Tekno

Tekno Belum Mampu Lindungi Laut

Tekno Belum Mampu Lindungi Laut
Tekno Belum Mampu Lindungi Laut

JAKARTA - Tenggelamnya Kapal Motor Penumpang (KMP) Tunu Pratama Jaya di Selat Bali kembali membuka borok lama dalam sistem transportasi laut di Indonesia. Peristiwa ini bukan semata insiden tunggal, melainkan cerminan kelemahan mendasar dalam pengelolaan, teknologi, serta sumber daya manusia (SDM) yang terlibat dalam sektor tersebut.

Sorotan tajam datang dari Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI). Wakil Ketua Pemberdayaan dan Pengembangan Wilayah MTI, Djoko Setijowarno, dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, menyatakan bahwa kecelakaan ini adalah alarm keras bagi pemerintah dan pemangku kebijakan agar segera melakukan pembenahan menyeluruh.

Menurut Djoko, pengelolaan penyeberangan antara Pelabuhan Ketapang di Jawa dan Gilimanuk di Bali masih sangat lemah. Salah satu indikatornya adalah rendahnya tingkat pejabat yang diberi tanggung jawab di wilayah tersebut.

“Bayangin segitu sibuknya (penyeberangan) yang ngelola eselon 4, yang punya keterbatasan anggaran, beda sama bandara (dikelola) tingkat eselon 2, sehingga punya SDM dan anggaran cukup,” ungkap Djoko.

Ia menekankan bahwa idealnya, Angkutan Sungai, Danau, dan Penyeberangan (ASDP) ditangani oleh pejabat eselon 1. Dengan kapasitas jabatan tersebut, potensi peningkatan alokasi anggaran jauh lebih besar, memungkinkan terjadinya reformasi struktural yang dibutuhkan.

“Karena kekurangan itu diikuti anggaran, tanpa itu kita enggak bisa melakukan apapun. PT KAI melakukan itu dengan memperbesar anggaran,” ujarnya, mencontohkan keberhasilan sektor perkeretaapian dalam melakukan modernisasi.

Tak hanya persoalan manajerial dan anggaran, Djoko juga menyoroti ketertinggalan sektor pelayaran dalam hal teknologi kapal. Ia menyebut bahwa kondisi geografis dan cuaca ekstrem di Selat Bali mestinya sudah menuntut penggunaan kapal yang lebih modern dan tangguh.

“Yang jelas itu kapal kecil-kecil di sana. Agak dipaksakan. Dulu saya nyeberang Selat Bali santai, tapi sekarang beda,” jelasnya menggambarkan perubahan situasi yang terjadi di lapangan.

Djoko pun menilai bahwa peningkatan fasilitas penyeberangan harus segera dilakukan. Apalagi, dengan hampir selesainya proyek jalan tol yang menuju Banyuwangi, diperkirakan volume kendaraan dan penumpang yang menyeberang dari Jawa ke Bali akan melonjak tajam.

“Maka perlu penambahan dermaga dan modernisasi kapal, kalau enggak keselamatan jadi terancam,” tegasnya.

Hal lain yang menjadi perhatian serius MTI adalah lemahnya pelaksanaan Standar Operasional Prosedur (SOP) keselamatan dalam penyeberangan. Menurut Djoko, banyak aspek dasar yang diabaikan, padahal hal tersebut krusial dalam menghadapi situasi darurat di laut.

Ia mencontohkan pentingnya sosialisasi pertolongan pertama sebelum keberangkatan, seperti yang sudah menjadi standar dalam dunia penerbangan.

“Pelampung harus dikalikan 1,2 penumpang maksimal, dan harus diperiksa terus-menerus kondisi pelampung dan sekocinya juga,” tambahnya.

Pengawasan terhadap perlengkapan keselamatan tersebut, menurutnya, tidak boleh hanya menjadi formalitas, namun harus menjadi bagian dari rutinitas wajib yang dilakukan operator kapal setiap kali berlayar.

Selain itu, Djoko menekankan pentingnya pengikatan kendaraan (lashing) di dalam kapal feri. Tanpa pengamanan yang tepat, kendaraan yang ikut dalam penyeberangan bisa menjadi ancaman serius bagi keselamatan penumpang, apalagi dalam kondisi ombak tinggi.

Di tengah kondisi ini, insiden tenggelamnya kapal bukanlah perkara sepele. Ia menegaskan bahwa kejadian seperti KMP Tunu Pratama Jaya harus menjadi momentum perubahan, bukan sekadar jadi berita musibah yang dilupakan begitu saja.

“Ini panggilan darurat bagi pemerintah untuk tidak lagi menunda pembenahan menyeluruh. Mulai dari struktur manajerial, teknologi kapal, hingga disiplin keselamatan harus jadi prioritas,” tandasnya.

Secara keseluruhan, pernyataan MTI menggambarkan bahwa kelemahan sistemik di sektor pelayaran nasional tidak bisa dibiarkan berlarut-larut. Jika tidak segera ditangani, kejadian serupa dapat terus berulang dengan potensi kerugian jiwa yang makin besar.

Reformasi menyeluruh yang mencakup peningkatan kapasitas SDM, perbaikan tata kelola, serta modernisasi teknologi kapal dan fasilitas pelabuhan menjadi keniscayaan. Kecelakaan laut bukanlah takdir, melainkan konsekuensi dari kelalaian sistem yang sudah terlalu lama dibiarkan tidak efisien.

Dengan meningkatnya konektivitas antarpulau dan pembangunan infrastruktur darat yang makin pesat, tekanan terhadap sektor penyeberangan akan semakin tinggi. Maka itu, sudah waktunya pendekatan terhadap sektor ini tidak lagi bersifat parsial atau reaktif, tetapi menyeluruh dan strategis.

Kecelakaan seperti yang terjadi di Selat Bali menjadi bukti bahwa teknologi dan sumber daya manusia dalam sistem transportasi laut Indonesia masih belum sepenuhnya siap menjawab tantangan zaman. Dan jika pembenahan tidak segera dilakukan, keselamatan masyarakat akan terus jadi taruhannya.

Rekomendasi

Index

Berita Lainnya

Index