sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab.
- Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama antara pemeluk agama dengan penganut kepercayaan yang berbeda-beda terhadap Tuhan Yang Maha Esa.
- Membina kerukunan hidup di antara sesama umat beragama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa
- Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
- Agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa adalah masalah yang menyangkut hubungan pribadi manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa.
- Mengembangkan sikap saling menghormati kebebasan menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan kepercayaanya masing masing
- Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa kepada orang lain.
2. Pengalaman Sila Ke-2: Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab
- Mengakui dan memperlakukan manusia sesuai dengan harkat dan martabatnya sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa.
- Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan kewajiban asasi setiap manusia, tanpa membeda-bedakan suku, keturunan, agama, kepercayaan, jenis kelamin, kedudukan sosial, warna kulit dan sebagainya.
- Mengembangkan sikap saling mencintai sesama manusia.
- Mengembangkan sikap saling tenggang rasa dan tepa selira.
- Mengembangkan sikap tidak semena-mena terhadap orang lain.
- Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
- Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
- Berani membela kebenaran dan keadilan.
- Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat manusia.
- Mengembangkan sikap hormat menghormati dan bekerjasama dengan bangsa lain.
3. Pengalaman Sila ke-3: Persatuan Indonesia
- Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan keselamatan bangsa dan negara sebagai kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
- Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan bangsa apabila diperlukan.
- Mengembangkan rasa cinta kepada tanah air dan bangsa.
- Mengembangkan rasa kebanggaan berkebangsaan dan bertanah air Indonesia.
- Memelihara ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.
- Mengembangkan persatuan Indonesia atas dasar Bhinneka Tunggal Ika.
- Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa.
4. Pengalaman Sila ke-4: Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan
- Sebagai warga negara dan warga masyarakat, setiap manusia Indonesia mempunyai kedudukan, hak dan kewajiban yang sama.
- Tidak boleh memaksakan kehendak kepada orang lain.
- Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk kepentingan bersama.
- Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi oleh semangat kekeluargaan.
- Menghormati dan menjunjung tinggi setiap keputusan yang dicapai sebagai hasil musyawarah.
- Dengan i’tikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
- Di dalam musyawarah diutamakan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi dan golongan.
- Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati nurani yang luhur.
- Keputusan yang diambil harus dapat dipertanggungjawabkan secara moral kepada Tuhan Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia, nilai-nilai kebenaran dan keadilan mengutamakan persatuan dan kesatuan demi kepentingan bersama.
- Memberikan kepercayaan kepada wakil-wakil yang dipercayai untuk melaksanakan pemusyawaratan.
5. Pengamalan Sile ke-5: Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
- Mengembangkan perbuatan yang luhur, yang mencerminkan sikap dan suasana kekeluargaan dan kegotongroyongan.
- Mengembangkan sikap adil terhadap sesama.
- Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
- Menghormati hak orang lain.
- Suka memberi pertolongan kepada orang lain agar dapat berdiri sendiri.
- Tidak menggunakan hak milik untuk usaha-usaha yang bersifat pemerasan terhadap orang lain
- Tidak menggunakan hak milik untuk hal-hal yang bersifat pemborosan dan gaya hidup mewah.
- Tidak menggunakan hak milik untuk bertentangan dengan atau merugikan kepentingan umum.
- Suka bekerja keras.
- Suka menghargai hasil karya orang lain yang bermanfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bersama.
- Suka melakukan kegiatan dalam rangka mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan sosial.
Makna Lambang Garuda Pancasila
Lambang Garuda Pancasila resmi disahkan pada 10 Juli 1951. Bentuk utama dari lambang ini adalah burung garuda, yang dikenal sebagai raja segala burung. Garuda melambangkan kekuatan dan dinamika, terlihat dari sayapnya yang terbentang luas. Kedua kaki garuda mencengkeram pita putih bertuliskan semboyan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ yang berarti ‘Berbeda-beda tetapi tetap satu’.
Makna Warna
Warna emas pada burung garuda menggambarkan keagungan, sedangkan merah putih pada perisai melambangkan keberanian dan kesucian.
Makna Jumlah Bulu
Jumlah bulu pada tiap sayap garuda ada 17 helai, melambangkan tanggal 17. Bulu ekornya ada 8 helai, mewakili bulan Agustus.
Sedangkan bulu pada leher berjumlah 45, yang menandai tahun 1945. Angka-angka tersebut memiliki arti historis untuk mengenang dan menghargai sejarah bangsa.
Makna Gambar Bintang di Perisai Kecil
Gambar bintang pada perisai kecil melambangkan sila pertama, mengingatkan seluruh warga negara untuk meningkatkan keimanan dan ketakwaan sesuai kepercayaan masing-masing serta saling menghormati keyakinan tersebut.
Makna Gambar Rantai Berwarna Kuning Emas
Rantai kuning emas mewakili sila kedua, melambangkan hubungan antar manusia yang saling membantu. Diharapkan masyarakat saling menyayangi, menghargai, dan memperjuangkan kebenaran bersama.
Makna Gambar Pohon Beringin
Pohon beringin yang besar dan rindang melambangkan sila ketiga, Persatuan Indonesia. Simbol ini menandakan persatuan, saling melindungi, cinta tanah air, dan kebanggaan terhadap bangsa sendiri.
Makna Kepala Banteng
Gambar kepala banteng melambangkan sila keempat, yang menunjukkan bahwa setiap warga memiliki kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama. Banteng sebagai hewan yang suka berkumpul melambangkan pentingnya musyawarah.
Makna Padi dan Kapas
Sila kelima diwakili oleh padi dan kapas, yang masing-masing melambangkan pangan dan sandang.
Simbol ini mengharapkan masyarakat hidup dalam kemakmuran dan kesejahteraan, dengan saling menghormati serta menjalankan hak dan kewajiban sebagai warga negara.
Pancasila merupakan dasar bagi negara dan masyarakat Indonesia, dimana tiap sila saling terkait dan melengkapi. Nilai-nilai dalam Pancasila sangat dinamis dan mengarahkan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Oleh sebab itu, pengamalan Pancasila harus menjadi tanggung jawab setiap individu dan lembaga negara di Indonesia.
Sebagai penutup, memahami sejarah Pancasila penting untuk menjaga nilai-nilai luhur bangsa agar tetap hidup dan menjadi pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.