JAKARTA - Pertumbuhan kredit perbankan nasional masih menunjukkan laju positif, meski terlihat mengalami perlambatan pada pertengahan tahun ini. Data terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyebutkan bahwa pada Juni 2025, kredit perbankan tumbuh sebesar 7,77 persen secara tahunan (year-on-year/yoy), atau senilai Rp 8.059,79 triliun. Meski lebih rendah dibanding capaian bulan sebelumnya yang sebesar 8,43 persen, OJK menilai kinerja intermediasi sektor perbankan masih terjaga stabil.
Ketua Dewan Komisioner OJK, Mahendra Siregar, menyampaikan bahwa kondisi ini tetap mencerminkan stabilitas sektor keuangan, dengan perbankan terus berperan dalam menggerakkan perekonomian nasional. Dalam konferensi pers hasil rapat berkala Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) III 2025, ia menekankan bahwa sektor keuangan Indonesia masih dalam koridor yang sehat dan mampu menyesuaikan diri dengan dinamika global maupun domestik.
Perlambatan pertumbuhan kredit tersebut bukanlah sesuatu yang tiba-tiba. Sejak awal tahun 2025, tren ini sudah mulai terlihat. Kredit perbankan pada Januari tercatat tumbuh 10,2 persen, kemudian naik tipis menjadi 10,3 persen pada Februari. Namun, memasuki Maret, angka ini mulai menurun menjadi 9,16 persen, dan berlanjut pada April serta Mei masing-masing menjadi 8,88 persen dan 8,43 persen.
Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, menilai fenomena ini sebagai bentuk kehati-hatian dari lembaga keuangan maupun pelaku usaha terhadap ketidakpastian ekonomi yang semakin terasa. Ia menyebutkan bahwa melambatnya pertumbuhan kredit sejak Maret merupakan indikasi awal dari potensi pelemahan ekonomi. Dalam pandangannya, langkah waspada ini penting, terutama di tengah ketidakpastian global dan tensi perdagangan internasional yang meningkat.
Josua menambahkan bahwa tantangan bukan hanya berasal dari sisi permintaan kredit. Dari sisi penawaran, bank-bank kini lebih selektif dalam menyalurkan pinjaman. Peningkatan standar kredit yang diterapkan bertujuan untuk mengantisipasi risiko kredit bermasalah, seiring dengan tekanan terhadap kondisi ekonomi yang belum sepenuhnya pulih.
Sebagai respons atas kondisi tersebut, banyak bank memutuskan untuk mengalihkan sebagian dana mereka ke instrumen yang lebih aman seperti Surat Berharga Negara (SBN). Hal ini terlihat dari data Kementerian Keuangan yang mencatat kepemilikan SBN oleh bank meningkat signifikan. Per 8 Juli 2025, porsi kepemilikan bank terhadap SBN yang dapat diperdagangkan mencapai 20,10 persen atau senilai Rp 1.272,5 triliun. Angka ini naik dari posisi awal tahun yang sebesar 17,53 persen atau Rp 1.058,5 triliun.
Langkah ini dinilai rasional mengingat SBN menawarkan likuiditas dan risiko yang lebih rendah dibandingkan kredit kepada sektor riil. Namun, Josua mengingatkan bahwa jika tren ini terus berlangsung, dikhawatirkan akan berdampak terhadap ekspansi sektor riil. Ketika penyaluran kredit melambat dan alokasi dana lebih banyak diarahkan ke aset aman, fungsi intermediasi perbankan menjadi kurang maksimal dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mengamini adanya perubahan perilaku perbankan yang kini lebih berhati-hati dalam menyalurkan kredit. Ia mencatat bahwa meskipun dana pihak ketiga (DPK) menunjukkan pertumbuhan, perbankan lebih cenderung menempatkan dana tersebut pada instrumen surat berharga. Perry juga menyampaikan bahwa bank meningkatkan standar penyaluran kredit sebagai langkah menjaga kualitas portofolio pinjaman.
Namun demikian, BI tetap menaruh optimisme terhadap pertumbuhan kredit ke depan. Perry menyampaikan bahwa berbagai kebijakan moneter yang diterapkan, termasuk pemberian insentif likuiditas dan penurunan suku bunga, diharapkan dapat mendorong peningkatan penyaluran kredit. Di sisi fiskal, pemerintah turut menghadirkan sejumlah stimulus ekonomi yang menjadi katalis positif bagi permintaan kredit.
Lebih lanjut, berdasarkan pemantauan BI terhadap rencana bisnis bank (RBB), terdapat indikasi bahwa sejumlah bank akan mendorong pertumbuhan kredit dengan tetap berpegang pada prinsip kehati-hatian. Bank Indonesia sendiri telah menyesuaikan proyeksi pertumbuhan kredit perbankan tahun 2025. Jika sebelumnya ditargetkan tumbuh antara 11 hingga 13 persen, kini dikoreksi menjadi 8 hingga 11 persen, seiring dengan penyesuaian kondisi ekonomi global dan domestik.
Melalui pendekatan yang terukur dan berbasis data, pelaku sektor keuangan diyakini mampu menjaga stabilitas serta mendukung pemulihan ekonomi nasional. Koordinasi antara otoritas moneter, fiskal, dan lembaga pengatur sektor keuangan menjadi krusial untuk memastikan momentum pemulihan tetap berlanjut.
Situasi ini menjadi cerminan dari pentingnya menjaga keseimbangan antara kehati-hatian dan keberanian dalam mengambil langkah ekspansi. Dengan arah kebijakan yang konsisten dan koordinasi lintas sektor yang baik, perbankan nasional tetap berperan sebagai pilar penting dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Di tengah tantangan global, sektor perbankan Indonesia menunjukkan resiliensi dan kemampuan adaptasi. Dengan strategi pengelolaan risiko yang bijak dan didukung kebijakan akomodatif dari otoritas, ruang pertumbuhan kredit masih terbuka. Hal ini memperlihatkan bahwa perbankan Indonesia tetap menjadi mitra strategis dalam mendukung geliat perekonomian nasional.