JAKARTA - Bank Indonesia (BI) menaruh perhatian besar pada penguatan infrastruktur sebagai fondasi utama dalam menjaga stabilitas sistem pembayaran nasional. Langkah ini tidak hanya untuk menjawab tingginya dinamika transaksi internasional, tetapi juga untuk memastikan aktivitas ekonomi domestik tetap berjalan optimal.
Seiring meningkatnya transaksi luar negeri dan tingginya eksposur terhadap kewajiban dalam dolar AS, BI terus mendorong penguatan sistem keuangan domestik yang berdaya tahan. Menurut Direktur Departemen Kebijakan Sistem Pembayaran BI, Dudi Dermawan Saputra, kondisi tersebut menuntut penguatan peran rupiah melalui pengembangan transaksi lintas negara berbasis mata uang lokal.
“Untuk itu, kami menciptakan konsep Local Currency Transaction (LCT), menunjuk Appointed Cross Currency Dealers (ACCD), serta menjalin kerja sama bilateral melalui skema swap,” ujar Dudi.
LCT, atau transaksi dalam mata uang lokal, merupakan upaya untuk mengurangi ketergantungan terhadap dolar Amerika Serikat dalam perdagangan internasional. Penunjukan ACCD menjadi bagian dari strategi implementasi agar transaksi lintas negara dapat dilakukan lebih efisien dengan tetap menjaga stabilitas nilai tukar.
Lebih jauh, BI juga mengembangkan sistem pemantauan yang berbasis digital guna menangkap pergerakan ekonomi rumah tangga. Berbagai instrumen pembayaran non-tunai seperti QRIS, uang elektronik, kartu debit dan kredit, paylater, hingga layanan transfer dan tarik tunai, menjadi sumber data yang memberi gambaran akurat mengenai pola konsumsi masyarakat.
“Ekonomi tetap bergerak melalui konsumsi rumah tangga. Dan konsumsi itu tercermin dari akseptasi penggunaan alat-alat digital,” ungkap Dudi. Dengan data tersebut, BI dapat membaca tren konsumsi nasional secara real time, sekaligus melakukan kalibrasi kebijakan yang lebih tepat sasaran.
Tidak hanya pada sektor rumah tangga, Bank Indonesia juga memanfaatkan teknologi sistem pembayaran dalam memantau kinerja korporasi. Sistem Automatic Transfer and Gross Settlement (ATGS) menjadi instrumen penting untuk melihat mobilitas dana antar sektor usaha, termasuk sektor strategis seperti transportasi dan properti.
“Kami melihat langsung dari data ATGS, apakah korporasi bergerak atau tidak, dan sektor mana yang dominan,” ujar Dudi menambahkan. Data ini memungkinkan BI untuk menyusun proyeksi pertumbuhan ekonomi secara lebih presisi, serta mengidentifikasi titik-titik tekanan atau potensi pertumbuhan yang perlu ditindaklanjuti.
Di sisi lain, BI menekankan pentingnya kestabilan teknis sistem pembayaran. Gangguan kecil dalam sistem ATGS, terutama pada salah satu bank, dapat menimbulkan dampak domino terhadap interkoneksi antarbank. Dalam kondisi seperti itu, risiko peningkatan suku bunga pun meningkat.
“Jika suku bunga meningkat, maka solusinya bukan langsung pada sisi moneter, melainkan perkuat dulu infrastrukturnya,” tegas Dudi. Stabilitas infrastruktur, dalam pandangan BI, merupakan penopang utama agar sistem pembayaran berjalan dengan lancar, efisien, dan tidak menimbulkan gejolak yang tidak perlu di pasar keuangan.
Inilah yang mendasari Bank Indonesia untuk terus memperkuat kolaborasi dengan berbagai pihak dalam pengembangan infrastruktur pembayaran nasional. Tidak hanya berfokus pada penguatan teknologi dan jaringan, tetapi juga peningkatan keandalan serta ketahanan sistem terhadap berbagai bentuk gangguan.
Langkah-langkah ini menjadi bagian dari strategi besar BI dalam menjaga kelangsungan sistem pembayaran yang inklusif dan modern. Dengan pendekatan berbasis data dan digitalisasi, BI tidak hanya meningkatkan efisiensi transaksi tetapi juga memperluas akses keuangan ke seluruh penjuru negeri.
Upaya BI memperkuat infrastruktur pembayaran juga sejalan dengan transformasi digital yang tengah melanda sektor keuangan global. Keberadaan data sebagai aset strategis menjadi penting, karena memungkinkan pengambilan keputusan berbasis bukti nyata dan aktual.
Dengan terus memantau dinamika transaksi lintas sektor, BI mampu menjaga keseimbangan antara stabilitas sistem dan kebutuhan pertumbuhan ekonomi. Di tengah tantangan global seperti volatilitas nilai tukar, perubahan arah suku bunga global, maupun dinamika geopolitik, ketahanan sistem pembayaran domestik menjadi instrumen pertahanan utama.
Keseluruhan inisiatif ini menunjukkan bagaimana infrastruktur sistem pembayaran tidak lagi sekadar alat teknis, tetapi telah menjadi elemen strategis dalam pembangunan ekonomi nasional. Peran aktif BI dalam memperkuat sistem ini merupakan bentuk nyata komitmen menjaga daya saing dan ketahanan perekonomian Indonesia di era digital.
Melalui langkah-langkah konsisten dan berbasis data, Bank Indonesia tidak hanya memperkuat pondasi sistem keuangan, tetapi juga membuka jalan bagi tumbuhnya ekonomi digital yang inklusif, efisien, dan tangguh menghadapi berbagai tekanan eksternal.