JAKARTA - Ketegasan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Almuslim (Fikom Umuslim) dalam menjaga kejujuran akademik terlihat jelas dalam pelaksanaan Ujian Akhir Semester (UAS). Alih-alih membiarkan kecanggihan teknologi memengaruhi proses ujian, pihak kampus justru mengambil sikap tegas: melarang penggunaan gadget selama ujian berlangsung. Kebijakan ini tidak sekadar formalitas, tetapi mencerminkan komitmen institusi terhadap integritas akademik.
Ratusan mahasiswa dari seluruh program studi di lingkungan Fikom Umuslim mengikuti UAS dengan disiplin tinggi. Dalam setiap sesi ujian, mereka diinstruksikan untuk meninggalkan segala bentuk perangkat elektronik termasuk telepon genggam di luar ruang ujian. Langkah ini, menurut pihak kampus, penting demi menjamin suasana ujian yang adil dan bersih dari kecurangan.
Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi, Fakhrurrazi, menegaskan bahwa kebijakan tersebut merupakan bagian dari upaya sistematis untuk membentuk karakter mahasiswa yang jujur dan bertanggung jawab. Ia menyebutkan bahwa larangan penggunaan gadget saat ujian telah menjadi prosedur tetap di Fikom Umuslim.
“Gadget tidak dibenarkan digunakan saat ujian berlangsung, karena dapat membuka peluang kecurangan dan menurunkan nilai kejujuran dalam proses pendidikan,” ujar Fakhrurrazi dalam keterangannya.
Fakhrurrazi menambahkan, upaya ini tidak hanya sebatas melarang penggunaan alat elektronik, melainkan juga mencakup imbauan kepada mahasiswa agar tidak membawa alat bantu lain yang berpotensi digunakan untuk tindakan curang. Menurutnya, menjaga kejujuran dalam proses belajar mengajar harus dimulai dari hal-hal kecil seperti ini.
Di balik kebijakan tersebut, tersirat niat besar pihak kampus untuk membentuk ekosistem pendidikan yang bersih, jujur, dan berorientasi pada kualitas. Penggunaan gadget memang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan mahasiswa sehari-hari. Namun, dalam konteks ujian, kehadiran teknologi tersebut justru dianggap sebagai pengganggu integritas.
Selama ujian berlangsung, pengawasan dilakukan secara ketat oleh para dosen dan pengawas ujian. Mereka tidak hanya memastikan kelancaran teknis pelaksanaan ujian, tetapi juga memantau secara langsung kepatuhan mahasiswa terhadap aturan yang ditetapkan. Sistem pengawasan ini menjadi pilar penting dalam menegakkan disiplin dan etika akademik.
Larangan gadget bukanlah kebijakan baru di Fikom Umuslim. Dalam beberapa tahun terakhir, kebijakan serupa juga diterapkan pada berbagai ujian penting lainnya. Menurut sejumlah dosen, penerapan larangan ini terbukti mampu meminimalisasi kecurangan dan meningkatkan kesadaran mahasiswa terhadap pentingnya nilai kejujuran.
“Dengan tidak membawa gadget, mahasiswa belajar untuk mengandalkan kemampuan sendiri. Ini penting sebagai bagian dari pembentukan karakter dan mental yang tangguh dalam menghadapi tantangan,” jelas salah satu pengawas ujian yang enggan disebutkan namanya.
Bagi sebagian mahasiswa, larangan ini mungkin terasa menyulitkan, apalagi di era digital saat segalanya bisa diakses dengan mudah lewat perangkat genggam. Namun, secara umum, mayoritas mahasiswa memahami dan menghormati kebijakan tersebut. Mereka menyadari bahwa larangan ini diterapkan bukan untuk membatasi, melainkan untuk mendidik.
Salah satu mahasiswa Ilmu Komunikasi yang mengikuti ujian, mengungkapkan pandangannya terkait kebijakan ini. “Awalnya agak kaget karena terbiasa membawa HP ke mana-mana. Tapi setelah tahu tujuannya, saya jadi paham. Ujian tanpa gadget memang lebih fokus,” ungkapnya.
Pandangan serupa juga diungkapkan oleh mahasiswa lainnya yang menilai bahwa kebijakan ini sejalan dengan nilai-nilai profesionalisme yang nantinya akan mereka hadapi di dunia kerja. Mereka menyadari bahwa sikap jujur dan bertanggung jawab adalah modal utama yang harus dimiliki setiap insan akademik.
Langkah Fikom Umuslim ini juga menjadi cerminan bagaimana lembaga pendidikan harus mampu menyesuaikan diri dengan dinamika zaman, tanpa melupakan prinsip dasar pendidikan yang menjunjung tinggi kejujuran. Meskipun teknologi membawa banyak manfaat, institusi pendidikan harus cermat dalam menempatkan batas penggunaannya, terutama dalam konteks yang berpotensi memunculkan celah kecurangan.
Dosen senior di Fikom Umuslim menyebut bahwa pembatasan penggunaan teknologi dalam ujian bukan berarti institusi anti terhadap perkembangan digital. Sebaliknya, kampus tetap mendukung pemanfaatan teknologi dalam proses pembelajaran, namun harus dengan kontrol dan tanggung jawab yang seimbang.
“Di kelas, kami tetap menggunakan teknologi sebagai media pembelajaran. Tapi saat ujian, kami ingin memastikan bahwa hasil yang diperoleh benar-benar mencerminkan kemampuan individu masing-masing,” jelasnya.
Keputusan untuk tetap mempertahankan kebijakan larangan gadget juga didasarkan pada evaluasi internal yang menunjukkan efektivitasnya dalam menjaga kualitas hasil ujian. Data dari pelaksanaan ujian sebelumnya menunjukkan adanya penurunan signifikan dalam kasus pelanggaran akademik setelah kebijakan ini diterapkan secara konsisten.
Ke depan, Fikom Umuslim berencana untuk terus memperkuat sistem pengawasan ujian dan memperluas pemahaman etika akademik kepada seluruh civitas akademika. Diharapkan, langkah ini akan menjadi fondasi kuat bagi terbentuknya generasi lulusan yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara moral dan etis.
Dengan demikian, larangan penggunaan gadget dalam ujian bukanlah sekadar aturan administratif semata. Ia merupakan bagian dari strategi pendidikan yang lebih luas yakni membentuk karakter mahasiswa yang berintegritas. Di tengah derasnya arus digitalisasi, kebijakan seperti ini menjadi pengingat bahwa teknologi, betapapun canggihnya, tetap harus tunduk pada nilai-nilai kejujuran dan tanggung jawab.