JAKARTA — Ketika membicarakan pembangunan sektor kesehatan, satu profesi yang tak boleh luput dari sorotan adalah bidan. Tak hanya membantu persalinan, para bidan berperan besar dalam menjaga kesehatan ibu dan anak sejak masa kehamilan hingga pasca-melahirkan. Momen Hari Bidan Nasional yang diperingati setiap 24 Juni menjadi pengingat pentingnya dedikasi para bidan dalam sistem kesehatan nasional.
Salah satu sosok yang mencerminkan peran vital ini adalah Bidan Siska, tenaga kesehatan di Rumah Sakit Dirgahayu Samarinda. Dalam wawancara bersama RRI, ia mengungkapkan suka duka serta tantangan yang harus dihadapi profesi bidan di lapangan.
Meski profesi bidan dikenal luas oleh masyarakat, kenyataannya, kepercayaan terhadap peran bidan masih belum merata. Bidan Siska menuturkan bahwa sebagian masyarakat memang menganggap profesi ini sebagai pekerjaan mulia karena menyelamatkan dua nyawa sekaligus, yakni ibu dan bayi. Namun, tidak sedikit pula yang masih mempercayakan proses kehamilan dan persalinan kepada dukun beranak atau pengobatan tradisional karena faktor budaya.
“Kadang sudah berkali-kali diedukasi, tetap saja mereka memilih jalan lain. Tapi kami tidak bisa memaksa. Kami tetap mencoba pendekatan lain,” ungkap Siska.
Pandangan masyarakat yang masih bias ini menurutnya menjadi tantangan berat. Bahkan di era di mana BPJS telah memperluas akses layanan kesehatan, masih banyak calon ibu yang tidak rutin memeriksakan kehamilannya. Ketidaktahuan serta kekhawatiran terhadap biaya masih menjadi kendala utama.
Siska berkisah tentang pengalaman pahitnya menangani pasien yang datang dalam kondisi komplikasi parah karena tidak pernah melakukan pemeriksaan selama masa kehamilan. “Itu salah satu pengalaman yang menyedihkan. Padahal akses sekarang sudah jauh lebih mudah,” tuturnya.
Bukan hanya dari sisi medis, pendekatan personal dan empati juga menjadi senjata utama bidan. Siska kerap mencoba menempatkan diri di posisi pasien agar bisa lebih memahami alasan mereka. Ketika edukasi langsung tidak membuahkan hasil, ia mencoba mendekati anggota keluarga agar bisa ikut mendukung pengambilan keputusan medis yang tepat.
Sebagai garda terdepan dalam layanan kesehatan ibu dan anak, bidan tidak hanya dituntut memiliki kompetensi medis, tetapi juga kepekaan sosial. Pendekatan ini menjadi kunci agar masyarakat lebih percaya dan terbuka terhadap saran medis. Dalam banyak kasus, keberhasilan proses persalinan tidak hanya ditentukan oleh kondisi medis semata, tetapi juga oleh kesiapan mental dan dukungan sosial pasien.
Namun perjuangan bidan tidak berhenti di ruang bersalin. Tantangan juga datang dari persepsi masyarakat terhadap kepribadian para bidan. Tidak jarang, bidan dianggap galak atau keras oleh pasien. Menanggapi hal tersebut, Siska menjelaskan bahwa persepsi tersebut muncul karena tekanan dan tanggung jawab yang besar.
“Menangani dua nyawa bukan hal sepele. Kadang kami harus tegas. Semua demi keselamatan ibu dan bayi,” jelasnya.
Dalam dunia kebidanan, perubahan kondisi pasien bisa terjadi dalam hitungan detik. Karena itu, pengambilan keputusan harus cepat dan tepat. Ketegasan dalam menyampaikan arahan menjadi bagian dari protokol keselamatan, bukan karena emosi pribadi.
Tak hanya itu, bidan juga kerap kali menjadi tempat curhat dan sandaran emosional bagi ibu hamil maupun keluarganya. Saat proses persalinan berlangsung, bidan menjadi satu-satunya tenaga kesehatan yang terus berada di sisi pasien, memberikan dukungan moral hingga proses persalinan selesai.
Momen paling membahagiakan bagi Siska adalah ketika pasien pulang dalam keadaan sehat bersama bayinya. Namun, sebagai tenaga kesehatan, ia juga harus siap menghadapi momen sebaliknya—saat edukasi tidak diindahkan dan pasien kembali dalam kondisi buruk. Dalam situasi seperti ini, bidan kerap menjadi pihak yang disalahkan, meskipun telah memberikan saran dan penanganan sesuai prosedur.
Ironi ini menjadi refleksi bahwa profesi bidan bukan sekadar pekerjaan, melainkan pengabdian. Tak hanya pada ilmu, tetapi juga pada kemanusiaan.
Di berbagai daerah, terutama wilayah pelosok, keberadaan bidan sangat krusial. Mereka sering kali menjadi satu-satunya tenaga kesehatan yang bisa diandalkan masyarakat. Tak jarang, bidan di daerah terpencil harus menempuh medan sulit demi menjangkau pasien. Bahkan dalam kondisi darurat, keputusan bidan menjadi penentu hidup dan mati.
Melalui momentum Hari Bidan Nasional, sudah sepatutnya seluruh pihak kembali menaruh perhatian pada peningkatan kualitas dan kesejahteraan para bidan. Mereka adalah bagian tak terpisahkan dari sistem kesehatan nasional yang berfokus pada penurunan angka kematian ibu dan bayi, serta peningkatan kualitas hidup masyarakat sejak dini.
Menghadapi tantangan ke depan, dibutuhkan kolaborasi yang lebih solid antara pemerintah, tenaga medis, serta masyarakat dalam meningkatkan literasi kesehatan. Edukasi yang konsisten, pendekatan budaya yang bijaksana, dan penghargaan terhadap profesi bidan menjadi langkah penting menuju sistem kesehatan yang inklusif dan berkeadilan.
Bidan Siska, seperti banyak bidan lainnya di Indonesia, adalah simbol dedikasi dan harapan. Di balik kesederhanaan profesi mereka, tersimpan peran vital yang menjadi fondasi pembangunan kesehatan ibu dan anak. Sebuah tugas mulia yang layak mendapat apresiasi dan dukungan nyata.