JAKARTA - Pergerakan pasar saham Indonesia diperkirakan akan cenderung positif di awal pekan ini, seiring meningkatnya fokus investor terhadap arah kebijakan suku bunga yang akan diputuskan dalam Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (BI) yang digelar pada 15 hingga 16 Juli 2025. Momen ini menjadi penentu utama pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama sepekan ke depan.
Analis Phintraco Sekuritas, Ratna Lim, menyampaikan bahwa sinyal penguatan IHSG cukup kuat, terutama jika indeks mampu menembus garis rerata 200 harian (moving average/MA200) pada level 7.085. Menurutnya, pencapaian tersebut akan membuka peluang bagi IHSG untuk bergerak menuju area resistance di kisaran 7.100 hingga 7.150.
“Diperkirakan pada pekan ini jika IHSG mampu 'breakout' MA200 di level 7.085, maka berpeluang menguji resistance di level 7.100 sampai 7.150," jelas Ratna Lim.
Ekspektasi terhadap keputusan suku bunga BI menjadi perhatian utama pelaku pasar. Bank Indonesia dijadwalkan mengumumkan hasil rapatnya pada Rabu, 16 Juli 2025. Para analis memperkirakan bank sentral akan menurunkan suku bunga acuannya (BI Rate) sebesar 25 basis poin menjadi 5,25 persen, sebagai upaya mendorong pertumbuhan ekonomi domestik di tengah tantangan global.
Kebijakan moneter yang cenderung akomodatif ini dinilai mampu mendukung iklim investasi di pasar modal. Jika BI memutuskan untuk memangkas suku bunga, maka akan meningkatkan daya tarik pasar saham, khususnya sektor-sektor yang sensitif terhadap suku bunga seperti properti dan perbankan.
Dari sisi global, pelaku pasar juga memantau perkembangan kebijakan perdagangan Amerika Serikat. Presiden AS Donald Trump baru-baru ini mengumumkan rencana pemberlakuan tarif impor sebesar 30 persen terhadap produk dari Uni Eropa dan Meksiko, yang mulai efektif pada 1 Agustus 2025. Kebijakan ini muncul akibat belum tercapainya kesepakatan dagang komprehensif antara AS dan kedua kawasan tersebut.
Langkah Trump memunculkan spekulasi lanjutan bahwa kebijakan tarif dapat diperluas ke negara-negara lain, sehingga menciptakan ketidakpastian di pasar global. Meski demikian, respons investor masih cenderung menunggu dan mencermati arah perkembangan lebih lanjut.
Tak hanya kebijakan tarif, perhatian pasar global juga terfokus pada musim rilis laporan keuangan (earning season) kuartal II-2025 di bursa saham Wall Street, yang akan memberikan gambaran kinerja korporasi AS di tengah kondisi ekonomi yang penuh tantangan.
Selain itu, data-data ekonomi penting dari sejumlah negara juga akan dirilis sepanjang pekan ini, seperti data inflasi dari Amerika Serikat dan Inggris, data produksi industri dari kawasan Euro Area, serta pertumbuhan ekonomi dari China. Data tersebut akan turut menjadi pertimbangan dalam mengambil keputusan investasi.
Dari sisi bursa global, perdagangan akhir pekan lalu menunjukkan pelemahan di sejumlah indeks utama. Di kawasan Eropa, indeks Euro Stoxx 50 ditutup turun 1,01 persen, FTSE 100 Inggris turun 0,38 persen, DAX Jerman melemah 0,82 persen, dan CAC Prancis terkoreksi 0,92 persen.
Sementara itu, bursa saham AS juga mengalami tekanan. Indeks Dow Jones Industrial Average turun 0,63 persen, indeks S&P 500 terkoreksi 0,33 persen, dan indeks Nasdaq mengalami penurunan sebesar 0,22 persen. Tekanan ini mencerminkan kekhawatiran investor terhadap prospek pertumbuhan ekonomi global, seiring ketegangan dagang dan inflasi yang masih menjadi tantangan.
Kondisi global yang kurang kondusif tersebut semakin menyoroti pentingnya langkah kebijakan dari Bank Indonesia. Pasar mengharapkan adanya respons yang menyeimbangkan antara menjaga stabilitas nilai tukar dan mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.
Bank Indonesia sendiri dikenal berhati-hati dan terukur dalam menetapkan arah kebijakan moneternya. Penurunan suku bunga yang diprediksi akan dilakukan pekan ini dianggap sebagai bentuk respons strategis terhadap dinamika eksternal dan kebutuhan domestik.
Dengan potensi penurunan suku bunga, para pelaku pasar melihat prospek positif terhadap sektor-sektor yang mendapat manfaat langsung, seperti konsumer, properti, serta perbankan. Permintaan terhadap kredit bisa meningkat, begitu pula dengan daya beli masyarakat.
Sinyal-sinyal tersebut memperkuat optimisme bahwa IHSG dapat mempertahankan tren positif dalam jangka pendek. Namun, pelaku pasar tetap disarankan untuk mencermati risiko dari luar negeri, terutama potensi eskalasi kebijakan proteksionisme dari Amerika Serikat, serta dampaknya terhadap arus modal global.
Dari sisi teknikal, penguatan indeks yang konsisten di atas MA200 akan menjadi penanda penting bahwa pasar mulai menunjukkan momentum positif. Arah pergerakan berikutnya akan sangat bergantung pada hasil RDG Bank Indonesia dan sentimen global.
Secara keseluruhan, pasar saham Indonesia berada dalam posisi yang sensitif namun menjanjikan. Dengan kebijakan BI yang dinantikan dan sejumlah sentimen eksternal yang masih dinamis, pekan ini menjadi titik krusial bagi arah pergerakan IHSG ke depan.
Bank Indonesia kembali menjadi sentral perhatian, bukan hanya sebagai penjaga stabilitas, tetapi juga sebagai penggerak sentimen positif di pasar modal. Langkah yang diambil BI akan menjadi katalis penting bagi kepercayaan pelaku pasar dan arah investasi jangka pendek hingga menengah.