JAKARTA - Di tengah dinamika kecerdasan buatan (AI) yang berkembang pesat, China mengambil langkah strategis dengan mengusulkan pembentukan organisasi internasional untuk mendorong kolaborasi global dalam sektor ini. Langkah tersebut diumumkan dalam ajang bergengsi World Artificial Intelligence Conference (WAIC) di Shanghai, yang menjadi panggung penting bagi negara tersebut untuk memperlihatkan inisiatif dan komitmennya dalam mengarahkan masa depan AI dunia.
Perdana Menteri China, Li Qiang, yang hadir langsung pada konferensi tersebut, menegaskan perlunya koordinasi lintas negara untuk menciptakan tata kelola AI global yang inklusif. “Kita harus memperkuat koordinasi untuk membentuk kerangka tata kelola AI global yang memiliki konsensus luas secepat mungkin,” ujar Li.
Kehadiran Li Qiang dan pernyataannya dalam forum tersebut menandai posisi China sebagai pemain utama yang ingin mendorong pendekatan bersama dalam pengembangan AI. Ia menyoroti bahwa perkembangan AI saat ini masih tersebar dan belum terkoordinasi dengan baik, terutama karena perbedaan dalam regulasi dan kerangka institusi antarnegara.
China tidak secara langsung menyebut negara tertentu dalam pernyataannya, namun komentar Li mencerminkan kekhawatiran akan dominasi pihak tertentu dalam teknologi AI. Menurutnya, AI berpotensi menjadi "permainan eksklusif" segelintir negara dan perusahaan besar, sebuah situasi yang dinilainya perlu dicegah agar teknologi ini bisa diakses secara adil oleh semua pihak.
"China bersedia berbagi pengalaman dan hasil pengembangan AI dengan negara lain, terutama negara-negara Global South," lanjutnya. Dengan menyebut Global South, Li menegaskan komitmen China untuk merangkul negara-negara berkembang dalam perjalanan transformasi digital berbasis AI.
Untuk mendukung usulan tersebut, pemerintah China merilis rencana aksi atau action plan yang berfokus pada tata kelola AI secara global. Rencana ini mengajak kerja sama lintas batas antara pemerintah, organisasi internasional, institusi riset, serta perusahaan teknologi. Salah satu gagasan yang tengah dikaji adalah menjadikan Shanghai sebagai markas utama dari organisasi yang diusulkan tersebut.
Langkah ini sejalan dengan strategi China untuk mengukuhkan peran globalnya melalui diplomasi teknologi. Menjadikan Shanghai sebagai pusat pengembangan dan koordinasi AI dunia dapat memperkuat posisinya sebagai simpul kerja sama internasional yang progresif di era teknologi cerdas.
Di balik momentum tersebut, konferensi WAIC 2025 diselenggarakan di tengah meningkatnya ketegangan antara dua kekuatan ekonomi dunia China dan Amerika Serikat dalam hal penguasaan teknologi strategis, termasuk kecerdasan buatan.
Pemerintah Amerika Serikat telah menerapkan pembatasan terhadap ekspor berbagai komponen dan perangkat AI ke China, termasuk chip mutakhir buatan Nvidia dan teknologi manufaktur semikonduktor. Langkah ini dilatarbelakangi kekhawatiran bahwa kemajuan AI di China dapat memperkuat kapabilitas militernya.
Namun demikian, China tetap menunjukkan kemajuan yang konsisten dalam pengembangan teknologi ini. Upaya memperluas jejaring internasional melalui kerja sama dan inisiatif pembentukan organisasi AI global merupakan salah satu bentuk strategi untuk tetap kompetitif dan relevan di tingkat internasional.
WAIC tahun ini diikuti oleh lebih dari 800 perusahaan dari berbagai penjuru dunia. Ajang tersebut menjadi etalase kecanggihan teknologi, dengan lebih dari 3.000 produk teknologi tinggi dipamerkan, termasuk 40 model bahasa besar (large language models), 50 perangkat berbasis AI, serta 60 robot cerdas.
Perusahaan teknologi dalam negeri seperti Huawei dan Alibaba tampil menonjol dalam pameran, memperlihatkan ekosistem inovasi yang berkembang cepat. Tidak kalah menarik, perusahaan asing seperti Tesla, Amazon, dan Alphabet (induk perusahaan Google) juga ikut berpartisipasi, menambah dimensi internasional pada forum ini.
Salah satu inovasi yang menyita perhatian adalah robot humanoid buatan startup China, Unitree, yang menampilkan kapabilitas teknologi AI dalam bentuk interaksi manusia-mesin yang semakin natural dan adaptif.
Forum ini juga menghadirkan nama-nama besar dalam dunia AI. Geoffrey Hinton, tokoh penting dalam pengembangan deep learning yang dijuluki "Godfather of AI", menjadi salah satu pembicara utama. Turut hadir pula Anne Bouverot, utusan khusus Presiden Prancis untuk bidang AI, serta mantan CEO Google, Eric Schmidt. Namun, Elon Musk yang sebelumnya rutin tampil dalam WAIC, tidak memberikan pidato dalam kesempatan kali ini.
Keikutsertaan para tokoh dan perusahaan besar dari berbagai negara memperkuat posisi WAIC sebagai panggung global bagi pertukaran gagasan dan strategi dalam perkembangan teknologi AI. Konferensi ini tidak hanya menjadi ajang promosi, melainkan juga sarana penting untuk membentuk konsensus, memperluas kolaborasi, dan membangun masa depan AI yang terbuka dan inklusif.
Dengan inisiatif pembentukan organisasi AI global, China menunjukkan niat untuk memainkan peran sentral dalam membentuk arah perkembangan teknologi ini di masa mendatang. Shanghai berpotensi menjadi simpul penting diplomasi AI dunia, tempat lahirnya kebijakan dan kolaborasi yang bisa mendorong pemerataan manfaat teknologi cerdas ke berbagai belahan dunia, termasuk negara-negara berkembang.
Alih-alih menjadikan AI sebagai alat dominasi, pendekatan kolaboratif ini memberikan peluang bagi semua negara untuk menjadi bagian dari revolusi teknologi yang sedang berlangsung. Gagasan yang ditawarkan China menunjukkan bahwa masa depan AI global tidak hanya bergantung pada kecepatan inovasi, tetapi juga pada kemauan untuk berbagi dan bekerja sama.