AI

AI dan Peran Baru Jurnalis Dari Pencari Fakta Menjadi Pelatih Kecerdasan Buatan

AI dan Peran Baru Jurnalis Dari Pencari Fakta Menjadi Pelatih Kecerdasan Buatan
AI dan Peran Baru Jurnalis Dari Pencari Fakta Menjadi Pelatih Kecerdasan Buatan

JAKARTA — Gelombang disrupsi teknologi kini benar-benar mengguncang dunia jurnalisme. Data mencatat, lebih dari 1.200 jurnalis telah dipulangkan dari ruang redaksi untuk bekerja dari rumah atau bahkan kehilangan pekerjaan sepenuhnya. Sektor yang dulunya menjadi pilar demokrasi kini terguncang hebat.

Namun di tengah krisis ini, muncullah peluang baru yang tak terduga: industri Artificial Intelligence (AI) yang tengah berkembang pesat justru membuka pintu bagi jurnalis untuk mengisi peran berbeda. Bukan lagi sebagai penulis berita, melainkan sebagai trainer pelatih bagi mesin kecerdasan buatan.

Dari Wartawan Lapangan ke Pelatih AI

Transformasi ini menggambarkan perubahan besar dalam lanskap pekerjaan jurnalis. Jika sebelumnya mereka berlari mengejar narasumber, menyusuri dokumen, hingga menyusun narasi investigasi, kini tugas mereka jauh lebih sederhana namun tak kalah penting: membaca dan menilai keluaran teks dari mesin AI.

Salah satu perusahaan yang aktif merekrut jurnalis sebagai pelatih AI adalah Scale AI, yang berbasis di San Francisco. Bersama perusahaan seperti Outlier dan Appen, mereka menyadari bahwa jurnalis memiliki kompetensi yang sangat dibutuhkan AI — kemampuan menulis, menyunting, dan terutama memverifikasi informasi.

“Jurnalis memiliki kemampuan menilai keakuratan dan konteks, sesuatu yang sangat penting dalam melatih model AI agar tidak menghasilkan informasi keliru,” ujar salah satu pelatih AI anonim yang dikutip oleh media teknologi internasional. “Kami bertugas memberi umpan balik seperti ‘Bagus’ atau ‘Perlu diperbaiki’, untuk setiap tanggapan yang dihasilkan oleh model AI.”

Pekerjaan ini disebut-sebut lebih aman dan menjanjikan secara finansial. Rata-rata bayaran untuk posisi AI content trainer di negara Barat bisa mencapai USD 35 per jam, angka yang sangat kontras dengan honor menulis artikel investigatif yang sering kali bahkan tidak cukup untuk menutupi biaya transportasi.

Peluang Sekaligus Ancaman

Walau menawarkan peluang karier baru, pergeseran ini menyimpan ironi. Para jurnalis yang dulu mengkritisi dan mengulas dampak disrupsi teknologi AI, kini menjadi bagian dari mesin itu sendiri bahkan ikut melatihnya agar lebih cerdas dan efisien.

“Jika dulu jurnalis dikenal sebagai watchdog demokrasi, sekarang perannya seperti dog walker AI memastikan agar chatbot tidak ‘buang air sembarangan’ dalam bentuk jawaban ngawur,” tulis salah satu kolumnis dalam esai reflektifnya mengenai nasib media masa kini.

Dengan kata lain, mereka bukan lagi penjaga kebenaran dalam ruang redaksi, melainkan penjaga kualitas dalam ruang data. Tugas utama mereka kini adalah mencegah chatbot menghasilkan informasi yang bias, ngawur, atau menyesatkan. Hal ini penting karena AI, terutama yang berbasis large language model seperti GPT, masih rentan terhadap halusinasi data atau kesalahan logika.

Evolusi Profesi Jurnalis

Perubahan peran ini memicu perdebatan panjang: apakah jurnalis sedang berevolusi atau justru sedang tergeser? Beberapa pihak optimistis, melihat peran baru ini sebagai bentuk adaptasi yang sehat terhadap perkembangan zaman.

“Ini adalah strategi bertahan hidup di era otomatisasi,” ujar pengamat media digital dari Universitas Indonesia, Dr. Yuni Rahmawati. “Jurnalis bisa tetap berperan penting, meski dalam bentuk yang berbeda. Mereka menjadi editor bagi AI, memastikan mesin belajar dari sumber yang benar dan tidak menyebarkan kebodohan.”

Namun, tak sedikit pula yang pesimistis. Jika AI terus belajar dari hasil penilaian manusia dan akhirnya menjadi cukup cerdas, maka peran pelatih pun bisa ikut tergantikan. Siapa yang akan menilai jika mesin sudah mampu menilai dirinya sendiri?

Masa Depan: Doktor AI dan Ulama Digital?

Beberapa skenario masa depan bahkan terdengar seperti fiksi ilmiah. Jika AI makin kompleks, maka akan dibutuhkan kurator moral manusia yang bertugas memastikan bahwa AI tidak belajar dari sumber-sumber berbahaya, seperti situs radikal atau penyebar hoaks. Bisa jadi, akan lahir profesi seperti “Doktor AI Linguistik” atau bahkan “Ulama AI”, yang memastikan chatbot tidak menyimpang dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan agama atau etika.

Namun, mimpi ini juga mengandung risiko. Seiring waktu, efisiensi dan kecepatan AI bisa melampaui kemampuan jurnalis manusia. Dalam jangka panjang, bisa saja seluruh proses produksi berita mulai dari riset, penulisan, hingga penyuntingan diambil alih oleh mesin.

“Jika AI sudah cukup canggih untuk meniru gaya bahasa jurnalis, memahami konteks sosial, dan memverifikasi data secara real-time, maka keberadaan jurnalis manusia mungkin tinggal sejarah,” ujar pakar AI dan etika teknologi, Dr. Andika Mahendra.

Simbiosis atau Kompetisi?

Hingga saat ini, relasi antara jurnalis dan AI masih bersifat simbiosis. Jurnalis membantu AI untuk memahami kompleksitas bahasa manusia, sementara AI membuka lapangan kerja baru yang lebih aman, tanpa tekanan lapangan atau ancaman hukum.

Namun, jika tidak diatur dengan baik, simbiosis ini bisa berubah menjadi kompetisi. Media yang mengejar efisiensi biaya bisa saja memilih AI ketimbang manusia untuk memproduksi konten terlebih jika output yang dihasilkan AI semakin tidak bisa dibedakan dari tulisan manusia.

“Ini saatnya kita memikirkan regulasi yang jelas mengenai penggunaan AI dalam produksi berita,” tegas Dr. Yuni Rahmawati. “Peran jurnalis sebagai penjaga kebenaran tidak boleh sepenuhnya dialihkan ke mesin, karena mesin tidak memiliki nurani.”

Peran jurnalis memang sedang berubah. Bukan lagi hanya sebagai penulis berita, namun juga sebagai pelatih, editor, dan penjaga moral dari sistem AI yang terus berkembang. Ini adalah evolusi profesi yang belum pernah terjadi sebelumnya penuh harapan, namun juga sarat tantangan.

Mungkin di masa depan, berita akan ditulis oleh AI, namun nilai dan akurasi dalam setiap kalimatnya tetap hasil didikan manusia. Atau mungkin, kelak akan muncul berita seperti ini:

“Jurnalis Terakhir Telah Pergi. Kini AI Menulis dan Menilai Berita Sendiri.”

Apakah ini akhir dari jurnalisme manusia, atau justru awal dari babak baru kolaborasi manusia dan mesin? Waktu yang akan menjawab.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index