JAKARTA - Dampak perubahan iklim terjadi akibat perubahan pola iklim yang berlangsung terus-menerus dari waktu ke waktu.
Iklim sendiri merupakan gambaran rata-rata dari kondisi cuaca dalam jangka waktu tertentu, mencakup berbagai unsur atmosfer seperti suhu, intensitas hujan, dan kecepatan angin.
Perbedaan mendasar antara cuaca dan iklim terletak pada durasi pengamatannya cuaca bersifat sementara, sedangkan iklim diamati dalam jangka waktu panjang, baik bulanan, tahunan, bahkan hingga jutaan tahun.
Perubahan pada iklim dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, mulai dari interaksi alami antarunsur iklim hingga campur tangan dari luar sistem iklim itu sendiri.
Contohnya termasuk letusan gunung berapi, fluktuasi radiasi matahari, dan aktivitas manusia yang mencakup konversi lahan serta pembakaran bahan bakar fosil.
Semua hal ini berperan besar dalam menggeser pola iklim global dan memperbesar dampak perubahan iklim yang kini semakin terasa di berbagai belahan dunia.
Dampak Perubahan Iklim
Iklim memang dapat mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Perubahan ini merujuk pada kondisi yang menunjukkan adanya pergeseran cukup mencolok terhadap pola iklim, suhu udara, serta curah hujan dalam periode tertentu—baik bulanan, tahunan, maupun jutaan tahun.
Dampak perubahan iklim pun bisa dirasakan dalam berbagai aspek kehidupan, mulai dari kerusakan lingkungan, gangguan kesehatan, hingga memengaruhi stabilitas perekonomian.
Beberapa pengaruh yang ditimbulkannya akan dibahas lebih lanjut pada bagian berikut agar pemahaman terhadap isu ini semakin mendalam.
Meningkatnya Temperatur Permukaan Bumi
Salah satu akibat utama dari akumulasi gas rumah kaca di atmosfer adalah naiknya suhu rata-rata di permukaan bumi.
Ketika konsentrasi gas-gas tersebut terus bertambah, panas matahari yang seharusnya dipantulkan kembali ke luar angkasa malah terperangkap di atmosfer, menyebabkan bumi menjadi semakin panas.
Data yang dirilis oleh Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat menunjukkan bahwa pada tahun 2021, suhu global mengalami kenaikan sekitar 0,86°C dibandingkan dengan suhu rata-rata tahunan pada periode 1951 hingga 1980.
Tidak hanya itu, dalam rentang waktu lima tahun dari 2016 hingga 2020, tercatat adanya lonjakan suhu hingga mencapai 1,02°C.
Kenaikan suhu ini erat kaitannya dengan aktivitas manusia, terutama yang berkaitan dengan emisi karbon dioksida dan gas-gas lainnya yang memperparah efek rumah kaca.
Dampak dari pemanasan ini terasa luas, mulai dari naiknya permukaan air laut, terbakarnya hutan secara masif, hingga berubahnya jalur migrasi satwa liar.
Panel Antarpemerintah tentang Perubahan Iklim juga menegaskan bahwa pemanasan global berkontribusi besar terhadap meningkatnya risiko kekeringan, perubahan pola curah hujan, dan semakin seringnya kejadian cuaca ekstrem.
Meningkatnya Intensitas Badai yang Merusak
Dampak lainnya adalah munculnya badai besar yang lebih dahsyat dan sering terjadi di berbagai belahan dunia. Ketika suhu bumi naik, air di permukaan laut pun ikut menghangat, menyebabkan penguapan yang lebih cepat dan lebih banyak.
Akibatnya, jumlah curah hujan yang turun menjadi lebih tinggi dari biasanya, meningkatkan kemungkinan terjadinya banjir besar dan badai yang lebih merusak.
Suhu laut yang lebih tinggi juga menjadi faktor utama terbentuknya badai tropis yang lebih kuat dan luas, termasuk badai siklon, hurikan, dan taifun.
Badai-badai ini bukan hanya memicu kerusakan infrastruktur dan tempat tinggal, tetapi juga sering kali menyebabkan korban jiwa dalam jumlah besar karena daya rusaknya yang tinggi.
Meningkatnya Risiko Kekeringan
Perubahan pada kondisi iklim global turut memengaruhi ketersediaan air di berbagai wilayah. Ketika distribusi curah hujan terganggu dan suhu meningkat, banyak daerah menjadi rentan mengalami kekeringan.
Daerah-daerah yang sebelumnya memang kesulitan air akan merasakan dampak yang jauh lebih parah.
Sektor pertanian menjadi salah satu yang paling terdampak akibat kondisi ini, karena kelangsungan aktivitas pertanian sangat tergantung pada pasokan air yang stabil.
Penurunan ketersediaan air akan menurunkan hasil panen dan bisa memengaruhi ketahanan pangan secara keseluruhan.
Tak hanya berdampak pada sektor pertanian, kekeringan juga berkontribusi terhadap meningkatnya badai debu dan pasir.
Material dalam jumlah besar bisa berpindah dari satu wilayah ke wilayah lain akibat tiupan angin kencang yang membawa partikel kering dari tanah yang mengalami degradasi.
Naiknya Suhu dan Volume Air Laut
Fenomena pemanasan global telah menyebabkan suhu air laut meningkat secara signifikan, bahkan hingga ke kedalaman tertentu di seluruh samudera.
Seiring dengan bertambahnya suhu, volume air laut juga ikut meningkat sebagai akibat dari proses pemuaian termal. Selain pemuaian, pencairan es di kutub turut memperparah kenaikan permukaan laut.
Jika terus berlanjut, situasi ini berpotensi menenggelamkan wilayah-wilayah pesisir serta mengancam keberlangsungan hidup masyarakat yang tinggal di daerah tersebut.
Di sisi lain, laut berperan sebagai penyerap karbon dioksida dalam jumlah besar. Namun, peningkatan kadar karbon dioksida di atmosfer menyebabkan lautan menyerap lebih banyak zat ini.
Kondisi tersebut bisa merusak ekosistem laut, termasuk mengganggu keseimbangan kehidupan terumbu karang dan berbagai spesies laut lainnya.
Punahnya Berbagai Jenis Spesies
Perubahan kondisi iklim yang ekstrem dapat memicu hilangnya berbagai spesies hewan maupun tumbuhan. Banyak makhluk hidup memiliki keterbatasan dalam menyesuaikan diri terhadap perubahan suhu, curah hujan, atau pola cuaca lainnya.
Ketidakmampuan beradaptasi terhadap lingkungan yang berubah ini membuat mereka semakin rentan terhadap kepunahan.
Terganggunya Ketersediaan Pangan
Dampak lain yang muncul dari perubahan iklim adalah terganggunya rantai suplai makanan. Aktivitas di sektor-sektor vital seperti pertanian, peternakan, dan perikanan sangat dipengaruhi oleh kestabilan iklim.
Ketika produktivitas sektor-sektor tersebut menurun karena suhu ekstrem, banjir, atau kekeringan, maka pasokan makanan pun ikut terganggu. Hal ini berpotensi menimbulkan kelangkaan pangan dan kenaikan harga bahan makanan.
Ancaman Serius terhadap Kesehatan
Ketidakstabilan iklim juga berdampak langsung pada kesehatan manusia. Polusi udara, suhu ekstrem, dan kekeringan berkepanjangan bisa memperparah risiko gangguan pernapasan serta menyebarkan berbagai penyakit.
Saat musim kemarau berlangsung lama, kelembaban yang tinggi dapat menjadi media tumbuhnya mikroorganisme seperti bakteri, jamur, virus, dan parasit yang bisa menyebabkan penyakit kulit hingga infeksi pernapasan.
Selain itu, kebakaran hutan yang dipicu oleh musim kering juga berkontribusi pada penurunan kualitas udara.
Tak hanya itu, banjir yang terjadi akibat perubahan pola cuaca turut menciptakan lingkungan yang kotor dan lembab, ideal bagi berkembangnya penyakit seperti demam berdarah dan malaria.
Semua kondisi ini menunjukkan bahwa perubahan iklim tidak hanya berdampak pada alam, tetapi juga membawa risiko nyata bagi kesehatan masyarakat.
Menurunnya Kualitas Air Layak Konsumsi
Curah hujan yang berlebihan sebagai akibat dari ketidakseimbangan iklim bisa menyebabkan penurunan mutu air bersih.
Di samping itu, peningkatan suhu global turut berpengaruh terhadap kadar zat-zat kimia tertentu, seperti klorin, dalam air yang dikonsumsi, sehingga berdampak pada kualitasnya.
Berkurangnya Cadangan Air
Kondisi pemanasan bumi turut memicu bertambahnya kandungan uap air di atmosfer yang kemudian memicu intensitas hujan lebih tinggi.
Meskipun hujan bisa menjadi salah satu sumber air bersih, curah hujan yang terlalu besar justru dapat menyebabkan limpasan air langsung kembali ke laut tanpa sempat diserap ke dalam tanah atau tersimpan sebagai sumber air untuk kebutuhan manusia.
Terganggunya Ekosistem Alami
Perubahan suhu, naiknya permukaan laut, bencana banjir, dan badai yang semakin sering terjadi menyebabkan pergeseran dan bahkan kerusakan pada lingkungan tempat tinggal alami berbagai jenis makhluk hidup.
Habitat yang sebelumnya stabil kini terancam, sehingga keberlangsungan hidup spesies yang bergantung pada lingkungan tersebut menjadi terganggu.
Hilangnya Tutupan Hutan dan Penurunan Kualitasnya
Peristiwa kebakaran hutan yang semakin sering terjadi merupakan salah satu akibat dari kondisi iklim yang tidak stabil. Hutan yang memiliki fungsi penting sebagai penyerap karbon dan penghasil oksigen turut terdampak.
Ketika luas dan kualitas hutan menurun, maka kemampuan alam dalam menyerap gas-gas penyebab pemanasan global juga ikut melemah.
Emisi Gas Rumah Kaca Meningkat Akibat Penggundulan Hutan
Kematian pohon yang disebabkan oleh perubahan pemanfaatan lahan hutan atau karena kekeringan yang terjadi akibat peningkatan suhu global dapat memicu pelepasan karbon dioksida ke atmosfer.
Selain mengeluarkan gas tersebut, pohon-pohon yang mati juga tidak lagi berfungsi dalam menyerap karbon dioksida dari udara. Akibatnya, konsentrasi karbon dioksida beserta gas-gas rumah kaca lainnya akan mengalami lonjakan yang lebih tajam.
Meningkatnya Risiko Gangguan Kesehatan Serius Akibat Sinar UV
Lapisan ozon yang menipis mengakibatkan sinar ultraviolet mencapai permukaan bumi dalam jumlah lebih besar.
Akibat dari paparan sinar ini bisa memicu timbulnya berbagai masalah kesehatan serius seperti kanker kulit, gangguan pada mata seperti katarak, serta penurunan sistem imun tubuh.
Ketika sistem kekebalan menurun, tubuh manusia menjadi lebih rentan terserang berbagai penyakit, termasuk gangguan pernapasan seperti asma dan alergi, serta gangguan jantung dan pembuluh darah, termasuk stroke.
Penurunan Luas Lahan dan Hasil Sektor Pertanian
Iklim yang tak menentu turut memengaruhi sektor pertanian secara menyeluruh. Suhu yang meningkat menyebabkan berkurangnya cadangan air, serta meningkatkan risiko bencana yang bisa merusak lahan pertanian.
Kondisi ini berdampak langsung pada penurunan hasil pertanian. Selain itu, suhu yang terlalu tinggi dan ketersediaan air yang terbatas bisa mengganggu masa tanam maupun panen.
Perubahan cuaca juga dapat menyebabkan munculnya jenis hama dan penyakit tanaman yang sebelumnya jarang terjadi, sehingga menurunkan produktivitas secara signifikan.
Wilayah Pesisir Terancam Tenggelam
Naiknya permukaan laut sebagai dampak dari perubahan iklim dapat menggeser batas wilayah daratan di kawasan pesisir.
Pergeseran ini mengakibatkan sejumlah wilayah pesisir serta permukiman yang berada di sekitarnya berisiko terendam air laut dan secara bertahap bisa hilang dari peta.
Pulau-Pulau Kecil Berpotensi Hilang
Pemanasan global menyebabkan lapisan es di kutub mencair lebih cepat, yang pada akhirnya berdampak pada meningkatnya volume air laut secara global.
Kondisi ini sangat membahayakan keberadaan pulau-pulau kecil, karena kenaikan permukaan laut dapat membuat pulau-pulau tersebut tenggelam sepenuhnya.
Faktor yang Mempengaruhi Perubahan Iklim
Terdapat berbagai faktor yang dapat memicu terjadinya perubahan iklim. Berikut adalah beberapa hal utama yang menjadi penyebabnya:
1. Efek Rumah Kaca
Gas rumah kaca menjadi salah satu faktor utama dalam terjadinya perubahan iklim.
Beberapa jenis gas di atmosfer memiliki kemampuan untuk memerangkap panas, mirip seperti kaca pada rumah kaca yang menahan panas matahari agar tidak kembali ke luar angkasa.
Sebagian besar gas ini terbentuk secara alami, namun aktivitas manusia telah memperparah konsentrasinya di atmosfer.
Gas-gas seperti karbon dioksida (CO₂), metana, gas terfluorinasi, dan dinitrogen oksida termasuk dalam kategori gas rumah kaca yang semakin meningkat akibat ulah manusia.
Di antara semuanya, karbon dioksida adalah gas yang paling banyak dihasilkan dari aktivitas manusia, menyumbang sekitar 64 persen dari total pemanasan global yang dipicu oleh manusia.
2. Lonjakan Emisi Gas Buangan
Perubahan iklim juga diperparah oleh meningkatnya emisi gas yang berasal dari kegiatan manusia, terutama pembakaran bahan bakar fosil seperti minyak bumi, batu bara, dan gas alam.
Proses ini menghasilkan gas-gas seperti karbon dioksida dan dinitrogen oksida yang memperburuk kondisi atmosfer. Selain itu, praktik deforestasi atau penggundulan hutan juga turut menyumbang terhadap perubahan iklim.
Padahal, pepohonan berperan penting dalam menjaga keseimbangan iklim dengan menyerap karbon dioksida.
Ketika pohon-pohon ditebang, kemampuan ini hilang dan karbon yang sebelumnya tersimpan di dalamnya akan dilepaskan kembali ke udara.
Di sisi lain, peningkatan jumlah peternakan, khususnya sapi dan domba, turut memproduksi metana dalam jumlah besar.
Sementara itu, penggunaan pupuk yang mengandung nitrogen dapat menghasilkan dinitrogen oksida, dan gas-gas terfluorinasi memiliki efek pemanasan yang jauh lebih kuat, bahkan bisa mencapai 23.000 kali lebih besar dibandingkan CO₂.
3. Pemanasan Global
Salah satu faktor utama yang memicu perubahan iklim adalah pemanasan global, yang sebagian besar dipicu oleh aktivitas manusia seperti operasional pembangkit listrik dan instalasi industri yang melepaskan karbon dioksida (CO₂) ke atmosfer.
Saat ini, suhu rata-rata global telah meningkat sekitar 0,85 derajat Celsius dibandingkan akhir abad ke-19.
Para ilmuwan iklim mengungkapkan bahwa pemanasan global sebagian besar dipicu oleh perbuatan manusia, terutama sejak pertengahan abad ke-20.
Mereka mencatat adanya kenaikan suhu global sebesar dua derajat Celsius dibandingkan era pra-industri, yang dianggap sebagai ambang batas krusial.
Jika kenaikan ini terus berlanjut, maka risiko akan terjadinya perubahan besar yang membahayakan lingkungan global akan semakin meningkat.
Karena itu, banyak negara di dunia mulai mengedukasi warganya mengenai pentingnya membatasi kenaikan suhu global agar tidak melampaui batas dua derajat Celsius.
4. Perubahan Orbit Bumi
Selain disebabkan oleh aktivitas manusia, perubahan iklim juga bisa dipengaruhi oleh faktor alami seperti pergeseran orbit bumi.
Selama 800.000 tahun terakhir, bumi mengalami siklus perubahan iklim antara zaman es dan periode hangat yang disebut interglasial.
Sejak berakhirnya zaman es sekitar 20.000 tahun silam, suhu bumi meningkat secara bertahap antara 3 hingga 8 derajat Celsius dalam kurun waktu 10.000 tahun.
Namun, dalam dua abad terakhir, peningkatan suhu lebih cepat dan berkaitan erat dengan meningkatnya kadar CO₂ di atmosfer. Saat ini, kadar gas rumah kaca sudah jauh melampaui pola alami yang terjadi selama 800.000 tahun terakhir.
Orbit bumi mengelilingi matahari bukan dalam bentuk lingkaran sempurna, melainkan elips. Pada masa tertentu, orbit ini mendekati bentuk lingkaran, sehingga jarak bumi ke matahari hampir tetap.
Namun, pada waktu lain, bentuk elips lebih menonjol, yang menyebabkan bumi bisa berada lebih dekat atau lebih jauh dari matahari selama mengorbit.
Ketika jarak bumi ke matahari lebih dekat, maka suhu bumi pun cenderung menjadi lebih hangat.
Sebagai penutup, dampak perubahan iklim kian nyata dan mengancam sehingga kesadaran kolektif sangat dibutuhkan untuk menjaga bumi tetap layak huni bagi generasi mendatang.