JAKARTA - Pemerintah terus menunjukkan komitmennya dalam memperkuat sistem perpajakan nasional, terutama di sektor digital yang mengalami pertumbuhan signifikan dalam beberapa tahun terakhir. Langkah konkret terbaru diwujudkan melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 37 Tahun 2025 yang secara khusus mengatur kewajiban pajak bagi pelaku usaha di platform e-commerce.
Melalui beleid ini, pemerintah tidak hanya menegaskan posisi platform digital sebagai bagian penting dalam ekosistem ekonomi, tetapi juga memberi pedoman yang lebih jelas bagi para pedagang online dalam memenuhi kewajiban perpajakan mereka.
Salah satu poin utama dari aturan baru ini adalah penunjukan platform e-commerce sebagai pemungut Pajak Penghasilan (PPh) atas transaksi yang dilakukan oleh pedagang dalam negeri. Dengan demikian, peran platform digital kini tidak hanya sebagai fasilitator perdagangan, tetapi juga sebagai penghubung penting antara pedagang dan sistem perpajakan nasional.
Platform yang termasuk dalam kategori Penyelenggara Perdagangan Melalui Sistem Elektronik (PMSE) meliputi berbagai nama besar yang sudah dikenal luas masyarakat. Di antaranya adalah Shopee, Tokopedia, Lazada, Blibli, TikTok, Amazon, dan Alibaba. Kehadiran platform-platform tersebut selama ini sangat membantu UMKM dan pelaku usaha lainnya menjangkau pasar yang lebih luas, dan kini turut mengambil bagian dalam sistem pajak yang lebih inklusif.
Sebagaimana tercantum dalam Pasal 2 PMK 37/2025, tugas platform e-commerce mencakup pemungutan, penyetoran, dan pelaporan pajak atas penghasilan yang diperoleh pedagang dalam negeri melalui transaksi digital.
"Pedagang yang dimaksud mencakup orang pribadi maupun badan usaha yang menerima penghasilan melalui rekening bank dan bertransaksi menggunakan alamat IP atau nomor telepon Indonesia," demikian tertulis dalam beleid tersebut.
Pemerintah menetapkan tarif pungutan pajak sebesar 0,5 persen dari peredaran bruto yang tercantum dalam dokumen tagihan. Tarif ini tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), sehingga bersifat spesifik pada penghasilan bruto saja. Hal ini memberikan kejelasan kepada para pelaku usaha tentang seberapa besar kontribusi pajak yang harus mereka setorkan.
Namun demikian, aturan ini tidak berlaku untuk semua transaksi. Pemerintah memberikan sejumlah pengecualian, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 8 beleid tersebut. Kebijakan ini menunjukkan bahwa pemerintah tetap mempertimbangkan keadilan dan proporsionalitas dalam pelaksanaan pungutan pajak.
Berikut adalah daftar transaksi yang dikecualikan dari kewajiban pemungutan pajak oleh platform:
-Wajib Pajak orang pribadi dengan peredaran bruto di bawah Rp500 juta per tahun, dengan catatan telah menyampaikan surat pernyataan sesuai ketentuan.
-Mitra pengemudi ekspedisi dari aplikasi transportasi online, yang biasanya hanya menerima komisi jasa pengantaran.
-Pedagang yang memiliki surat keterangan bebas pemotongan atau pemungutan PPh dari otoritas pajak.
-Penjualan pulsa dan kartu perdana, yang umumnya sudah dikenai pajak melalui mekanisme lain.
-Penjualan emas, perhiasan, batu permata, dan sejenisnya oleh pabrikan atau pedagang yang memang memiliki karakteristik usaha khusus.
Transaksi pengalihan hak atas tanah dan bangunan, yang memiliki ketentuan perpajakan tersendiri berdasarkan peraturan sebelumnya.
Langkah ini disambut positif oleh berbagai pihak karena dinilai mampu menjawab kebutuhan akan sistem perpajakan yang adaptif terhadap perkembangan ekonomi digital. Di sisi lain, kebijakan ini tidak serta merta memberatkan pelaku usaha kecil karena adanya ambang batas tertentu dan daftar pengecualian yang cukup luas.
Menurut Kementerian Keuangan, kebijakan ini diambil sebagai bagian dari strategi perluasan basis pajak di sektor digital. Selain untuk meningkatkan penerimaan negara, kebijakan ini juga bertujuan menciptakan rasa keadilan di antara pelaku usaha dari berbagai sektor, baik konvensional maupun digital.
Dengan pertumbuhan e-commerce yang semakin masif, peran pajak dalam sektor ini pun menjadi lebih signifikan. Pemerintah pun terus mendorong agar platform digital, pedagang online, dan otoritas perpajakan dapat bersinergi dalam menciptakan sistem yang lebih transparan dan efisien.
Secara keseluruhan, aturan ini mencerminkan pendekatan positif dan proaktif pemerintah dalam menjawab tantangan zaman, sekaligus menjaga keberlangsungan penerimaan negara. Para pelaku usaha, baik individu maupun badan, kini memiliki landasan hukum yang lebih pasti untuk menjalankan kewajiban pajaknya tanpa kebingungan atau kekhawatiran.
Dengan regulasi yang lebih terstruktur dan mekanisme pemungutan yang jelas, diharapkan pedagang online tidak lagi melihat pajak sebagai beban, melainkan sebagai bagian dari kontribusi terhadap pembangunan nasional.