Ilmiah

Ilmiah Soroti Bahaya BPA pada Galon Guna Ulang

Ilmiah Soroti Bahaya BPA pada Galon Guna Ulang
Ilmiah Soroti Bahaya BPA pada Galon Guna Ulang

JAKARTA - Kesadaran masyarakat terhadap keamanan kemasan makanan dan minuman terus meningkat seiring munculnya temuan ilmiah terbaru mengenai senyawa Bisphenol A (BPA). Berbagai riset internasional menunjukkan perlunya regulasi dan edukasi yang lebih kuat untuk memastikan perlindungan konsumen, terutama dalam penggunaan galon guna ulang berbahan polikarbonat.

Kian berkembangnya riset ilmiah dari berbagai belahan dunia mendorong peningkatan kesadaran tentang bahaya senyawa kimia dalam kemasan makanan dan minuman. Salah satu yang paling disorot adalah Bisphenol A (BPA), zat kimia yang lazim ditemukan dalam plastik keras seperti galon guna ulang.

Berbagai studi menyebutkan bahwa BPA memiliki potensi bahaya terhadap kesehatan manusia. Senyawa ini diketahui dapat memicu sejumlah penyakit serius seperti kanker, obesitas, gangguan sistem reproduksi, dan kelainan neurobehavioral. Fakta-fakta ilmiah ini menjadi pengingat penting bahwa perlindungan konsumen harus dimulai dari sisi informasi dan edukasi yang transparan.

Salah satu studi yang cukup menjadi perhatian datang dari Harvard College, yang menunjukkan bahwa penggunaan wadah plastik polikarbonat selama satu minggu saja bisa meningkatkan kadar BPA dalam urin hingga 69%. Temuan ini memperkuat dugaan bahwa migrasi BPA ke dalam makanan atau minuman bisa terjadi secara signifikan, bahkan dalam waktu singkat.

Lebih jauh, penelitian dari Kenya menunjukkan bahwa seluruh sampel plastik polikarbonat, baik yang baru maupun yang telah digunakan, melepaskan BPA melebihi ambang batas asupan harian yang dapat diterima. Ambang batas yang dimaksud adalah 4 mikrogram per kilogram berat badan per hari, sebagaimana ditetapkan oleh Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA).

Apa sebenarnya yang membuat BPA berbahaya? Zat ini dikategorikan sebagai endocrine disruptor, yaitu senyawa kimia yang bisa meniru hormon estrogen dalam tubuh manusia. Karena efeknya bersifat akumulatif dan cenderung muncul dalam jangka panjang, masyarakat seringkali tidak menyadari bahaya yang mengintai.

Sebagai respons atas temuan-temuan tersebut, EFSA melakukan langkah signifikan dengan menurunkan batas aman konsumsi BPA menjadi hanya 0,2 nanogram per kilogram berat badan per hari. Angka ini 20.000 kali lebih rendah dari standar yang sebelumnya, menandakan adanya urgensi besar dalam mengontrol paparan BPA terhadap konsumen.

Dampaknya, berbagai negara pun mulai memperketat regulasi. Komisi Eropa telah melarang penggunaan BPA dalam seluruh kemasan pangan dan minuman. Negara-negara seperti Prancis, Belgia, Swedia, hingga Tiongkok turut mengadopsi kebijakan serupa, memperkuat komitmen global dalam melindungi masyarakat dari risiko zat berbahaya.

Di Indonesia sendiri, Komunitas Konsumen Indonesia (KKI) melakukan investigasi lapangan dan menemukan bahwa hampir 40% galon guna ulang yang beredar di pasaran telah melampaui usia pakai yang aman. Fakta ini mengisyaratkan perlunya langkah tegas untuk menjamin keamanan produk yang bersentuhan langsung dengan kehidupan sehari-hari.

Menurut Prof. Mochamad Chalid, pakar polimer dari Universitas Indonesia, masa pakai aman untuk galon guna ulang adalah satu tahun atau maksimal 40 kali pengisian ulang. Namun kenyataan di lapangan menunjukkan adanya galon yang digunakan hingga 2 hingga 4 tahun, jauh melampaui batas rekomendasi.

Ketua KKI, David Tobing, menanggapi temuan ini dengan menyerukan perlunya langkah perlindungan yang lebih konkret. “Galon itu seharusnya sudah ditarik dari peredaran karena berpotensi menimbulkan risiko kesehatan. Semakin tua usia pakai galon guna ulang, semakin banyak BPA yang bisa luruh ke dalam air minum,” ujar David.

Selain itu, hasil uji post-market yang dilakukan oleh BPOM pada Januari 2022 juga mendukung kekhawatiran tersebut. Hasilnya menunjukkan bahwa 33% sampel dari distribusi dan 24% dari produksi memiliki tingkat migrasi BPA yang mendekati batas bahaya, menunjukkan pentingnya pemantauan ketat secara berkala.

Kelompok paling rentan terhadap paparan BPA adalah bayi usia 6 hingga 11 bulan dan anak usia 1 hingga 3 tahun, yang masing-masing memiliki risiko paparan sebesar 2,4 kali dan 2,12 kali lebih tinggi dibanding orang dewasa. Fakta ini tentu menjadi sorotan penting, mengingat kesehatan anak merupakan prioritas utama dalam kebijakan publik.

Sebagai upaya perlindungan konsumen, BPOM mengeluarkan Peraturan Nomor 6 Tahun 2024 yang mewajibkan pencantuman label “Berpotensi Mengandung BPA” pada galon guna ulang berbahan polikarbonat. Meskipun kebijakan ini sempat mendapatkan penolakan dari sebagian pelaku industri, BPOM memberikan masa transisi hingga 2028 agar para pelaku usaha dapat menyesuaikan diri.

David Tobing menegaskan pentingnya percepatan implementasi regulasi ini. Ia menyatakan bahwa perlindungan konsumen harus diutamakan dan tidak bisa ditunda lagi. “Mendesak agar penerapan label dipercepat dan regulasi batas usia pakai galon segera diberlakukan demi perlindungan konsumen,” tegasnya.

Secara keseluruhan, rangkaian temuan ilmiah dan kebijakan yang lahir dari hasil riset ini menandakan adanya kemajuan dalam pendekatan berbasis bukti (evidence-based policy). Hal ini juga menjadi momentum bagi masyarakat dan industri untuk lebih peduli terhadap keamanan produk sehari-hari.

Dengan sinergi antara hasil penelitian ilmiah, kebijakan regulatif, serta partisipasi masyarakat, risiko BPA dalam galon guna ulang dapat diminimalkan. Edukasi publik menjadi kunci penting untuk membangun kesadaran dan memastikan langkah-langkah perlindungan diterapkan secara konsisten demi masa depan yang lebih sehat.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index