JAKARTA - Langkah Presiden Amerika Serikat Donald Trump yang kembali memainkan kartu tarif terhadap mitra dagang Asia tak membuat pasar regional langsung terguncang. Sebaliknya, bursa Asia justru menunjukkan ketahanan dan menguat tipis pada perdagangan. Pelaku pasar tampaknya membaca sinyal bahwa ancaman tarif lebih merupakan strategi negosiasi ketimbang keputusan final.
Data dari Bloomberg mencatat, Indeks MSCI Asia naik 0,1%. Bursa Jepang lewat indeks Topix terkerek 0,15% ke posisi 2.816,03, sementara Kospi Korea Selatan melonjak 1,24% ke 3.097,49. Tak ketinggalan, indeks S&P/ASX 200 Australia juga turut menguat 0,13% di level 8.600,80.
Katalis dari pergerakan ini datang langsung dari pernyataan Trump yang meskipun telah mengumumkan tarif baru, tetap membuka ruang negosiasi lanjutan. Dalam pernyataan di Gedung Putih, Senin waktu setempat, Trump menyebut tarif tersebut belum bersifat final dan penerapannya ditunda hingga paling cepat 1 Agustus. Penundaan ini menandakan bahwa jalan diplomasi belum benar-benar tertutup.
"Investor melihat pengumuman tarif terbaru ini lebih sebagai taktik untuk mempercepat negosiasi, bukan keputusan final soal bea masuk,” ujar Frederic Neumann, Kepala Ekonom Asia di HSBC.
Neumann menilai pendekatan Trump dalam kebijakan perdagangan memiliki pola khas yang dikenal dengan istilah “TACO” atau “Trump Always Chickens Out”, yakni mengancam keras di awal, namun kerap melunak kemudian.
Dalam surat peringatan yang dirilis Trump, tarif baru dijatuhkan kepada beberapa negara Asia. Bea masuk 25% dikenakan pada produk dari Jepang, Korea Selatan, dan Malaysia; 32% untuk Indonesia; 35% terhadap Bangladesh; 36% untuk Thailand dan Kamboja; serta 40% bagi produk dari Laos dan Myanmar.
Namun Trump mengisyaratkan fleksibilitas. “Mungkin akan kami sesuaikan sedikit, tergantung situasinya. Kami tidak akan berlaku tidak adil,” katanya. Ia juga menambahkan bahwa negara-negara yang menawarkan konsesi tambahan akan dipertimbangkan secara positif oleh AS.
Situasi ini menempatkan banyak negara Asia dalam posisi waspada namun terbuka, termasuk India yang disebut telah mengajukan tawaran terbaik dalam negosiasi. Kendati demikian, India menegaskan tetap mempertahankan garis merah seperti melarang masuknya produk pangan hasil rekayasa genetika dan membatasi akses AS ke pasar otomotif dan produk susu mereka.
Di tengah ancaman perang dagang, pasar saham global terlihat lebih tangguh dibanding sebelumnya. Aksi jual besar pada April lalu sempat mengguncang, tetapi sejak itu pasar berhasil pulih. Kembalinya keyakinan investor terjadi seiring munculnya ekspektasi bahwa tenggat tarif akan diperpanjang dan negara-negara akan mencari jalan kompromi dengan AS.
“Tanpa periode tambahan ini, prospek ekonomi bisa saja jauh lebih buruk,” tulis Ian Lyngen dan Vail Hartman dari BMO Capital Markets dalam catatannya. Mereka menyebut bahwa penundaan penerapan tarif secara tidak langsung memperpanjang masa jeda 90 hari yang semestinya berakhir pada Rabu ini.
Kondisi ekonomi AS sendiri saat ini masih menunjukkan ketahanan. Data ketenagakerjaan tetap kuat dan inflasi terjaga, membuat The Federal Reserve (The Fed) belum mengambil langkah lanjutan dalam merespons risiko dari kebijakan tarif.
The Fed memilih pendekatan “wait and see”, sembari menilai dampak kebijakan tarif terhadap pertumbuhan ekonomi dalam beberapa bulan mendatang.
Bagi pelaku pasar, kejelasan arah dari kebijakan tarif menjadi penting. Meski volatilitas jangka pendek bisa terjadi, keyakinan terhadap adanya kompromi tetap mendukung stabilitas pasar. Terlebih, pasar tampaknya telah mulai memahami pola diplomasi Trump yang penuh kalkulasi dan kejutan.
Sebagian analis menyarankan investor untuk tetap selektif memilih saham, terutama di kawasan yang terdampak langsung dari kebijakan bea masuk tersebut. Ketidakpastian masih membayangi, namun tidak menutup peluang bagi negara-negara Asia untuk mendorong percepatan negosiasi dan mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan.
Selain itu, waktu menjadi kunci. Fakta bahwa tarif baru belum berlaku pada Juli memberi ruang bagi pembicaraan intensif selama beberapa pekan ke depan.
Sementara itu, di tengah situasi ini, perhatian investor juga terbagi dengan momen penting lain seperti pertemuan para pemimpin BRICS di Brasil. Di sana, isu perdagangan dan kebijakan tarif AS turut menjadi sorotan, terutama karena beberapa negara BRICS juga masuk dalam daftar negara yang dikenai bea masuk baru oleh Washington.
Langkah Trump yang melayangkan surat langsung kepada Presiden terpilih Prabowo Subianto pun menarik perhatian. Dalam surat tersebut, Trump menjelaskan alasan AS belum menurunkan tarif untuk Indonesia, mengindikasikan bahwa Washington masih menunggu respon kebijakan dari pemerintahan baru Indonesia.
Keseluruhan dinamika ini mencerminkan kompleksitas hubungan dagang antara AS dan Asia. Tarif yang diumumkan belum menimbulkan kepanikan pasar, tapi cukup untuk mendorong pergeseran strategi dan peningkatan komunikasi diplomatik.
Meskipun lanskap perdagangan global kini lebih dinamis dan penuh ketidakpastian, bursa Asia tetap menunjukkan bahwa keyakinan pasar tidak sepenuhnya memudar. Kejelasan arah kebijakan dan potensi negosiasi lanjutan masih menjadi penopang utama sentimen investor.
Dengan segala ketegangan yang muncul, satu hal yang tampak jelas: bursa Asia belum menyerah pada tekanan. Bahkan dalam ancaman, pasar tetap bergerak mencari celah peluang.