JAKARTA - Wacana pengembangan pariwisata di kawasan Taman Nasional Komodo kembali menjadi sorotan. Komitmen terhadap pelestarian lingkungan kini menjadi perhatian utama di tengah pembangunan infrastruktur wisata yang mulai berkembang di wilayah tersebut. Wakil Ketua Komisi VII DPR RI, Evita Nursanty, menegaskan pentingnya Kementerian Kehutanan melakukan kajian ulang terhadap izin-izin usaha penyediaan sarana wisata yang telah diberikan di kawasan taman nasional.
Evita menyampaikan bahwa infrastruktur memang dibutuhkan, terlebih di destinasi super prioritas seperti Labuan Bajo. Namun, ia menekankan bahwa pembangunan harus tetap dalam kerangka konservasi dan tidak bertentangan dengan prinsip keberlanjutan.
UNESCO dan Nilai Universal Taman Nasional Komodo
Taman Nasional Komodo (TNK) telah diakui sebagai situs Warisan Dunia oleh UNESCO sejak tahun 1991. Status ini bukan sekadar penghargaan simbolik, melainkan pengakuan atas nilai universal luar biasa (Outstanding Universal Value/OUV) yang dimiliki kawasan tersebut. Oleh karena itu, Evita mengingatkan agar peringatan dari UNESCO tidak diabaikan.
Menurutnya, pembangunan di kawasan taman nasional harus dikaji secara menyeluruh dan sensitif terhadap perubahan ekosistem. Jika pembangunan tidak lagi sejalan dengan nilai-nilai konservasi, maka langkah penghentian perlu segera diambil.
Perubahan Zonasi dan Dampaknya
Perubahan zonasi kawasan taman nasional pada tahun 2012 menjadi sorotan utama dalam persoalan ini. Sebelumnya merupakan zona konservasi, kawasan tersebut kemudian dialihkan menjadi zona pemanfaatan, yang memungkinkan aktivitas pembangunan dilakukan. Perubahan ini, menurut dugaan, tidak dilaporkan kepada UNESCO, yang menjadi salah satu alasan kekhawatiran badan dunia tersebut.
Evita berpendapat bahwa revisi zonasi tersebut harus ditinjau ulang. Bila terbukti mengganggu habitat komodo, maka zonasi harus dikembalikan ke bentuk semula demi melindungi lingkungan hidup satwa endemik tersebut.
Konsesi di Kawasan Taman Nasional
Pemberian izin kepada pihak swasta untuk mengelola lahan di TNK dilakukan berdasarkan sejumlah keputusan menteri. PT Kencana Watu Lestari (PT KWT), misalnya, mengantongi konsesi seluas 426,07 hektar di Pulau Padar. Sementara itu, PT Segara Komodo Lestari (PT SKL) memperoleh konsesi di Pulau Rinca seluas 22,10 hektar.
Meski diizinkan secara hukum, Evita menegaskan bahwa pembangunan semestinya tidak mengabaikan aspek konservasi. Ia juga menyoroti bahwa izin yang diberikan tak boleh menyalahi prinsip pengelolaan taman nasional secara ekologis dan sosial.
Konservasi dan Keterlibatan Masyarakat Lokal
Dalam pengelolaan kawasan taman nasional, keterlibatan masyarakat adat dan lokal adalah hal yang krusial. Evita menyesalkan kenyataan bahwa masyarakat justru sering kali tidak dilibatkan secara aktif dalam perencanaan dan evaluasi proyek wisata.
Padahal, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya dengan jelas menyatakan bahwa konservasi merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah dan masyarakat. Dalam pandangannya, partisipasi aktif masyarakat adalah kunci dalam mewujudkan pengelolaan kawasan konservasi yang adil dan berkelanjutan.
Risiko Tekanan Terhadap Habitat Komodo
Komodo sebagai spesies langka dan endemik memiliki ruang hidup yang harus dijaga. Hewan tersebut bergerak bebas tanpa memahami batas zonasi buatan manusia. Oleh sebab itu, pembangunan infrastruktur skala besar di dalam kawasan TNK dikhawatirkan dapat menekan habitat dan mengganggu pola hidup satwa tersebut.
Evita menekankan bahwa pembangunan yang tidak terkontrol berpotensi mengancam keberadaan komodo secara langsung. Maka dari itu, penataan ruang kawasan taman nasional harus dilakukan dengan sangat cermat, tidak bisa dilakukan secara sembarangan atau semata-mata berdasarkan pertimbangan ekonomi.
Tuntutan Audit Independen dan Standar Internasional
Dalam pernyataannya, Evita juga mendorong pemerintah untuk melakukan audit independen terhadap seluruh proyek pariwisata yang tengah berjalan di kawasan TNK. Tujuannya adalah memastikan bahwa seluruh kegiatan wisata sejalan dengan standar perlindungan situs warisan dunia UNESCO.
Ia menegaskan bahwa proyek-proyek di kawasan taman nasional tidak bisa hanya mengacu pada izin administratif semata. Harus ada evaluasi mendalam terhadap dampaknya terhadap lingkungan dan budaya lokal.
Seruan Perlindungan Status Warisan Dunia
Evita mengingatkan bahwa status TNK sebagai warisan dunia merupakan aset nasional dan internasional yang tidak bisa dikompromikan. Menurutnya, seluruh pembangunan di kawasan tersebut harus dinilai dengan pendekatan analisis dampak lingkungan yang menyeluruh.
Ia menambahkan bahwa pelanggaran terhadap nilai-nilai konservasi dapat berujung pada pencabutan status warisan dunia oleh UNESCO, yang tentu akan menjadi kerugian besar bagi Indonesia, baik secara ekologis maupun citra global.
Komitmen Jangka Panjang untuk Destinasi Wisata Kelas Dunia
Sebagai salah satu destinasi wisata unggulan Indonesia, Taman Nasional Komodo memerlukan perhatian yang ekstra dalam pengelolaannya. Evita menyatakan bahwa pendekatan pembangunan yang hanya berorientasi pada keuntungan jangka pendek tidak akan berkelanjutan.
Ia mengajak semua pihak, termasuk kementerian terkait, pelaku usaha, dan masyarakat sipil untuk bersama-sama menjaga kelestarian TNK. Ia berharap pembangunan pariwisata di Indonesia dapat menjadi contoh baik bagi dunia, bukan sebaliknya.
Dengan pendekatan yang menyeimbangkan antara pelestarian dan pemanfaatan, Evita percaya bahwa Indonesia bisa membangun sektor wisata yang tidak hanya menarik bagi wisatawan, tetapi juga berkelanjutan dan berpihak pada kelestarian alam serta masyarakat lokal.