Alasan Ilmiah Orang Dewasa Gen Z Terobsesi Boneka Labubu

Selasa, 30 Desember 2025 | 14:08:28 WIB
Alasan Ilmiah Orang Dewasa Gen Z Terobsesi Boneka Labubu

JAKARTA - Di tengah hiruk pikuk akhir tahun yang biasanya identik dengan diskon dan gadget terbaru, sebuah tren justru mencuri perhatian: orang dewasa berbondong-bondong membeli boneka. 

Fenomena ini semakin terlihat jelas sepanjang 2025, ketika media sosial dipenuhi unggahan rak boneka, koleksi plush toys, hingga video berburu mainan edisi terbatas yang dilakukan generasi muda.

Mainan yang dahulu lekat dengan dunia anak-anak kini berubah fungsi menjadi simbol kenyamanan emosional, nostalgia, bahkan identitas sosial. 

Bagi banyak Gen Z, boneka bukan lagi sekadar benda lucu, melainkan cara untuk menghadapi tekanan hidup modern yang penuh ketidakpastian.

Dari sekian banyak karakter, Labubu dari Pop Mart dan Jellycat asal Inggris muncul sebagai ikon utama. Keduanya menjadi bagian dari budaya populer global, diperbincangkan luas di TikTok, Instagram, dan berbagai forum daring, sekaligus mencerminkan perubahan cara orang dewasa memaknai kebahagiaan.

Fenomena ini pun menarik perhatian peneliti konsumen dan pelaku industri mainan dunia, karena menunjukkan pergeseran perilaku belanja yang signifikan.

Mainan Dewasa Jadi Tren Global

Menjelang Natal dan tahun baru, tren hadiah di kalangan Gen Z menunjukkan arah yang tak terduga. Alih-alih barang teknologi, boneka dan mainan empuk justru menjadi incaran. 

Tahun 2025 menjadi penanda bahwa mainan tidak lagi eksklusif untuk anak-anak, seiring semakin banyak anak muda memamerkan koleksi mereka di media sosial.

Fenomena ini dipicu oleh kegilaan global terhadap boneka Labubu produksi Pop Mart asal China serta mainan empuk Jellycat dari Inggris. Di TikTok, jutaan video menampilkan “Labubu wall”, rak khusus Jellycat, hingga tips membedakan boneka asli dan tiruan.

Direktur Eksekutif Divisi Mainan perusahaan riset konsumen global Circana, Melissa Symonds, menyebut lonjakan ini sebagai yang terbesar sepanjang sejarah pembelian mainan oleh orang dewasa. 

“Ini tahun terbesar sepanjang sejarah untuk pembelian mainan oleh orang dewasa,” ujarnya.

“Memang orang dewasa selalu membeli mainan, tapi sekarang Gen Z menjadi pendorong utama lonjakan pertumbuhan ini,” tambahnya.

Data Penjualan Ungkap Perubahan Perilaku

Data Circana menunjukkan 43 persen orang dewasa di Inggris membeli mainan untuk diri sendiri atau sesama orang dewasa pada tahun ini. Angka tersebut melonjak tajam menjadi 76 persen untuk konsumen Gen Z berusia 18 hingga 34 tahun.

Dalam kategori mainan dewasa, plush toys menempati posisi keempat terpopuler, berada di bawah gim dan puzzle, LEGO, serta action figure. 

Tren serupa juga terjadi di Amerika Serikat, di mana penjualan mainan berlisensi untuk konsumen usia 18 tahun ke atas meningkat 18 persen pada paruh pertama 2025.

Ledakan tren ini berdampak langsung pada kinerja perusahaan. Pop Mart mencatat lonjakan laba bersih hampir 400 persen pada semester pertama 2025, sementara pendapatannya naik 204,4 persen secara tahunan menjadi 13,88 miliar yuan atau sekitar US$1,93 miliar.

Pada 2024 saja, penjualan Labubu menyumbang sekitar US$423 juta dari pendapatan global perusahaan, menjadikannya salah satu karakter paling menguntungkan di industri mainan dunia.

Nostalgia Dan Tekanan Ekonomi

Kesuksesan serupa juga dialami Jellycat. Perusahaan asal Inggris ini membukukan kenaikan pendapatan sebesar 66 persen menjadi £333 juta pada 2024, dari £200 juta pada tahun sebelumnya. Laba sebelum pajak bahkan melonjak lebih dari dua kali lipat menjadi £139 juta.

CEO Jellycat Arnaud Meysselle mengatakan respons lintas generasi terhadap karakter baru mereka sangat luar biasa. 

“Kami melihat respons luar biasa lintas generasi terhadap karakter baru kami,” katanya.

“Banyak orang dewasa menemukan Jellycat untuk pertama kalinya lewat pengalaman pop-up kami di Beijing, Seoul, dan Los Angeles,” tambahnya.

Menurut Symonds, tren ini berkaitan erat dengan konsep joy economy dan Peter Pan effect, yakni kondisi psikologis ketika orang dewasa enggan sepenuhnya melepaskan sisi kekanak-kanakan demi mempertahankan rasa bahagia.

“Hampir ada ironi bahwa ketika Anda masih kecil, Anda tidak sabar untuk tumbuh dewasa, tetapi kemudian ketika Anda dewasa, Anda menyadari menjadi anak-anak adalah masa terbaik dalam hidup Anda,” kata Symonds.

Kesepian Dan Pencarian Komunitas

Selain nostalgia, tekanan ekonomi global turut memainkan peran besar. Gen Z menghadapi masa depan finansial yang terasa semakin berat akibat inflasi tinggi, konflik geopolitik seperti perang Ukraina dan Gaza, serta mahalnya biaya hidup. Membeli rumah, menikah, dan memiliki anak terasa makin sulit dicapai.

Kondisi ini memicu fenomena doom spending, yakni kebiasaan menghabiskan uang untuk kesenangan kecil seperti liburan, barang mewah, hingga mainan mahal karena target hidup jangka panjang terasa semakin jauh.

“Banyak dari mereka menunda punya anak, jadi punya disposable income lebih lama dan memilih membelanjakannya untuk kebahagiaan pribadi,” jelas Symonds.

Di sisi lain, rasa kesepian juga menjadi pemicu. Survei aplikasi kencan Hinge terhadap 2.000 Gen Z di Inggris menunjukkan 85 persen responden mengalami kesepian, dengan lebih dari separuh Gen Z berpenghasilan rendah mengalami kesepian berat.

Jellycat memanfaatkan kondisi ini dengan membangun komunitas digital sejak 2022 melalui Instagram dan TikTok yang kini memiliki lebih dari dua juta pengikut, serta menghadirkan pop-up experience di berbagai kota dunia. 

Pada acara Jellycat Space Experience di Seoul November lalu, sekitar 80 persen pengunjung berusia 20 hingga 30 tahun.

Pembeli mainan Selfridges Joe Evans menyebut Jellycat sebagai merek dengan pertumbuhan tercepat. “Dalam dua tahun terakhir, ada lonjakan drastis Gen Z dan milenial yang ingin merasa menjadi bagian dari komunitas lewat koleksi mainan,” ujarnya.

Terkini