JAKARTA - Di era digital yang serba cepat dan modern ini, layanan PayLater kian populer di kalangan masyarakat Indonesia, terutama di antara generasi muda. Dengan menawarkan kemudahan akses dan fleksibilitas pembayaran, PayLater tampaknya menjadi solusi praktis untuk memenuhi kebutuhan finansial tanpa perlu menunggu gaji masuk. Namun, ada kekhawatiran bahwa tren ini dapat menjadi jalan pintas yang justru menjerumuskan pengguna ke dalam kemiskinan di masa depan. Diskusi seputar pro dan kontra PayLater ini menjadi semakin relevan dengan meningkatnya pengguna aktif setiap tahunnya.
Pada siaran Mozaik Indonesia di Pro1 RRI Lhokseumawe, Khalish Khairina, Dosen Ekonomi Makro IAIN Lhokseumawe, memberikan pandangan mendalam terkait dampak dari tren PayLater terhadap ekonomi masyarakat. Menurut Khalish, meskipun PayLater awalnya terlihat sebagai solusi yang memudahkan, penggunaan yang tidak terkontrol dapat memicu budaya konsumtif yang berlebihan. "Awalnya, PayLater terlihat sebagai solusi praktis untuk memenuhi kebutuhan tanpa harus menunggu gajian. Namun, ketika digunakan secara berlebihan, banyak orang akhirnya terjebak dalam siklus hutang yang sulit dikendalikan," jelasnya.
Salah satu isu utama yang diangkat adalah bunga tinggi dan denda keterlambatan yang sering kali dibebankan kepada pengguna layanan PayLater. Khalish menyoroti bahwa banyak pengguna terpaksa mencari pinjaman lain untuk menutupi tagihan PayLater sebelumnya, sehingga menciptakan pola "gali lubang, tutup lubang". Kondisi ini bisa menjadi bumerang yang menghantui para pengguna, terutama bagi mereka yang belum memiliki perhitungan finansial yang matang.
Lebih jauh, Khalish menunjukkan bahwa ketergantungan pada layanan PayLater dapat menjadi indikator lemahnya daya beli masyarakat. Ketergantungan ini, jika tidak dibarengi dengan edukasi finansial yang memadai, dapat meningkatkan angka kemiskinan. "Tanpa aturan yang jelas, PayLater bisa menjadi pintu masuk masalah keuangan bagi generasi muda yang belum memiliki literasi finansial yang cukup," tambah Khalish.
Pemerintah diharapkan untuk turut serta dalam mengontrol penggunaan layanan ini dengan menerapkan regulasi yang ketat. Khalish menyarankan pembatasan usia minimal pengguna PayLater, misalnya di angka 25 tahun, dan menetapkan pendapatan minimal di atas Rp5 juta per bulan. Langkah ini diusulkan untuk mencegah anak muda, terutama remaja berusia 17 tahun yang belum memiliki penghasilan stabil, dari terjerumus ke dalam lingkaran utang sejak dini.
Selain itu, Khalish menekankan pentingnya literasi keuangan bagi masyarakat. Ia mengajak masyarakat untuk lebih bijak dan menggunakan PayLater bukan sebagai gaya hidup, tetapi hanya untuk kebutuhan yang benar-benar penting. Kesadaran ini harus ditanamkan agar tidak terjadi kebiasaan konsumtif yang berlebihan yang dapat menyebabkan masalah keuangan jangka panjang.
Meski PayLater menawarkan kenyamanan dan solusi jangka pendek bagi mereka yang membutuhkan, risiko jangka panjang dari penggunaan tanpa kontrol dapat berujung pada jeratan hutang dan kemiskinan. Kesadaran dan edukasi finansial harus menjadi prioritas agar masyarakat dapat memanfaatkan layanan ini secara optimal tanpa ancaman ekonomi yang serius di masa depan.
Dari diskusi ini, jelas bahwa meskipun PayLater menawarkan banyak manfaat, penggunaannya harus disertai dengan kehati-hatian dan pemahaman mendalam tentang konsekuensi finansialnya. Pemerintah, penyedia layanan, dan masyarakat perlu bekerjasama untuk memastikan PayLater menjadi alat bantu finansial yang aman dan bukan perangkap ekonomi. Hanya dengan demikian, PayLater bisa benar-benar menjadi sahabat finansial dan bukan ancaman kemiskinan di tengah masyarakat Indonesia.