Doping adalah: Sejarah dan Sanksi hingga Daftar Kasusnya

Doping adalah: Sejarah dan Sanksi hingga Daftar Kasusnya
doping adalah

Doping adalah tindakan tidak sportif yang masih marak di dunia olahraga, padahal bidang ini seharusnya menjunjung kejujuran dan integritas.

Nilai-nilai tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab para atlet, tetapi juga harus dimiliki oleh setiap individu yang terlibat dalam pengelolaan cabang olahraga, termasuk para pengurusnya.

Namun dalam kenyataannya, banyak kasus yang menunjukkan bahwa integritas para pengurus olahraga masih perlu dipertanyakan. 

Beberapa di antaranya terseret dalam kasus penyalahgunaan kekuasaan, seperti korupsi, pengaturan hasil pertandingan, bahkan keterlibatan dalam urusan politik yang seharusnya dijauhkan dari dunia olahraga.

Di sisi lain, para atlet pun tidak sepenuhnya bebas dari perilaku tercela. Ada yang dengan sengaja melukai lawan saat bertanding, terlibat dalam pengaturan skor, bersikap diskriminatif, hingga menggunakan zat terlarang demi meningkatkan performa secara instan.

Dari berbagai bentuk pelanggaran yang ada, doping adalah salah satu yang paling tidak dapat diterima karena mencederai prinsip dasar sportivitas. 

Oleh karena itu, penting untuk memahami apa yang dimaksud dengan doping, latar belakang kemunculannya, bentuk sanksi yang diberlakukan, dan siapa saja atlet yang pernah terlibat dalam pelanggaran tersebut.

Doping adalah

Penggemar olahraga tentu sudah tidak asing dengan praktik doping yang kerap menjadi perbincangan dalam dunia atletik. 

Tindakan ini tak hanya merugikan pelakunya, tapi juga menciptakan ketidakadilan bagi sesama atlet yang berkompetisi secara jujur. Lalu, apa yang membuat praktik ini begitu dikecam dan dilarang dalam olahraga?

Doping adalah tindakan penggunaan zat atau obat tertentu untuk meningkatkan performa atlet secara instan. 

Biasanya, atlet mengonsumsi senyawa seperti narkotika atau obat peningkat kemampuan fisik agar bisa tampil lebih unggul dalam pertandingan. Namun, metode ini dianggap curang dan bertentangan dengan semangat sportivitas.

Istilah doping sudah dikenal luas di kalangan lembaga olahraga internasional yang mengatur berbagai kompetisi. Mereka menilai penggunaan zat semacam itu melanggar nilai-nilai etika dan integritas yang seharusnya menjadi dasar perilaku atlet. 

Bahkan, upaya atlet untuk mengelabui tes atau menyembunyikan penggunaan doping hanya memperburuk pelanggaran tersebut.

Seiring berkembangnya dunia olahraga modern, aturan mengenai larangan penggunaan obat-obatan semakin diperketat. Salah satu alasan utamanya adalah untuk menciptakan persaingan yang adil dan merata di antara semua peserta. 

Menggunakan bantuan kimia tentu merugikan atlet lain yang telah berlatih keras dan mengandalkan kemampuan alami mereka.

Dampak doping juga tidak hanya terbatas di lapangan. Atlet yang terbukti menggunakan zat terlarang bisa memberikan contoh buruk kepada masyarakat, terutama penggemar yang menganggap mereka sebagai panutan. 

Hal ini bisa memicu penyalahgunaan obat di kalangan publik karena adanya pengaruh dari tokoh publik yang bersikap tidak bijak. Dari sisi kesehatan, dua jenis zat yang sering digunakan adalah steroid dan stimulan. 

Steroid dapat meningkatkan kekuatan fisik dan massa otot, sementara stimulan menajamkan fokus sekaligus mengurangi rasa lelah. Namun, pemakaian jangka panjang bisa menyebabkan efek samping serius, termasuk ketergantungan.

Dengan risiko kesehatan yang tinggi dan pengaruh buruk terhadap nilai-nilai olahraga, tidak heran bila banyak organisasi internasional gencar mengkampanyekan gerakan anti-doping demi menjaga kemurnian dan keadilan dalam setiap kompetisi.

Sejarah dan Sanksi Doping

Jika menelusuri kembali ke masa lampau, penggunaan zat penambah stamina ternyata sudah dikenal sejak era Romawi dan Yunani kuno. 

Pada zaman itu, para atlet seperti gladiator atau pengemudi kereta perang diduga mengonsumsi ramuan tertentu untuk meningkatkan kemampuan mereka dalam bertanding.

Catatan paling awal mengenai penggunaan zat tersebut tercatat pada tahun 1807 dan melibatkan seorang atlet jalan cepat asal Inggris bernama Abraham Wood. 

Ia secara terbuka mengaku memakai laudanum, yaitu campuran alkohol dengan opium, untuk membantu menjaga ketahanan fisik serta tetap terjaga saat malam hari. 

Wood mengikuti perlombaan jalan cepat sejauh 800 kilometer demi meraih medali emas, dan merasa bahwa zat itu mampu memperkuat dirinya selama lomba berlangsung.

Seiring waktu, pemakaian berbagai jenis zat penunjang fisik menyebar ke cabang olahraga lain yang membutuhkan daya tahan tinggi. Balap sepeda menjadi salah satu contohnya, di mana atlet harus berlaga selama enam hari penuh. 

Alasan utama penggunaan zat ini tidak terlepas dari harapan penonton yang ingin melihat performa luar biasa dari para peserta. Semakin banyak penonton yang tertarik, semakin besar pula hadiah yang ditawarkan oleh penyelenggara kompetisi.

Pada pertengahan abad ke-20, seorang atlet angkat besi asal Amerika Serikat bernama John Ziegler mulai mengenalkan penggunaan zat tertentu yang kini dikenal luas di dunia olahraga. 

Ia menyadari bahwa para pesaing dari Uni Soviet memakai testosteron untuk meningkatkan kekuatan. 

Melihat hal itu, Ziegler bekerja sama dengan perusahaan farmasi di negaranya untuk mengembangkan zat sejenis, yang kelak dikenal sebagai steroid. 

Temuan ini kemudian digunakan oleh banyak atlet lainnya guna memperbaiki performa mereka di berbagai ajang olahraga.

Setelah berbagai insiden penggunaan zat semacam itu mencuat, banyak lembaga olahraga internasional mulai menetapkan peraturan ketat demi menjaga keadilan dalam pertandingan. 

Badan yang secara khusus menangani hal ini bernama World Anti-Doping Agency (WADA). Organisasi ini memiliki wewenang untuk menjatuhkan sanksi kepada atlet yang kedapatan menggunakan zat terlarang atau gagal lolos dalam pengujian laboratorium.

Sanksi yang dijatuhkan oleh badan tersebut bervariasi, mulai dari diskualifikasi dari kompetisi, larangan menyimpan atau menggunakan zat terlarang, pencabutan hadiah yang telah diterima, pembayaran denda, hingga tidak diperbolehkan mengikuti tes ulang jika terbukti melakukan pelanggaran berat. 

Tak hanya WADA, federasi olahraga lain juga memiliki kebijakan serupa yang menekankan pentingnya kejujuran dan sportifitas.

Setiap organisasi biasanya menetapkan hukuman berupa larangan mengikuti turnamen selama jangka waktu tertentu, dari hitungan bulan hingga bertahun-tahun. 

Beberapa di antaranya juga menyesuaikan denda dengan pendapatan atlet yang bersangkutan. Bahkan, tidak sedikit yang mencabut gelar juara apabila ditemukan pelanggaran setelah kompetisi selesai.

Kasus Doping Terkenal

Meskipun berbagai peraturan telah diberlakukan secara ketat, tetap saja ada atlet yang bersikeras menggunakan zat terlarang dengan berbagai alasan pribadi. 

Alasan-alasan tersebut pada umumnya tidak diterima oleh lembaga olahraga mana pun, karena dampak negatifnya yang besar terhadap keadilan dan integritas dalam kompetisi.

Sepanjang sejarah, tercatat banyak kasus di mana atlet memilih menggunakan zat penunjang performa demi meraih kemenangan pribadi. 

Meskipun sebagian dari mereka berhasil mencapai podium, kemenangan tersebut akhirnya dibatalkan, dan gelar atau medali yang diraih pun dicabut karena dianggap tidak sah.

Berikut adalah empat kasus penggunaan zat terlarang yang cukup dikenal secara luas, melibatkan nama-nama besar dalam dunia olahraga. 

Beberapa di antaranya bahkan menjadi pemicu utama diperketatnya aturan mengenai pelanggaran ini agar kejadian serupa tidak terulang di masa mendatang.

Thomas Hicks – Olimpiade St. Louis 1904

Kasus yang satu ini sering disebut sebagai salah satu yang paling awal dan cukup mengerikan. 

Thomas Hicks, seorang pelari maraton asal Amerika Serikat, tercatat menggunakan campuran striknina dan brandy yang disuntikkan langsung ke dalam tubuhnya ketika tersisa sekitar 10 kilometer menjelang garis finis. 

Saat itu, tubuhnya mulai melemah dan dia terancam gagal menyelesaikan lomba. Striknina, yang saat ini lebih dikenal sebagai racun tikus, berfungsi sebagai stimulan pada masa itu. 

Campuran ini memang berhasil membantunya mencapai garis akhir, namun dalam kondisi memprihatinkan. 

Hicks tampak sempoyongan, dan bahkan mengalami halusinasi saat berlari. Situasi dalam perlombaan maraton tahun itu memang penuh kekacauan. 

Meskipun Hicks menggunakan zat terlarang, ia tetap dinyatakan sebagai pemenang karena pesaing utamanya, Fred Lorz, ketahuan menumpang mobil sejauh 10 kilometer sebelum garis finis.

Ben Johnson – Olimpiade Seoul 1988

Ben Johnson pernah dikenal sebagai salah satu sprinter terbaik dari Kanada. Namun reputasinya hancur akibat skandal penggunaan zat terlarang pada Olimpiade Seoul 1988. 

Dalam lomba lari 100 meter, ia terbukti menggunakan stanozolol, sejenis steroid anabolik yang mampu meningkatkan massa otot dan kekuatan tubuh secara signifikan.

Kemenangan tersebut awalnya disambut dengan antusiasme besar, mengingat pada Olimpiade sebelumnya ia hanya memperoleh perunggu. 

Namun, hasil tes urine menunjukkan keberadaan zat tersebut, sehingga medali emasnya dicabut dan diberikan kepada rivalnya, Carl Lewis.

Bukan hanya medali dari Olimpiade Seoul yang ditarik, melainkan juga penghargaan lain yang diterimanya pada tahun sebelumnya, setelah terbukti memakai zat yang sama. 

Kasus ini memperkuat desakan terhadap pengawasan lebih ketat di cabang olahraga atletik.

Diego Maradona – Piala Dunia 1994

Sosok ini dikenal sebagai salah satu legenda sepakbola dunia, namun juga kerap tersandung kontroversi. 

Di tengah bakat luar biasanya, Diego Maradona pernah mengalami masa kelam akibat ketergantungan terhadap narkotika. 

Ia bahkan sempat diskors selama 15 bulan karena penggunaan kokain. Namun, pelanggarannya tidak berhenti sampai di situ. 

Dalam Piala Dunia 1994 yang digelar di Amerika Serikat, ia kedapatan menggunakan efedrin, suatu zat stimulan yang disebutnya dapat membantu menurunkan berat badan. 

Kejadian ini terjadi setelah pertandingan melawan Nigeria di babak penyisihan grup. Pertandingan tersebut menjadi laga terakhirnya bersama tim nasional Argentina. 

Dalam autobiografinya, Maradona menyatakan bahwa minuman energi yang dikonsumsinya mengandung komposisi berbeda dengan yang biasa dia gunakan di negara asalnya, yang memicu hasil positif dalam tes tersebut.

Lance Armstrong – Tour de France 1999–2004

Nama terakhir dalam daftar ini merupakan mantan pebalap sepeda yang pernah dianggap sebagai ikon ketahanan dan kekuatan. 

Lance Armstrong berhasil menjuarai ajang bergengsi Tour de France sebanyak enam kali berturut-turut dari tahun 1999 hingga 2004.

Namun, di balik kesuksesan tersebut tersimpan praktik kecurangan yang akhirnya terungkap. 

Armstrong diketahui menggunakan EPO, sejenis hormon yang dapat meningkatkan produksi sel darah merah, sehingga memberikan keunggulan dalam hal stamina dan ketahanan tubuh.

Meskipun awalnya ia membantah semua tuduhan dan selalu lolos dari berbagai tes, pada tahun 2013 Armstrong mengakui semuanya dalam wawancara eksklusif bersama Oprah Winfrey. 

Ia bahkan menyatakan bahwa hasil tes negatif yang selama ini ia tunjukkan telah dipalsukan. Akibat pengakuan tersebut, seluruh gelar yang diperolehnya sejak tahun 1998 dicabut. 

Sponsor-sponsor pun segera menarik dukungan mereka, membuat Armstrong mengalami kerugian finansial besar yang mencapai puluhan juta dolar Amerika Serikat.

Keempat kisah di atas menjadi pengingat keras bahwa penggunaan zat terlarang dalam olahraga, meskipun terkadang memberikan hasil jangka pendek yang mengesankan, pada akhirnya merusak reputasi, menghancurkan karier, dan merugikan banyak pihak, baik secara etika maupun profesional.

Sebagai penutup, doping adalah tindakan curang yang merusak nilai sportivitas dan dapat menghancurkan karier atlet serta kepercayaan publik terhadap dunia olahraga.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index