Investasi

Investasi Terus Mengalir Tunjukkan Optimisme Ekonomi

Investasi Terus Mengalir Tunjukkan Optimisme Ekonomi
Investasi Terus Mengalir Tunjukkan Optimisme Ekonomi

JAKARTA - Di tengah ketidakpastian global yang masih membayangi, Indonesia justru menunjukkan ketahanan yang kuat dalam menjaga arus investasi. Realisasi investasi pada triwulan kedua 2025 berhasil memberikan gambaran bahwa keyakinan terhadap prospek ekonomi nasional masih tetap tinggi.

Prasasti Center for Policy Studies menyoroti capaian ini sebagai indikasi bahwa momentum pertumbuhan masih berada di jalur yang menjanjikan. Research Director Prasasti, Gundy Cahyadi, menilai bahwa data yang dirilis Kementerian Investasi dan Hilirisasi/BKPM menjadi bukti bahwa ekonomi Indonesia mampu menunjukkan daya tahan, sekaligus menjaga kepercayaan investor terhadap masa depan.

“Momentum investasi tetap terjaga. Di tengah dinamika global yang menantang, fakta bahwa Indonesia mampu mempertahankan arus investasi ini mencerminkan keyakinan investor terhadap prospek jangka panjang ekonomi kita,” ujar Gundy di Jakarta.

Menurut data resmi, investasi Indonesia pada triwulan II 2025 tercatat mencapai Rp477,7 triliun. Angka ini mengalami peningkatan sebesar 2,7 persen dibandingkan triwulan sebelumnya yang berada di angka Rp465,2 triliun. Bila dijumlahkan dengan realisasi pada triwulan pertama, maka total investasi selama semester pertama tahun ini sudah mencapai Rp942,9 triliun setara dengan hampir separuh dari target tahunan sebesar Rp1.905,6 triliun.

Capaian tersebut memberi sinyal bahwa target investasi jangka menengah Indonesia yang ditetapkan Bappenas, yaitu sebesar Rp13.000 triliun dalam lima tahun ke depan, bukanlah sesuatu yang mustahil. Terlebih, target ini menjadi bagian penting dari strategi besar menuju pertumbuhan ekonomi nasional yang berkelanjutan dan inklusif dengan proyeksi mencapai 8 persen per tahun.

Bila ditelusuri lebih lanjut, sektor logam dasar menempati posisi teratas sebagai penyumbang investasi terbesar, yaitu Rp67,1 triliun atau setara dengan 14,1 persen dari total. Kontribusi besar ini tak lepas dari keberlanjutan kebijakan hilirisasi mineral yang terus menarik minat investor dalam dan luar negeri.

Sektor pertambangan juga mencatatkan lonjakan investasi yang signifikan, dengan nilai Rp53,6 triliun. Permintaan global yang tinggi terhadap komoditas strategis seperti nikel mendorong sektor ini semakin kokoh. Di sisi lain, meskipun sektor transportasi, pergudangan, dan telekomunikasi mengalami penurunan menjadi Rp44,2 triliun, arah investasi justru mulai merambah ke sektor yang belum banyak diperhatikan sebelumnya.

Salah satu yang menarik adalah munculnya sektor perdagangan dan reparasi dalam daftar lima besar penerima investasi. Menurut Gundy, hal ini menjadi sinyal bahwa struktur ekonomi nasional sedang mengalami transformasi. “Tren ini menunjukkan bahwa transformasi struktur ekonomi sedang berlangsung. Hilirisasi tetap menjadi magnet utama, namun munculnya sektor-sektor baru seperti perdagangan menunjukkan dinamika positif di lapangan,” ucapnya.

Tak hanya dari sisi nominal, dampak investasi pada lapangan kerja juga terbilang signifikan. Dalam periode triwulan kedua, investasi yang masuk berhasil menciptakan 665.764 lapangan kerja baru, naik sekitar 12 persen dibandingkan triwulan sebelumnya. Capaian ini tak hanya memperkuat perekonomian, tetapi juga memperluas kesempatan kerja bagi masyarakat.

Yang patut dicatat, hampir setengah dari total lapangan kerja tersebut tercipta di luar Pulau Jawa. Hal ini mencerminkan keberhasilan dalam mendorong agenda pemerataan pembangunan, sebuah upaya yang sejak lama menjadi fokus pemerintah untuk menyeimbangkan pertumbuhan antarwilayah.

Meski demikian, tantangan ke depan masih perlu mendapat perhatian. Struktur pasar tenaga kerja Indonesia saat ini masih didominasi pekerjaan formal yang terkonsentrasi di wilayah perkotaan. Sementara itu, sektor informal belum mendapatkan perlindungan sosial yang memadai, sehingga mempersempit ruang gerak dan memperbesar ketimpangan.

Gundy juga mengingatkan bahwa agenda pembangunan nasional perlu memperhitungkan risiko jangka menengah yang bisa memengaruhi pasar tenaga kerja. Salah satu isu utama adalah potensi otomatisasi di sejumlah sektor strategis seperti manufaktur dan pertanian.

“Sekitar 30 persen pekerjaan di sektor manufaktur dan pertanian berisiko tergantikan otomatisasi dalam 10 hingga 20 tahun ke depan,” ujarnya.

Tantangan lainnya adalah kelompok muda yang tidak sedang bekerja, bersekolah, atau menjalani pelatihan dikenal sebagai NEET (Not in Education, Employment, or Training) yang angkanya masih berada pada kisaran 22 hingga 23 persen. Bagi Gundy, kondisi ini merupakan sinyal penting yang perlu segera direspon.

“Hal ini adalah peringatan serius bagi agenda pembangunan Indonesia,” tegasnya.

Di tengah berbagai peluang dan tantangan tersebut, investasi tetap dipandang sebagai instrumen utama dalam menciptakan pertumbuhan yang berkualitas. Indonesia memiliki modal dasar yang kuat, baik dari sisi sumber daya maupun dari sisi kepercayaan investor global.

Namun demikian, arah dan fokus investasi perlu diarahkan ke sektor-sektor yang mampu menciptakan dampak jangka panjang terutama yang dapat menghasilkan lapangan kerja yang tangguh dan inklusif.

“Kita sudah memiliki momentum dan dasar yang kuat. Yang dibutuhkan sekarang adalah kombinasi kebijakan yang tepat: penguatan SDM, kepastian hukum bagi investor, dan pemerataan pembangunan antarwilayah. Fondasinya sudah ada. Tinggal bagaimana kita membangunnya dengan benar,” kata Gundy.

Dengan tren yang terus menunjukkan arah positif, investasi tetap menjadi penggerak utama roda pembangunan Indonesia. Keyakinan pasar yang tetap terjaga memberi harapan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat terus didorong, tanpa meninggalkan prinsip inklusivitas dan keberlanjutan.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index