Transportasi

Transportasi Sungai Tetap Jadi Andalan Kota

Transportasi Sungai Tetap Jadi Andalan Kota
Transportasi Sungai Tetap Jadi Andalan Kota

JAKARTA - Di tengah laju modernisasi dan pembangunan infrastruktur kota, Samarinda masih menyimpan sebuah wajah tradisional yang tetap hidup yakni transportasi sungai menggunakan perahu tambangan. Meski jembatan-jembatan megah dan jalan tol kini menghubungkan berbagai wilayah, perahu kecil berbahan kayu ini tetap setia mengantarkan warga menyeberangi Sungai Mahakam. Bukan sekadar alat penghubung, tambangan adalah cerminan identitas lokal yang tetap kuat di tengah kemajuan zaman.

Masyarakat Samarinda mengenal perahu tambangan sebagai moda transportasi air yang telah berfungsi sejak lama. Mengandalkan badan perahu kayu dengan mesin kecil, tambangan menjadi alat utama untuk menyeberangi Sungai Mahakam sebelum infrastruktur modern berkembang seperti sekarang.

Walaupun jembatan Mahakam dan berbagai jalur darat telah tersedia, perahu tambangan masih digunakan di beberapa titik, seperti di wilayah Pasar Pagi, Loa Bakung, dan Kampung Baqa. Keberadaannya bukan hanya memenuhi fungsi transportasi, tetapi juga merepresentasikan sejarah panjang dan nilai sosial yang diwariskan antar generasi.

Tambangan bukan sekadar kendaraan air. Ia adalah bagian dari sistem kehidupan yang menyatu dengan alam dan lingkungan sekitar. Tambangan menjadi penghubung antar kampung tua, tempat berkumpulnya warga, hingga menjadi saksi bisu perjalanan waktu masyarakat di tepian Mahakam.

Di beberapa lokasi, tambangan juga dilibatkan dalam momen-momen adat atau kegiatan tradisional. Misalnya, digunakan dalam penyeberangan upacara selamatan atau festival budaya yang digelar komunitas setempat. Kehadirannya mengandung makna lebih dalam daripada hanya sekadar fungsional; ia menjadi simbol keterikatan masyarakat dengan nilai-nilai lokal dan kebiasaan lama yang tetap dihargai.

Namun, perubahan zaman membawa tantangan tersendiri bagi keberlanjutan tambangan. Pertama, keberadaan infrastruktur modern seperti jembatan dan jalan tol mengurangi kebutuhan masyarakat untuk menyeberangi sungai dengan perahu. Kedua, generasi muda kini mulai meninggalkan profesi sebagai pengemudi tambangan, karena pilihan pekerjaan yang dianggap lebih menjanjikan di sektor lain. Ketiga, kondisi sungai yang mulai mengalami pendangkalan serta polusi air menyulitkan navigasi perahu kecil ini.

Meskipun demikian, berbagai pihak mulai bergerak untuk memastikan perahu tambangan tetap mendapat tempat di hati masyarakat. Di Samarinda, telah muncul komunitas-komunitas budaya yang mendokumentasikan sejarah dan kisah para pengemudi tambangan. Cerita-cerita ini diabadikan dalam buku, film dokumenter, dan media sosial agar lebih mudah diakses oleh generasi muda.

Tak hanya itu, Dinas Pariwisata juga mulai mengambil peran aktif dengan menjadikan perahu tambangan sebagai bagian dari paket wisata Sungai Mahakam. Para wisatawan bisa merasakan langsung pengalaman menyusuri sungai dengan tambangan, sekaligus mengenal budaya lokal dari narasi para pengemudi yang telah puluhan tahun menekuni pekerjaan ini.

Sekolah-sekolah di Samarinda turut serta dalam menjaga eksistensi budaya tambangan. Kurikulum lokal kini menyisipkan kisah dan nilai sejarah perahu tambangan dalam pelajaran sejarah daerah. Ini menjadi langkah penting untuk memastikan bahwa anak-anak sejak dini mengenal dan menghargai budaya sungai yang melekat erat dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Timur.

Lebih jauh lagi, ada rencana untuk mengadakan “Festival Perahu Tambangan” sebagai acara tahunan. Festival ini akan merayakan budaya sungai melalui lomba dayung, pertunjukan seni tradisional, serta pameran sejarah dan cerita kehidupan para pengemudi tambangan. Harapannya, kegiatan semacam ini tak hanya menghibur, tetapi juga membangkitkan kembali kecintaan masyarakat pada budaya lokal mereka sendiri.

Di tengah semua itu, satu hal tetap menjadi benang merah: tambangan bukan semata transportasi, melainkan warisan. Warisan ini tidak hanya berisi kayu dan mesin, tetapi juga menyimpan semangat gotong royong, kesederhanaan, dan kebijaksanaan dalam memanfaatkan alam tanpa merusaknya.

“Selama Sungai Mahakam mengalir, perahu tambangan akan tetap ada, setidaknya dalam ingatan dan budaya masyarakat Samarinda,” demikian ungkapan yang sering terdengar dari masyarakat setempat. Kalimat tersebut menggambarkan betapa pentingnya perahu tambangan sebagai simbol kehidupan dan jati diri.

Melestarikan perahu tambangan bukan berarti menolak modernitas. Sebaliknya, hal itu menjadi bukti bahwa kemajuan bisa berjalan berdampingan dengan pelestarian budaya. Justru dalam dunia yang terus berubah, nilai-nilai lokal seperti tambangan bisa menjadi pijakan yang kuat bagi identitas masyarakat.

Samarinda telah menunjukkan bahwa pembangunan tak harus memutus masa lalu. Dengan perhatian dan kolaborasi berbagai pihak, transportasi tradisional seperti perahu tambangan tetap bisa diberdayakan sebagai bagian dari solusi mobilitas lokal sekaligus ikon budaya yang membanggakan.

Sebuah perjalanan singkat melintasi Sungai Mahakam dengan tambangan bisa menjadi pengingat akan akar budaya yang kaya dan penuh makna. Dan selagi masih ada suara mesin kecil dan riak air yang membelah permukaan sungai, tambangan akan terus berlayar, membawa semangat dan cerita dari generasi ke generasi.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index