JAKARTA - Ketahanan industri makanan dan minuman (mamin) Indonesia kembali menjadi sorotan di tengah gejolak ekonomi global dan tekanan dari sisi hulu pasokan. Terlepas dari berbagai tantangan yang ada, sektor ini justru menunjukkan kinerja investasi dan ekspor yang positif serta tetap menjadi magnet kuat bagi para investor, baik dari dalam maupun luar negeri.
Di awal 2025, sektor ini berhasil mencatatkan kinerja investasi yang menggembirakan. Wakil Menteri Perindustrian, Faisol Riza, menjelaskan bahwa pada kuartal I-2025, total investasi yang masuk ke industri mamin mencapai Rp 22,64 triliun. Angka tersebut berasal dari dua sumber utama, yaitu Penanaman Modal Asing (PMA) sebesar Rp 9,03 triliun dan Penanaman Modal Dalam Negeri (PMDN) senilai Rp 13,60 triliun.
Tak hanya dari sisi nominal, realisasi investasi juga terwujud dalam bentuk pembangunan fasilitas produksi besar. Salah satunya adalah PT PepsiCo Indonesia, anak usaha perusahaan global asal Amerika Serikat. Mereka meresmikan pabrik makanan ringan pada 18 Juni 2025, dengan total nilai investasi mencapai US$ 200 juta atau setara Rp 3,3 triliun. Fasilitas ini memiliki kapasitas produksi 24.000 ton per tahun dan terdiri dari tiga lini produksi utama.
Dorongan Ekspor dan Kerja Sama Internasional
Selain menarik investasi, sektor industri mamin juga kian agresif memperluas jangkauan pasar ekspor. Pemerintah melalui Kementerian Perindustrian terus mendorong kolaborasi dengan mitra global, khususnya untuk memenuhi kebutuhan pasar halal dunia yang tengah tumbuh pesat. Kawasan Asia dan Timur Tengah menjadi target ekspor utama, terutama bagi produk bersertifikasi halal.
Salah satu langkah konkret diambil oleh PT Niramas Utama, produsen makanan yang telah menjalin kemitraan strategis dengan dua perusahaan asal Jepang, yaitu Tarami Corporation dan Kawasho Foods Corporation. Kolaborasi ini difokuskan pada pengembangan produk jeli halal yang diarahkan untuk pasar ekspor internasional.
Selain produk halal, kategori specialty food turut mencuri perhatian. Produk seperti kakao olahan, kopi, teh, susu, dan buah olahan masuk dalam radar pertumbuhan tinggi. Permintaan terhadap produk-produk premium yang berkelanjutan dan bernilai tambah terus meningkat, membuka peluang besar bagi para pelaku industri lokal.
Masalah Hulu Masih Membayangi
Namun, keberhasilan sektor ini tidak lepas dari tantangan yang masih perlu diatasi, terutama di bagian hulu. Ketergantungan terhadap bahan baku impor masih menjadi pekerjaan rumah besar bagi industri mamin nasional.
Menurut Faisol Riza, keterbatasan pasokan bahan baku lokal memaksa industri untuk mengimpor, khususnya kakao dan susu, dua bahan utama dalam berbagai jenis makanan olahan. Tantangan ini tidak hanya menyangkut volume produksi tetapi juga berkaitan dengan ketergantungan jangka panjang terhadap pasar luar negeri.
Hal ini ditegaskan oleh Dirjen Industri Agro, Putu Juli Ardika, yang mengungkapkan bahwa kebutuhan industri terhadap biji kakao mencapai 300.000 ton per tahun, sementara pasokan domestik hanya sekitar 200.000 ton. Situasi yang lebih mencemaskan terjadi pada susu segar, di mana kebutuhan industri kini sudah menembus 4 juta ton per tahun, namun hanya sekitar 20% yang bisa dipenuhi dari dalam negeri.
Kondisi ini kontras dengan tren positif pada ekspor produk olahan susu. Data menunjukkan bahwa nilai ekspor meningkat signifikan, dari US$ 144,2 juta pada 2021 menjadi US$ 233,5 juta pada 2024. Artinya, meskipun masih bergantung pada impor bahan baku, produk akhirnya justru mampu bersaing di pasar global.
Konsumsi Melemah, Persaingan Meningkat
Di luar tantangan pasokan bahan baku, industri makanan dan minuman juga menghadapi tekanan dari sisi hilir. Daya beli masyarakat yang melemah menjadi sorotan utama, di samping persaingan pasar yang semakin ketat dan dampak ketidakpastian geopolitik global.
Perubahan pola konsumsi dan tekanan inflasi menyebabkan pelaku industri harus lebih adaptif dalam merancang strategi bisnis. Kondisi ini tidak hanya berdampak pada volume penjualan tetapi juga pada margin keuntungan.
Meski demikian, optimisme tetap terjaga di kalangan pelaku usaha. Direktur Utama PT Siantar Top Tbk (STTP), Armin, menyampaikan bahwa pihaknya masih melihat peluang pertumbuhan, terutama di paruh kedua 2025.
“Perekonomian sedang melambat, persaingan semakin ketat, ditambah risiko eskalasi geopolitik. Memang tidak akan mudah, tapi kami tetap membidik pertumbuhan kinerja dobel digit hingga akhir tahun,” ujarnya penuh semangat.
Prospek Tetap Cerah, Butuh Solusi Berkelanjutan
Secara keseluruhan, sektor makanan dan minuman masih menjadi salah satu pilar penting dalam struktur industri nasional. Dengan kontribusi signifikan terhadap PDB dan penciptaan lapangan kerja, pemerintah perlu menjaga momentum pertumbuhan ini melalui kebijakan yang berpihak pada industri, termasuk penguatan ekosistem hulu dan hilir.
Dorongan untuk meningkatkan produksi bahan baku lokal, insentif bagi pengolahan produk halal dan specialty food, serta perlindungan terhadap pasar dalam negeri akan menjadi faktor penting bagi keberlanjutan industri ini.
Industri mamin terbukti tahan banting dalam menghadapi dinamika global. Namun, agar bisa terus tumbuh dan berkembang, sinergi antara pemerintah, pelaku usaha, dan mitra internasional perlu ditingkatkan. Harapannya, sektor ini bukan hanya sebagai penggerak ekonomi, tetapi juga sebagai simbol ketahanan industri nasional yang kompetitif di panggung dunia.