BUMN

BUMN Hadapi Tantangan Integritas Tata Kelola

BUMN Hadapi Tantangan Integritas Tata Kelola
BUMN Hadapi Tantangan Integritas Tata Kelola

JAKARTA – Di tengah dinamika pembangunan nasional dan upaya mempercepat pertumbuhan ekonomi, posisi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali menjadi sorotan. Keberadaan institusi strategis ini tak hanya sebagai motor ekonomi negara, tetapi juga sebagai cermin tata kelola pemerintahan yang efektif dan adil.

Seiring perkembangan zaman, peran BUMN terus bertransformasi untuk menjawab tantangan globalisasi, digitalisasi, dan tuntutan transparansi. Namun, dalam proses transformasi tersebut, publik menyoroti fenomena rangkap jabatan yang melibatkan sejumlah wakil menteri yang turut duduk sebagai komisaris di perusahaan pelat merah.

Isu ini bukanlah hal baru, namun menjadi relevan kembali karena menyentuh esensi tata kelola perusahaan yang sehat yakni efisiensi, profesionalisme, dan akuntabilitas. “Rangkap jabatan bukan sekadar soal teknis birokrasi. Ia adalah simbol. Simbol bahwa kekuasaan di negeri ini sudah terlalu nyaman di tangan segelintir orang. Bahwa profesionalisme tak ada nilainya jika tak punya akses politik,” ungkap salah satu pengamat kebijakan publik.

Pernyataan tersebut mencerminkan kekhawatiran sebagian masyarakat akan potensi tumpang tindih fungsi dan kewenangan dalam struktur pengelolaan BUMN. Tak hanya tentang efisiensi anggaran, tetapi juga tentang bagaimana membangun kepercayaan publik terhadap institusi negara.

BUMN untuk Rakyat, Bukan Sekadar Jabatan

Dalam idealismenya, BUMN adalah alat negara untuk melayani rakyat. Mereka hadir di sektor-sektor vital seperti energi, transportasi, logistik, dan keuangan. Keberhasilan BUMN menjadi bukti nyata kehadiran negara di tengah masyarakat. Namun dalam praktiknya, jabatan komisaris yang seharusnya diisi oleh figur profesional, tak jarang menjadi tempat persinggahan elit dengan kedekatan politik tertentu. “BUMN semestinya menjadi tulang punggung ekonomi bangsa. Tempat negara hadir untuk rakyat. Tapi nyatanya, BUMN kerap jadi lahan subur bagi elit politik,” ujar pengamat tersebut.

Munculnya persepsi tersebut sebaiknya menjadi alarm perbaikan, bukan alat penghakiman. Karena justru di sinilah peluang bagi pemerintah untuk memperkuat posisi BUMN sebagai institusi yang lebih inklusif dan berdaya saing.

Jika benar sinergi antar lembaga yang menjadi alasan, publik berharap sinergi itu tak hanya hadir dalam struktur jabatan, tetapi juga dalam hasil kerja nyata yang bisa dirasakan langsung oleh masyarakat.

Profesionalisme Sebagai Pilar

Dalam sistem yang sehat, pengisian jabatan publik termasuk di BUMN harus mengedepankan kompetensi, integritas, dan rekam jejak. Karena jabatan komisaris bukan hanya posisi simbolik. Ia memiliki tanggung jawab dalam pengawasan strategis perusahaan, termasuk memastikan tata kelola berjalan baik dan efisien. “Padahal, kita tahu betul: posisi itu datang dengan tanggung jawab besar, kontrol strategis, dan tentu saja, gaji yang tidak kecil.”

Dalam konteks ini, publik menaruh harapan besar pada para pemimpin untuk memberikan kesempatan kepada para profesional, akademisi, dan praktisi dengan pengalaman yang relevan untuk duduk di posisi strategis BUMN. Karena ketika kursi penting diisi oleh orang yang tepat, maka dampaknya pun akan dirasakan oleh publik luas: layanan membaik, efisiensi meningkat, dan kepercayaan rakyat tumbuh.

Momentum Menuju Tata Kelola yang Lebih Baik

Tak bisa dipungkiri, transformasi besar membutuhkan keberanian politik. Dalam hal ini, Presiden Prabowo memiliki ruang untuk melakukan koreksi struktural dan menciptakan warisan tata kelola yang kuat. Keputusan untuk mengutamakan profesionalisme di tubuh BUMN akan menjadi sinyal penting bahwa pemerintah berpihak pada akuntabilitas dan keadilan sosial. “Presiden Prabowo, sebagai pemimpin negeri ini, masih punya kesempatan. Kesempatan untuk memperbaiki arah. Untuk membuktikan bahwa ia berpihak pada rakyat, bukan pada elit,” kutipan tajam yang sekaligus mengandung harapan besar.

Dengan langkah konkret seperti pembatasan rangkap jabatan, pembukaan seleksi terbuka untuk posisi strategis, dan penguatan fungsi pengawasan, maka BUMN akan benar-benar kembali ke pangkuan rakyat.

Menyambut Masa Depan yang Inklusif

Semua pihak tentu ingin melihat BUMN sebagai lembaga yang bersih, kuat, dan mandiri. Rakyat tidak sedang menuntut kesempurnaan, tetapi transparansi. Mereka ingin tahu bahwa sumber daya negara dikelola oleh orang-orang terbaik bangsa. Bahwa tidak ada lagi ruang untuk praktik transaksional dalam penempatan jabatan publik. “Rakyat terus menunggu. Menunggu harga-harga stabil, layanan publik membaik, pendidikan terjangkau, dan pekerjaan yang layak.”

Dan memang sudah saatnya suara rakyat menjadi kompas utama dalam pengambilan kebijakan. Jangan sampai demokrasi hanya menjadi rutinitas pemilu lima tahunan. Demokrasi yang sehat adalah ketika suara publik didengar setiap hari, dalam setiap keputusan, termasuk dalam pengelolaan BUMN.

Sebagaimana disebutkan dalam artikel aslinya, rangkap jabatan bukan hanya soal posisi atau gaji. Ini menyangkut kepercayaan publik, semangat reformasi, dan masa depan tata kelola yang profesional. Maka, keberanian untuk berubah adalah kunci agar BUMN benar-benar menjadi milik rakyat, bukan hanya milik lingkar elit kekuasaan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index