JAKARTA - Langkah Amerika Serikat (AS) menerapkan tarif impor baru atas sejumlah produk global mulai 1 Agustus 2025 memicu kekhawatiran berbagai negara pengekspor, termasuk Indonesia. Namun, Bank Indonesia menilai dampaknya terhadap ekspor Kalimantan Selatan (Kalsel) akan sangat terbatas.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia Kalimantan Selatan, Fadjar Majardi, menjelaskan bahwa produk-produk utama yang menjadi target tarif AS seperti peralatan elektronik, tekstil, alas kaki, dan furnitur bukanlah komoditas andalan dari Kalsel. Ia menegaskan bahwa ekspor dari wilayah tersebut cenderung stabil karena fokus pada sektor yang berbeda.
“Komoditas ekspor daerah ini didominasi oleh hasil pertambangan dan CPO (Crude Palm Oil), yang utamanya tertuju ke Cina, India, Jepang dan kawasan ASEAN. Berdasarkan hal ini, pemberlakuan tarif impor oleh AS tidak memiliki dampak langsung terhadap ekspor Kalsel,” ungkap Fadjar dalam pernyataan resminya.
Dampak Jangka Pendek Global dan Posisi Indonesia
Kebijakan tarif impor sebesar 32 persen oleh Presiden Donald Trump ini dinilai akan menaikkan harga barang-barang Indonesia di pasar AS. Hal ini tentu berpotensi menurunkan permintaan dalam jangka pendek. Namun, Fadjar menekankan bahwa efek tersebut kemungkinan besar hanya sementara.
“Dalam jangka menengah, dampak penurunannya diperkirakan semakin minimal. Hal ini mengingat AS tidak memiliki keunggulan dalam memproduksi produk yang diimpor dari Indonesia tersebut. Sementara negara pesaing Indonesia juga dikenai tarif impor, sehingga pasar AS tidak memiliki substitusi produk dengan harga yang lebih murah,” paparnya.
Artinya, tidak hanya Indonesia yang terkena kebijakan tersebut. Negara-negara lain dengan produk sejenis juga akan terkena dampak tarif, sehingga produk asal Indonesia masih memiliki peluang kompetitif.
Inflasi AS Bisa Naik, Indonesia Tetap Stabil
Meski tarif ini bersifat proteksionis dan menyasar sejumlah negara, Bank Indonesia memperkirakan efek lanjutan dari kebijakan ini justru akan dirasakan oleh Amerika sendiri, khususnya dalam bentuk tekanan inflasi.
“Pemberlakuan tarif impor kepada sejumlah negara justru akan berdampak terhadap inflasi AS,” jelas Fadjar.
Sebaliknya, bagi Indonesia, efeknya diyakini tidak akan mengganggu stabilitas harga secara nasional. Bank Indonesia memperkirakan inflasi dalam negeri akan tetap terkendali, bahkan berada di kisaran target.
“Pengaruhnya terhadap inflasi Indonesia sangat minimal. Inflasi diperkirakan tetap terkendali di kisaran 2,5 persen pada 2025 dan 2026,” tambahnya.
Strategi Stabilitas Makro Ekonomi
Mengantisipasi dinamika global yang makin tak pasti, Bank Indonesia terus memperkuat koordinasi dengan otoritas lain melalui Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yang juga melibatkan Otoritas Jasa Keuangan (OJK), Lembaga Penjamin Simpanan (LPS), dan pemerintah.
“Untuk menjaga stabilitas makro ekonomi dan sistem keuangan, BI terus berkoordinasi dengan pemerintah, OJK, dan LPS dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) untuk mengambil berbagai kebijakan dan langkah yang diperlukan,” tutur Fadjar.
Di sisi lain, upaya untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah juga menjadi prioritas utama dalam kebijakan Bank Indonesia. Salah satu strategi yang diambil adalah melalui intervensi pasar dengan pembelian Surat Berharga Negara (SBN).
“Agar dampak tidak semakin besar, BI harus menjaga stabilitas nilai rupiah. Strategi ini disertai dengan pembelian Surat Berharga Negara (SBN) di pasar sekunder untuk menjaga stabilitas pasar keuangan,” terangnya.
Pergerakan Modal dan Aset Aman
Kebijakan tarif impor dari AS dinilai juga akan mendorong terjadinya pergeseran arus modal global. Investor global diperkirakan akan mencari aset yang dinilai lebih aman dan stabil, mengingat ketidakpastian ekonomi di AS meningkat akibat potensi inflasi.
Berdasarkan asesmen KSSK, Fadjar menyampaikan bahwa pergeseran tersebut kemungkinan besar akan mengalir ke wilayah atau aset yang dianggap aman, seperti Eropa, Jepang, dan komoditas logam mulia.
“Tarif impor AS diperkirakan mendorong aliran modal dunia bergeser dari AS ke negara dan aset yang dianggap aman (safe haven asset), terutama ke aset keuangan di Eropa dan Jepang serta komoditas emas,” ujarnya.
Pergeseran modal ini bisa berdampak pada nilai tukar, imbal hasil surat utang, dan dinamika pasar saham di berbagai belahan dunia. Indonesia pun bersiap untuk merespons segala perubahan tersebut dengan kebijakan yang terukur.
Ekspor Kalsel Tetap Prospektif
Dengan fokus utama pada komoditas seperti batu bara dan kelapa sawit, ekspor dari Kalimantan Selatan memiliki orientasi pasar yang berbeda dari jenis produk yang dikenai tarif oleh AS. Ini menjadi keuntungan tersendiri dalam menghadapi ketegangan perdagangan global.
Apalagi, permintaan dari negara mitra utama seperti Cina dan India terhadap komoditas Kalsel relatif stabil. Hal ini memberi harapan bahwa prospek ekspor daerah tersebut tetap positif meskipun ketidakpastian global meningkat.
“Dampak yang diterima Kalsel lebih minimal,” tegas Fadjar.
Langkah Antisipatif dan Optimisme
Bank Indonesia bersama lembaga keuangan lain terus memantau situasi global dan domestik secara aktif. Meskipun kebijakan tarif impor AS bisa menimbulkan efek domino pada skala internasional, langkah-langkah antisipatif telah disiapkan secara menyeluruh.
Dengan pendekatan yang responsif dan kolaboratif, Indonesia, termasuk daerah seperti Kalsel, diyakini mampu menjaga ketahanan ekonomi dan tetap menarik bagi investor.
Kestabilan makroekonomi, rendahnya tekanan inflasi, dan penguatan kerja sama lintas lembaga menjadi fondasi kuat untuk menavigasi situasi ekonomi yang penuh gejolak ini.