Properti

Properti dalam Keluarga Semakin Setara

Properti dalam Keluarga Semakin Setara
Properti dalam Keluarga Semakin Setara

JAKARTA - Di tengah dinamika kehidupan masyarakat Indonesia saat ini, praktik pengelolaan properti dalam keluarga menunjukkan perubahan positif yang patut diapresiasi. Meskipun budaya patriarki masih terasa dalam sejumlah aspek sosial, ternyata banyak rumah tangga di Indonesia telah menerapkan pola pengelolaan aset dan pendapatan yang egaliter.

Tradisi ini tercermin dari semakin banyaknya pasangan suami istri yang menjalani kehidupan rumah tangga dengan semangat kebersamaan. Penghasilan yang diperoleh oleh suami maupun istri tidak lagi dilihat sebagai milik pribadi, melainkan sebagai bagian dari ekonomi keluarga secara kolektif.

Fenomena ini tampak di berbagai lapisan masyarakat, baik di wilayah perkotaan maupun pedesaan. Kesadaran untuk mengelola ekonomi rumah tangga secara adil telah menjadi bagian dari keseharian banyak keluarga. Suami dan istri terbuka dalam mendiskusikan keuangan, termasuk bagaimana pendapatan dialokasikan untuk kebutuhan bersama.

Hal ini menandai pergeseran penting dalam cara pandang terhadap properti rumah tangga. Bukan lagi sebagai milik individual yang eksklusif, melainkan sebagai tanggung jawab bersama yang dibangun atas dasar kepercayaan dan komunikasi.

Menurut Dr. Faqihuddin Abdul Kodir, pemikir Islam progresif yang dikenal aktif memperjuangkan nilai-nilai keadilan dalam relasi keluarga, praktik berbagi kepemilikan dan pengelolaan properti keluarga sebenarnya telah hidup dalam masyarakat Indonesia sejak lama. Ia menyebut bahwa pola ini bukanlah hal baru, melainkan bagian dari realitas sosial yang telah mengakar di berbagai daerah.

“Praktik sharing properti keluarga bukanlah hal asing dalam masyarakat Indonesia. Justru ia telah menjadi bagian dari realitas sosial di berbagai daerah,” ujar Dr. Faqihuddin.

Meskipun pengaruh budaya patriarki masih membekas dalam sejumlah praktik rumah tangga, namun tidak sedikit keluarga yang secara sadar atau tidak telah membangun sistem yang lebih adil. Mereka menjunjung tinggi kesalingan, baik dalam membagi penghasilan maupun dalam mendukung peran ekonomi satu sama lain.

Contoh nyata dari pembagian peran yang setara dalam ekonomi keluarga juga terlihat dalam banyak kisah tentang perempuan yang menjadi kepala keluarga. Peran mereka tidak terbatas sebagai pelengkap, tetapi justru sebagai penopang utama keberlangsungan ekonomi rumah tangga. Dalam beberapa kasus, istri menjadi sumber pendapatan utama, bahkan ketika suami masih bekerja.

Hal ini memberikan pemahaman baru bahwa konsep nafkah tidak harus selalu didominasi oleh pihak laki-laki. Nafkah menjadi bentuk tanggung jawab bersama yang disesuaikan dengan kondisi dan kemampuan masing-masing anggota keluarga.

Di sisi lain, nilai simbolik yang melekat pada mahar pernikahan juga menjadi refleksi dari cara pandang masyarakat terhadap keadilan ekonomi dalam rumah tangga. Di Indonesia, mahar seringkali berupa mushaf al-Qur’an, seperangkat alat salat, atau sejumlah uang kecil yang tidak semata-mata dimaknai sebagai jaminan ekonomi bagi perempuan.

Fungsi mahar dalam praktik sosial lebih sebagai simbol spiritual dan komitmen pernikahan. Maka, jaminan ekonomi yang sebenarnya lahir dari relasi yang saling menguatkan dalam kehidupan rumah tangga, bukan dari bentuk materi yang dibawa saat ijab kabul.

Sikap saling menghargai dalam pembagian peran ekonomi juga terlihat dalam pembagian warisan. Banyak keluarga yang membagi harta tidak semata-mata berdasar rumusan hukum waris klasik, tetapi mempertimbangkan aspek keadilan substantif. Dalam beberapa kasus, keluarga memilih membagi warisan berdasarkan kebutuhan anggota keluarga, terutama yang paling rentan, alih-alih berdasarkan perhitungan matematis semata.

Pendekatan semacam ini memperlihatkan bahwa masyarakat Indonesia memiliki landasan budaya yang kuat dalam menciptakan keadilan sosial. Tradisi musyawarah yang hidup di tengah masyarakat menjadi mekanisme penting dalam menciptakan kesepakatan yang adil bagi seluruh anggota keluarga.

Semangat berbagi properti ini sejalan dengan nilai-nilai keislaman yang inklusif dan menjunjung tinggi keadilan. Apa yang kini dibutuhkan adalah penyadaran dan penguatan nilai-nilai tersebut melalui pendekatan keagamaan dan hukum yang berpihak pada nilai kesetaraan, sebagaimana yang terus diperjuangkan oleh tokoh-tokoh pemikir keislaman progresif seperti Dr. Faqihuddin Abdul Kodir.

“Yang kita butuhkan hari ini adalah kesadaran kritis untuk memperkuat praktik-praktik baik itu dengan narasi keagamaan dan hukum yang berpihak pada keadilan,” ungkapnya.

Membuka kembali diskusi tentang konsep kepemilikan properti dalam keluarga tidak berarti menentang tradisi, justru sebaliknya, menjadi cara untuk menegaskan kembali nilai-nilai luhur yang telah lama hidup di masyarakat. Diskusi semacam ini mampu menjadi jembatan untuk memperkuat pola relasi keluarga yang adil, saling menghormati, dan berbasis pada kesalingan.

Dengan memperkuat praktik-praktik baik ini, keluarga Indonesia tidak hanya membangun fondasi ekonomi yang kokoh, tetapi juga menumbuhkan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang harmonis. Properti bukan sekadar aset, melainkan cermin dari relasi yang sehat dan bertanggung jawab.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index