JAKARTA - Penggunaan gadget dalam kehidupan sehari-hari kini menjadi pemandangan umum, terutama di kalangan anak muda Indonesia. Perangkat digital seperti ponsel, tablet, dan komputer tidak lagi hanya digunakan untuk keperluan komunikasi, melainkan juga sebagai sarana hiburan, pembelajaran, dan eksplorasi sosial. Namun di balik berbagai manfaat tersebut, tersimpan tantangan besar yang harus dihadapi, yakni dampaknya terhadap kesehatan mental, khususnya pada generasi muda yang tumbuh di tengah gelombang digital.
Berdasarkan data dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), lebih dari 79,5% penduduk Indonesia telah terhubung dengan internet. Angka ini menunjukkan betapa masifnya peran teknologi dalam kehidupan masyarakat. Tidak hanya itu, Indonesia bahkan menjadi negara dengan jumlah pengguna aktif TikTok tertinggi di dunia, mencapai lebih dari 157 juta pengguna. Fakta ini menunjukkan bahwa keterlibatan masyarakat Indonesia dalam media sosial, terutama anak muda, sangatlah tinggi.
Namun, kemajuan teknologi dan akses informasi yang luas ini memiliki konsekuensi tersendiri. Salah satunya adalah meningkatnya risiko gangguan kesehatan mental akibat paparan berlebihan terhadap dunia digital. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018 mencatat bahwa sekitar 29% remaja berusia 10 hingga 19 tahun di Indonesia mengalami gejala gangguan kesehatan mental. Kondisi ini tidak bisa diabaikan, terutama ketika remaja menghabiskan waktu berjam-jam dengan perangkat mereka tanpa disertai pendampingan atau edukasi yang memadai mengenai risiko psikologis yang bisa muncul.
Khususnya di wilayah DKI Jakarta, permasalahan ini juga tampak nyata. dr. Herwin Meifendy, Kepala Suku Dinas Kesehatan, menjelaskan bahwa sekitar 5,91% penduduk Jakarta mengalami depresi. Dari jumlah itu, 0,06% mengalami gangguan kejiwaan berat, sementara 0,44% pernah memiliki keinginan untuk mengakhiri hidup. Tidak hanya itu, gangguan mental emosional pada warga DKI Jakarta tercatat sebesar 10,01%, dan gangguan berat mencapai 6,6%. Angka-angka ini menyoroti pentingnya dukungan yang lebih besar dari lingkungan sekitar serta peningkatan akses terhadap layanan kesehatan mental.
Kementerian Kesehatan juga menyoroti pentingnya memahami kondisi psikologis remaja secara lebih mendalam. Lembaga tersebut mencatat bahwa depresi menjadi penyebab utama disabilitas pada kelompok usia muda. Bahkan, depresi kini menjadi penyebab kematian keempat di kalangan remaja secara global. Berdasarkan survei kesehatan mental remaja Indonesia tahun 2022, sebanyak 5,5% remaja usia 10–17 tahun mengalami gangguan mental, dengan 1% di antaranya menunjukkan gejala depresi. Hal ini menunjukkan bahwa tekanan mental yang dihadapi generasi muda tidak lagi bisa dianggap ringan, apalagi jika diperparah oleh kecanduan terhadap perangkat digital.
Di sisi lain, para pelaku industri juga menunjukkan perhatian terhadap fenomena ini. Rachel Yiska Setyadi, Vice President Sales Marketing PT Indomobil Edukasi Utama, mengemukakan bahwa media sosial bisa menjadi sumber tekanan tersendiri bagi anak muda. Menurutnya, meskipun teknologi digital memiliki banyak manfaat, penggunaan yang berlebihan dapat menimbulkan risiko serius terhadap keseimbangan mental. Ia menekankan pentingnya mendidik generasi muda agar memahami cara menggunakan teknologi secara sehat.
Pendapat serupa disampaikan oleh Harry Iskandar, Country Manager untuk Volvo Buses Indonesia. Menurutnya, pendidikan mengenai penggunaan digital seharusnya dimulai sejak dini agar generasi muda memiliki ketahanan mental yang kuat. Di era ketika informasi dapat menyebar dengan sangat cepat, anak-anak dan remaja perlu dibekali dengan kemampuan untuk mengelola tekanan dan tantangan yang muncul dari lingkungan digital mereka.
Kondisi ini menunjukkan bahwa upaya untuk melindungi kesehatan mental tidak cukup hanya dengan membatasi penggunaan gadget, tetapi juga memerlukan pendekatan yang lebih menyeluruh. Edukasi mengenai literasi digital, dukungan emosional dari keluarga, serta kebijakan yang ramah remaja dari lembaga pendidikan dan pemerintah menjadi langkah penting dalam menciptakan lingkungan yang kondusif bagi perkembangan mental anak muda.
Masyarakat juga memiliki peran besar dalam membentuk narasi yang positif terkait kesehatan mental. Stigma yang masih melekat terhadap gangguan kejiwaan kerap membuat individu enggan mencari bantuan. Padahal, konsultasi dengan ahli kesehatan mental merupakan langkah awal yang penting untuk memulihkan kondisi psikologis yang terganggu. Kesadaran bahwa mencari bantuan bukanlah tanda kelemahan, melainkan bentuk kepedulian terhadap diri sendiri, perlu terus disuarakan.
Peningkatan kesadaran akan isu ini menjadi titik tolak bagi terciptanya lingkungan sosial yang lebih sehat dan suportif. Dalam menghadapi era digital yang terus berkembang, membangun keseimbangan antara penggunaan teknologi dan kesehatan mental menjadi tantangan yang perlu dijawab bersama. Dengan edukasi yang tepat, dukungan keluarga yang kuat, serta sistem layanan kesehatan yang mudah diakses, diharapkan generasi muda Indonesia mampu tumbuh menjadi pribadi yang tangguh, kritis, dan sehat secara mental di tengah derasnya arus digitalisasi.
Mengelola penggunaan gadget bukan berarti menolak kemajuan teknologi, melainkan memastikan bahwa teknologi hadir untuk meningkatkan kualitas hidup, bukan sebaliknya. Saat semua pihak orang tua, pendidik, pemerintah, dan pelaku industri—turut berkontribusi dalam memberikan pemahaman serta perlindungan, maka masa depan yang lebih sehat secara mental bisa benar-benar terwujud untuk anak-anak dan remaja Indonesia.