JAKARTA – Kekhawatiran pasar keuangan global terhadap kebijakan fiskal dan arah perdagangan Amerika Serikat kembali mencuat setelah Dolar AS mencatat pelemahan signifikan terhadap euro. Melemahnya nilai tukar ini dipicu kombinasi antara Rancangan Undang-Undang (RUU) pajak pemerintahan Donald Trump, potensi pelemahan ekonomi domestik, hingga minimnya kejelasan terkait tarif impor baru yang bakal diberlakukan dalam waktu dekat.
Dolar AS tergelincir ke posisi terendahnya terhadap euro sejak September 2021, memperpanjang tekanan yang telah berlangsung sejak awal tahun. Situasi ini juga memperkuat ekspektasi pasar bahwa Bank Sentral AS (The Fed) akan lebih cepat melakukan pelonggaran kebijakan moneter tahun ini, di tengah jadwal rilis data ekonomi krusial seperti laporan ketenagakerjaan nonfarm payrolls yang dijadwalkan Kamis mendatang.
Sejumlah analis menilai, dinamika fiskal dalam negeri dan ketegangan dagang internasional telah menimbulkan keraguan terhadap narasi dominasi ekonomi AS. “Narasi keunggulan ekonomi AS di 2025 mulai dipertanyakan. Permintaan lelang obligasi negara mulai tertekan dan minat investor asing juga menurun,” ujar Nathan Hamilton, analis di Aberdeen Investments.
Euro Melonjak, Dolar Terus Tertekan
Akibat tekanan yang terus berlanjut, euro menguat signifikan hingga menyentuh US$ 1,179 level tertinggi dalam hampir empat tahun terakhir. Menurut data dari LSEG, sepanjang paruh pertama tahun ini, euro tercatat melonjak sebesar 13,8%, menjadikannya kinerja semester I terbaik sepanjang sejarah.
Sementara itu, poundsterling bertahan stabil di kisaran US$ 1,3737 dan berada tak jauh dari level tertinggi dalam tiga setengah tahun. Di sisi lain, yen Jepang menunjukkan penguatan hingga 143,68 per dolar, menandai kenaikan sebesar 9% sepanjang semester I, atau terbaik sejak 2016.
Indeks dolar, yang mengukur kinerja dolar AS terhadap enam mata uang utama dunia, juga tercatat merosot ke 96,688 terendah sejak Februari 2022. Secara keseluruhan, dolar AS telah mengalami penurunan lebih dari 10% sepanjang semester I, yang merupakan kejatuhan terbesar sejak sistem nilai tukar mengambang diberlakukan di awal 1970-an.
“Pelebaran kurva imbal hasil obligasi ditambah pelemahan dolar menunjukkan pasar semakin sensitif terhadap risiko kredit relatif AS, meskipun statusnya sebagai mata uang cadangan dunia,” tambah Hamilton.
Trump Tekan The Fed, Independensi Terancam?
Salah satu pemicu kekhawatiran pasar berasal dari manuver Donald Trump yang secara terang-terangan mendesak The Fed untuk segera menurunkan suku bunga. Bahkan, Trump dikabarkan mengirimkan daftar suku bunga bank sentral dunia kepada Ketua The Fed Jerome Powell, lengkap dengan catatan tangan berisi permintaan agar suku bunga AS disesuaikan ke level Jepang (0,5%) atau Denmark (1,75%).
Desakan tersebut menimbulkan kembali kekhawatiran lama terkait independensi bank sentral. Meski secara hukum Trump tidak bisa memecat Powell hanya karena perbedaan kebijakan, tekanan publik terhadap Powell semakin meningkat setelah Trump secara terbuka mendesaknya untuk mundur pada pekan lalu.
Situasi ini menjadi perhatian utama para investor menjelang kehadiran Powell dalam forum bank sentral Eropa yang digelar di Sintra, Portugal, Selasa ini. Pasar kini memproyeksikan peluang pelonggaran suku bunga oleh The Fed sebesar 67 basis poin pada tahun ini.
“Ada banyak alasan untuk tidak menyukai dolar. Beberapa bersifat struktural seperti kebijakan dagang yang tidak konsisten dan risiko fiskal,” kata Moh Siong Sim, analis valuta asing dari Bank of Singapore.
Ia menambahkan bahwa kekuatan dolar yang sempat ditopang oleh imbal hasil tinggi, kini mulai terkikis. “Dolar sudah melemah sebelumnya meski unggul secara imbal hasil. Kini risiko pelonggaran The Fed membuat keunggulan itu semakin terkikis.”
Fokus ke Data Ketenagakerjaan dan Tenggat Tarif
Dalam waktu dekat, pasar juga akan mencermati data ketenagakerjaan AS, yang diprediksi mencerminkan perlambatan pasar tenaga kerja. Laporan nonfarm payrolls untuk bulan Juni diperkirakan hanya mencatat penambahan 110.000 pekerjaan, menurun dari angka 139.000 pada Mei. Sementara itu, tingkat pengangguran diproyeksikan naik dari 4,2% menjadi 4,3%.
Data ini akan menjadi sinyal penting bagi pelaku pasar untuk menilai prospek kebijakan moneter AS ke depan, terutama jika realisasi menunjukkan pelemahan yang lebih dalam dari perkiraan.
Tak hanya itu, batas waktu yang ditetapkan Presiden Trump untuk memberlakukan tarif impor baru pada 9 Juli kian menekan ketidakpastian global. Hingga kini, negosiasi dagang antara AS dan mitra-mitra utamanya belum menunjukkan hasil yang memadai.
Trump bahkan menyatakan kekecewaannya terhadap proses negosiasi dengan Jepang, sementara Menteri Keuangan AS Scott Bessent memperingatkan bahwa negara-negara mitra bisa menerima notifikasi tarif tinggi meski masih berada dalam tahap negosiasi dengan niat baik.
Risiko Meningkat, Dolar Di Persimpangan Jalan
Secara keseluruhan, dinamika kebijakan fiskal, tekanan terhadap bank sentral, serta ketidakpastian dagang telah mengubah pandangan pasar terhadap dolar AS. Pasar kini melihat banyak alasan untuk bersikap hati-hati terhadap mata uang Negeri Paman Sam.
“Ini bukan hanya soal angka suku bunga, tetapi juga menyangkut kredibilitas kebijakan dan konsistensi arah ekonomi jangka menengah,” tutur Moh Siong Sim menutup pernyataannya.
Dengan tekanan bertubi-tubi ini, dolar AS berpotensi mengalami tekanan lanjutan, kecuali ada kejutan positif dari sisi data ekonomi atau klarifikasi arah kebijakan fiskal dan dagang dari pemerintahan Trump.