JAKARTA - Peningkatan mutu pendidikan tidak bisa disandarkan sepenuhnya kepada pemerintah. Peran aktif masyarakat melalui lembaga mandiri dinilai sangat penting untuk mendorong kualitas secara menyeluruh, salah satunya melalui sistem akreditasi pendidikan.
Dalam pandangan Ketua Dewan Eksekutif Badan Akreditasi Nasional Sekolah/Madrasah (BAN S/M) M Nuh, akreditasi mandiri menjadi langkah konkret yang mencerminkan semangat kolaboratif antara masyarakat dan negara dalam membangun ekosistem pendidikan yang bermutu.
“Dengan akreditasi mandiri, masyarakat terlibat langsung dalam menilai dan memastikan mutu satuan pendidikan secara bertanggung jawab dan transparan,” ujar M Nuh.
M Nuh menegaskan bahwa semangat akreditasi mandiri harus dimaknai sebagai bentuk kepercayaan kepada masyarakat untuk mengelola sendiri mekanisme penjaminan mutu pendidikan. Langkah ini dinilai sejalan dengan prinsip gotong royong yang menjadi ciri khas bangsa Indonesia.
Menurutnya, pendekatan ini membuka ruang lebih luas bagi partisipasi publik dalam memperkuat sistem pendidikan nasional. Masyarakat tidak hanya sebagai penerima hasil, tetapi turut menjadi pelaku utama dalam menentukan kualitas pendidikan yang dijalankan.
“Ini bukan sekadar alih fungsi, tetapi transformasi cara pandang. Pendidikan bukan hanya urusan pemerintah, tapi juga tanggung jawab kita semua,” tegas mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu.
BAN S/M sebagai lembaga yang telah lebih dari dua dekade menjalankan proses akreditasi sekolah dan madrasah, kini mendorong akselerasi reformasi sistem akreditasi melalui pendekatan partisipatif. Sistem ini akan melibatkan lebih banyak pemangku kepentingan dalam proses evaluasi, termasuk lembaga mandiri yang memenuhi persyaratan tertentu.
Langkah ini juga merupakan bagian dari pelaksanaan Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan yang membuka peluang bagi badan akreditasi selain BAN S/M. Namun, keberadaan badan tersebut harus tetap mendapat pengakuan dari Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
M Nuh menjelaskan bahwa pembentukan badan akreditasi mandiri tidak serta-merta menggeser peran BAN S/M, melainkan melengkapi dan memperluas cakupan kerja agar lebih inklusif dan adaptif terhadap dinamika pendidikan yang terus berkembang.
“Ini bukan kompetisi, tapi kolaborasi. Tujuannya sama, yakni menjamin dan meningkatkan mutu pendidikan bagi seluruh anak bangsa,” tambahnya.
Dalam pandangan BAN S/M, upaya membangun sistem akreditasi mandiri membutuhkan kesiapan dari berbagai aspek, termasuk sumber daya manusia, sistem informasi, serta perangkat standar dan instrumen penilaian yang andal dan kredibel.
Oleh karena itu, BAN S/M juga membuka ruang kerja sama dengan berbagai pihak, termasuk perguruan tinggi, asosiasi profesi, serta organisasi masyarakat sipil yang memiliki visi dan kapasitas dalam pengembangan mutu pendidikan.
Keterlibatan masyarakat dinilai akan memperkuat rasa kepemilikan (sense of ownership) terhadap pendidikan di lingkungan masing-masing. Hal ini diharapkan dapat mendorong tumbuhnya inovasi dan inisiatif lokal dalam menciptakan praktik-praktik pembelajaran yang relevan dan kontekstual.
Tak hanya itu, sistem akreditasi mandiri juga dinilai mampu mempercepat pemerataan mutu pendidikan. Sebab, proses akreditasi dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan karakteristik daerah, tanpa mengurangi standar nasional yang berlaku.
“Pendidikan yang berkualitas adalah hak setiap anak, tanpa terkecuali. Maka, sistem akreditasi pun harus menjangkau semua dengan pendekatan yang adaptif dan partisipatif,” jelas M Nuh.
Dalam pelaksanaannya, badan akreditasi mandiri akan tetap mengacu pada prinsip dasar penjaminan mutu, seperti objektivitas, transparansi, akuntabilitas, dan keberlanjutan. Dengan demikian, hasil akreditasi yang dikeluarkan dapat dipercaya dan digunakan sebagai dasar pengambilan kebijakan oleh satuan pendidikan maupun pemerintah.
Sebagai bagian dari ekosistem pendidikan nasional, BAN S/M terus berkomitmen untuk memperkuat sinergi dengan berbagai elemen bangsa dalam menciptakan pendidikan yang inklusif, bermutu, dan berkelanjutan. Langkah menuju akreditasi mandiri bukanlah akhir dari proses, melainkan awal dari kolaborasi yang lebih luas demi masa depan generasi penerus.
“Kita harus membangun sistem yang mendorong perbaikan berkelanjutan, bukan sekadar menilai. Dengan akreditasi mandiri, kita memperkuat fondasi itu bersama-sama,” pungkas M Nuh.
Dalam era perubahan yang cepat seperti saat ini, kemampuan adaptasi dan kolaborasi menjadi kunci keberhasilan pembangunan pendidikan. Akreditasi mandiri menjadi salah satu instrumen strategis untuk mendorong transformasi sistem pendidikan agar lebih responsif terhadap tantangan zaman.
Kesadaran bahwa kualitas pendidikan adalah tanggung jawab bersama menjadi pondasi kuat untuk menciptakan sistem yang berkelanjutan. Masyarakat tidak lagi berada di posisi pasif, melainkan turut serta memimpin perubahan, memastikan bahwa setiap anak bangsa mendapatkan akses pendidikan yang bermutu.
Dengan demikian, akreditasi mandiri bukan hanya soal prosedur administratif, tetapi gerakan kolektif untuk mewujudkan pendidikan yang menjangkau semua, relevan, dan memberdayakan.