Erick Thohir

Erick Thohir Tegaskan Danantara Bukan 1MDB Upaya Menjaga Reputasi SWF Indonesia

Erick Thohir Tegaskan Danantara Bukan 1MDB Upaya Menjaga Reputasi SWF Indonesia
Erick Thohir Tegaskan Danantara Bukan 1MDB Upaya Menjaga Reputasi SWF Indonesia

JAKARTA — Ketua Dewan Pengawas Danantara sekaligus Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Erick Thohir angkat suara terkait kekhawatiran publik mengenai pengelolaan Badan Pengelola Investasi BPI Daya Anagata Nusantara (Danantara). Erick meminta agar Danantara tidak disamakan dengan 1 Malaysia Development Berhad (1MDB), skandal investasi terkenal dari Malaysia yang telah mengguncang dunia.

Latar Belakang Skandal 1MDB

Untuk memahami konteks ini, penting untuk menengok kembali skandal 1MDB. 1MDB adalah perusahaan investasi negara yang dibentuk di bawah kepemimpinan Perdana Menteri Malaysia periode 2009 hingga 2018, Najib Razak. Skandal ini mencapai puncaknya pada 2014-2015 ketika tuduhan penggelapan dana miliaran ringgit Malaysia dari 1MDB mencuat. Skandal tersebut diperkirakan menimbulkan kerugian bagi Malaysia lebih dari 4,5 miliar dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 64 triliun, dengan sebagian dana diketahui mengalir ke rekening Najib. Pada Agustus 2022, Mahkamah Persekutuan Malaysia menjatuhkan hukuman penjara 12 tahun bagi Najib setelah upaya bandingnya ditolak.

Memahami Danantara dan Perbedaan dengan 1MDB

Erick Thohir menyadari adanya kekhawatiran negatif dari masyarakat terhadap Danantara. Ia menyatakan, "Saya yakin hari ini mungkin market masih berpikir negatif kepada Danantara. Pak, nanti Danantara menjadi seperti 1MDB loh. Jangan melihat gitu," ujarnya saat berada di Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta, Tangerang.

Erick menjelaskan bahwa Danantara dibentuk dengan mencontoh keberhasilan negara-negara lain yang memiliki dana kekayaan negara atau sovereign wealth fund (SWF) yang sukses. Ia merujuk pada dana seperti Public Investment Fund (PIF) dari Arab Saudi, Abu Dhabi Investment Authority (ADIA) dari Uni Emirat Arab, dan Qatar Investment Authority sebagai contoh yang diikuti oleh Danantara. Menurut Erick, lembaga tersebut menjadikan Danantara salah satu SWF terbesar di dunia, berada di posisi ke tujuh atau delapan.

"Kita harus berani membuka diri benchmarking mana yang tidak bagus, mana yang bagus. Masa kita bikin sovereign wealth fund yang segede ini yang nomor 7 atau nomor 8 di dunia, benchmarkingnya yang enggak bagus. Berarti ya sama aja setback, kemunduran," tambah Erick, menyiratkan pentingnya belajar dari kesalahan dan kesuksesan pihak lain.

Harapan dan Tantangan ke Depan

Erick Thohir optimis bahwa keberadaan Danantara bisa membawa dampak positif terhadap Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), meskipun dia menyadari bahwa hal tersebut membutuhkan waktu. "Harusnya bisa, tapi perlu waktu. Kita tidak bisa melawan persepsi yang hari ini seakan-akan yang tadi membenchmarking Danantara dengan sovereign wealth yang enggak bagus. Itu salah besar," ucapnya.

Namun, tantangan tetap ada. Burhanuddin Muhtadi, Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia, mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam mengelola Danantara dan tidak mengulangi kesalahan 1MDB. Berbicara dalam acara Economic Outlook 2025 di Kempinski Grand Ballroom, Jakarta Pusat, Burhanuddin berkata, "Jadi ini betul betul harus hati hati, pengelolaannya harus seprofesional mungkin."

Belajar dari Singapura

Burhanuddin menawarkan rekomendasi agar pemerintah Indonesia mengacu pada Temasek, perusahaan holding investasi global yang dimiliki oleh pemerintah Singapura, sebagai model pengelolaan yang baik. "Tetapi kalau misalnya kita kepleset, kemudian mengikuti rute 1MDB di Malaysia, habis kita dan pertaruhannya sangat mahal," ujarnya menekankan.

Burhanuddin juga menggarisbawahi potensi positif dari Danantara. Ia mengatakan bahwa motif utama pendirian Danantara adalah untuk mengurangi intervensi non-korporat, khususnya dari politik. Seiring berjalannya waktu, BUMN sering kali berhadapan dengan kendala saat bernegosiasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), termasuk dalam hal pengangkatan komisaris dan direksi.

"Kalau misalnya Danantara sesuai yang direncanakan, itu banyak hal yang tidak harus didiskusikan via DPR yang membuat BUMN kita seringkali harus berjuang adalah karena banyak hal yang harus dinegosiasikan dengan DPR," ujar Burhanuddin. "Itu ada ongkos politiknya, ada biayanya, ada trade-offnya, termasuk pengurusan pengangkatan komisaris dan direksi itu perlu approval DPR. Danantara mencoba memotong itu," pungkasnya.

Erick Thohir dan Burhanuddin Muhtadi menyoroti pentingnya pengelolaan yang profesional dan bijaksana terhadap Danantara. Dengan mempelajari pelajaran dari skandal 1MDB dan merujuk pada model sukses seperti Temasek, ada harapan besar bahwa Danantara bisa menjadi pilar yang kuat dalam landscape keuangan Indonesia. Namun, tantangan dan persepsi negatif harus terus diupayakan agar teratasi dengan strategi yang matang dan terbuka.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index