JAKARTA - Satu langkah kecil yang diambil oleh sepuluh perempuan dari berbagai penjuru Indonesia kini menjadi pijakan besar dalam perjuangan pendidikan dan kesetaraan. Mereka bukan sekadar pelajar; mereka adalah simbol harapan, pemikir masa depan, dan motor perubahan sosial. Terpilih sebagai penerima Toeti Heraty Scholarship (THS) tahun ini, mereka menunjukkan bahwa komitmen terhadap keadilan gender dan pengembangan ilmu pengetahuan bisa datang dari berbagai usia dan latar belakang.
Beasiswa THS kembali digelar dengan semangat yang sama: mendukung perempuan untuk menembus batas-batas struktural yang menghambat akses mereka terhadap pendidikan. Kolaborasi antara Yayasan Toeti Heraty Roosseno dan Yayasan Jurnal Perempuan ini secara konsisten memberi perhatian pada mereka yang berasal dari kelompok afirmasi, khususnya wilayah Indonesia Timur.
Menyatukan Filsafat, Gender, dan Harapan
Program ini bukanlah sekadar beasiswa biasa. Di balik setiap nama penerima, ada cerita perjuangan, ada semangat untuk memahami dunia lewat kacamata filsafat dan kajian gender, dan ada tekad untuk menjadikan ilmu sebagai alat pembebasan. Dari mahasiswa tingkat sarjana hingga pascasarjana, dari usia 20 hingga 51 tahun, semua menyatu dalam satu visi: membangun masyarakat yang adil dan manusiawi.
Seleksi yang dilakukan tidak hanya mempertimbangkan capaian akademik. Komitmen terhadap isu-isu sosial dan keadilan gender menjadi pertimbangan utama. THS ingin memastikan bahwa setiap penerima bukan hanya berprestasi, tapi juga memiliki dedikasi untuk membawa perubahan nyata dalam masyarakat.
Pendidikan sebagai Jalan Intervensi Keadilan
Salah satu tokoh penting yang hadir dalam peluncuran program ini adalah Dr Musdah Mulia, seorang akademisi dan ulama perempuan yang juga terlibat dalam proses seleksi. Ia menekankan bahwa beasiswa semacam ini harus dilihat sebagai bagian dari strategi besar dalam mengintervensi struktur ketimpangan sosial.
Menurutnya, akses pendidikan untuk perempuan adalah investasi lintas generasi. Lebih dari sekadar bantuan finansial, beasiswa merupakan bentuk keadilan historis yang memperbaiki ketimpangan gender yang telah lama berlangsung. Baginya, THS tidak hanya membuka pintu pendidikan, tetapi juga meruntuhkan tembok pembatas yang selama ini membatasi partisipasi perempuan.
“Beasiswa seperti THS bukan hanya bantuan dana, tapi langkah nyata menciptakan dunia yang lebih adil dan manusiawi,” ujarnya dalam diskusi publik peluncuran program tersebut.
Menjaga Warisan Intelektual yang Tak Pernah Padam
Nama beasiswa ini diambil dari sosok Prof Toeti Heraty, tokoh feminis, pemikir seni, dan Guru Besar Filsafat. Setelah kepergiannya, semangatnya tetap hidup melalui program ini. Warisan intelektualnya menjadi inspirasi bagi generasi baru yang ingin berpikir kritis, bebas, dan berani.
Putra bungsunya, D Cyril Noerhadi, menyatakan harapan agar beasiswa ini menjadi ruang lahirnya pemikir-pemikir baru yang tidak hanya cerdas, tetapi juga punya keberanian menyuarakan keadilan. Semangat Toeti Heraty yang selalu menjembatani seni, filsafat, dan emansipasi perempuan masih terasa dalam setiap aspek program ini.
“Semangat ini yang menjadi dasar lahirnya THS. Kami berharap beasiswa ini terus melahirkan pemikir-pemikir kritis, feminis, dan filosof yang membawa semangat Ibu Toeti,” ungkapnya.
Suara Penerima, Cermin Harapan
Bagi para penerima, beasiswa ini adalah lebih dari sekadar dukungan. Lisa Febriyanti, mahasiswa Magister Filsafat di STFT Driyarkara, mengungkapkan bahwa THS memberikan semangat untuk berpikir kritis dan mengejar kebenaran dengan keberanian.
“Beasiswa ini bukan sekadar dukungan akademik, tapi juga warisan keberanian berpikir kritis dan mencintai kebenaran. Saya ingin menjadi bagian dari generasi perempuan pemikir yang mengubah dunia dari pertanyaan dan pengalaman mereka sendiri,” ucapnya penuh keyakinan.
Ucapan Lisa mencerminkan semangat para penerima lainnya, yang tidak hanya memanfaatkan beasiswa untuk studi, tetapi juga untuk memperluas dampak sosial dari ilmu yang mereka pelajari.
Mengubah Narasi, Mengisi Sejarah
Direktur Eksekutif YJP, Abby Gina Boang Manalu, menegaskan bahwa beasiswa ini adalah bagian dari intervensi politik progresif yang ingin menciptakan distribusi pengetahuan lebih merata.
Menurut Abby, ketika perempuan mendapat akses pendidikan, maka sejarah sedang ditulis ulang. Ia menilai bahwa THS menjadi nyala kecil yang terus menyala dalam kondisi struktural yang masih timpang.
“Ketika perempuan mendapat akses pendidikan, ia sedang menulis ulang sejarahnya. THS adalah nyala kecil yang terus menjaga harapan di tengah ketimpangan struktural,” ucapnya.
Pernyataan Abby menggambarkan posisi THS sebagai ruang aman dan berdaya untuk perempuan, bukan hanya di bidang akademik, tetapi juga dalam membentuk masa depan yang lebih adil.
Jalan Panjang yang Berawal dari Sekarang
Program beasiswa ini bukan milik satu institusi atau individu. Ia adalah bagian dari gerakan bersama untuk menciptakan masa depan di mana perempuan tidak hanya menjadi objek perubahan, tetapi juga subjek yang aktif, kritis, dan terlibat penuh dalam proses transformasi sosial.
Meski tanpa pendanaan dari korporasi, program ini membuktikan bahwa keberlanjutan bisa hadir dari komitmen komunitas yang percaya pada kekuatan ilmu pengetahuan. Dengan sistem seleksi terbuka dan partisipatif, program ini terus menunjukkan bahwa harapan bisa ditanam, tumbuh, dan dituai dari berbagai penjuru negeri.
Sepuluh perempuan yang kini melangkah maju dengan semangat THS adalah bukti nyata bahwa perubahan dimulai dari satu keputusan kecil: untuk belajar, untuk berpikir, dan untuk berani menjadi bagian dari dunia yang lebih setara.