BMKG

BMKG Ungkap Penyebab Udara Dingin di NTT

BMKG Ungkap Penyebab Udara Dingin di NTT
BMKG Ungkap Penyebab Udara Dingin di NTT

JAKARTA - Fenomena udara dingin yang kembali dirasakan warga di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT) akhir-akhir ini bukanlah hal yang mengkhawatirkan. Dalam beberapa malam terakhir, masyarakat mengaku merasakan hawa yang sangat menusuk, terutama menjelang dini hari. Namun, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menyampaikan bahwa kondisi ini merupakan bagian dari pola cuaca musiman yang normal terjadi setiap tahun.

Menurut BMKG, fenomena udara dingin tersebut dikenal sebagai bediding sebutan lokal yang populer di wilayah Jawa untuk menggambarkan suhu dingin saat malam hingga pagi hari. Meski namanya berasal dari bahasa daerah lain, pola cuaca ini juga terjadi di banyak tempat di Indonesia, termasuk NTT, sebagai bagian dari puncak musim kemarau.

Ketua Tim Prediksi dan Peringatan Dini Cuaca BMKG, Ida Pramudawardani, menjelaskan bahwa bediding adalah fenomena yang wajar dan sudah menjadi siklus tahunan. Suhu udara yang menurun drastis pada malam hari ini bukanlah sesuatu yang baru atau mengherankan. Bahkan, diperkirakan akan terus berlangsung hingga awal September 2025, mengikuti pola intensitas musim kemarau tahun ini yang cukup kuat.

"Ini adalah kejadian yang rutin terjadi setiap musim kemarau, terutama di wilayah selatan Indonesia. Tidak perlu panik, karena ini bagian dari siklus cuaca tahunan," kata Ida Pramudawardani seperti dikutip dari berbagai sumber.

Penurunan suhu ini, tambah Ida, paling terasa menjelang dini hari hingga pagi, ketika panas dari permukaan bumi menghilang lebih cepat akibat kondisi langit yang cerah tanpa awan. Hal tersebut merupakan indikator atmosfer yang sedang berada dalam puncak musim kemarau, di mana hujan turun secara sporadis dan kelembapan udara cenderung rendah.

BMKG juga menegaskan bahwa penyebab suhu dingin kali ini bukan karena fenomena Aphelion. Melalui akun Instagram resminya, BMKG menampik anggapan keliru yang menyebutkan bahwa suhu dingin di Indonesia berkaitan dengan jarak Bumi dan Matahari yang mencapai titik terjauh atau Aphelion, biasanya terjadi setiap awal Juli.

"Aphelion tidak berpengaruh signifikan terhadap penurunan suhu udara di wilayah tropis seperti Indonesia," jelas BMKG dalam keterangannya. Jadi, penurunan suhu ini lebih dipengaruhi oleh faktor atmosfer lokal, bukan karena posisi orbit bumi terhadap matahari.

Lebih lanjut, BMKG mengidentifikasi tiga faktor utama yang menyebabkan suhu udara terasa lebih dingin, khususnya di wilayah NTT dan sekitarnya:

-Angin Monsun Australia

Angin musiman ini berasal dari Benua Australia dan bertiup menuju Indonesia. Sifatnya kering dan dingin, serta sering muncul selama musim kemarau. Karena berasal dari wilayah selatan, angin ini membawa udara dingin ke daerah selatan khatulistiwa seperti NTT, NTB, dan sebagian Jawa Timur.

-Langit Cerah pada Malam Hari

Kondisi langit yang bersih dari awan menyebabkan panas yang disimpan bumi di siang hari lepas ke atmosfer lebih cepat saat malam. Tanpa adanya awan yang menahan radiasi panas, suhu permukaan menjadi turun drastis. Efek ini sangat terasa antara tengah malam hingga pagi hari.

-Hujan yang Turun Secara Sporadis

Meskipun sedang musim kemarau, hujan masih bisa turun di beberapa tempat. Saat hujan turun, massa udara dingin dari awan terbawa hingga ke permukaan. Selain itu, hujan juga menghambat sinar matahari yang seharusnya menghangatkan bumi di siang hari, sehingga proses pemanasan berkurang dan menyebabkan udara tetap sejuk.

Menyikapi kondisi ini, BMKG mengimbau masyarakat, terutama yang tinggal di dataran tinggi atau wilayah yang rentan terhadap penurunan suhu ekstrem, agar lebih menjaga kesehatan. Perubahan suhu yang cukup drastis antara siang dan malam bisa berdampak pada daya tahan tubuh, terutama pada anak-anak, lansia, serta individu dengan kondisi kesehatan khusus.

Beberapa hal yang dapat dilakukan warga untuk menjaga kesehatan selama periode udara dingin ini antara lain:

-Menggunakan pakaian hangat saat tidur atau saat beraktivitas di luar rumah pada pagi dan malam hari.

-Meningkatkan asupan makanan bergizi dan minum air hangat secara teratur.

-Menghindari aktivitas berat di luar ruangan saat dini hari, terutama bagi mereka yang memiliki masalah pernapasan.

-Menjaga kelembaban udara dalam rumah, bisa dengan cara sederhana seperti menggunakan ember berisi air atau pelembab ruangan (humidifier).

Fenomena seperti ini sesungguhnya memberikan pelajaran bagi masyarakat untuk lebih peka terhadap perubahan iklim lokal. Selain itu, siklus bediding juga menunjukkan bagaimana alam bekerja dalam pola yang tetap dan bisa diprediksi secara ilmiah. Ini menjadi salah satu contoh pentingnya peran BMKG dalam menyediakan informasi cuaca yang akurat dan edukatif untuk masyarakat.

Dengan penjelasan ilmiah yang disampaikan BMKG secara terbuka dan jelas, masyarakat diharapkan tidak lagi terjebak dalam informasi keliru yang beredar di media sosial. Justru dengan pemahaman yang benar, fenomena ini bisa dihadapi dengan sikap tenang dan penuh kesiapan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index