Pengawasan OJK Dorong Pinjaman Online Lebih Transparan

Minggu, 03 Agustus 2025 | 09:23:55 WIB
Pengawasan OJK Dorong Pinjaman Online Lebih Transparan

JAKARTA - Dalam upaya memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap layanan keuangan digital, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menegaskan komitmennya dalam mengawasi pemasaran produk pinjaman online atau fintech peer-to-peer (P2P) lending secara ketat. Melalui pengawasan yang berbasis pada prinsip perlindungan konsumen, OJK memastikan bahwa proses pemasaran oleh pelaku usaha jasa keuangan (PUJK) berjalan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Kepala Eksekutif Pengawas Perilaku Pelaku Usaha Jasa Keuangan, Edukasi dan Pelindungan Konsumen OJK, Friderica Widyasari Dewi, menyampaikan bahwa tahapan pemasaran merupakan fase penting yang sangat memengaruhi keputusan konsumen dalam menggunakan produk jasa keuangan. Oleh karena itu, menurutnya, aspek ini tidak luput dari ruang lingkup pengawasan OJK.

“Dalam product life cycle, aspek pemasaran juga menjadi salah satu cakupan yang menjadi objek pengawasan OJK agar dalam aspek ini prinsip perlindungan konsumen juga dapat diterapkan oleh PUJK,” jelas Friderica.

Kiki memaparkan bahwa perusahaan fintech, termasuk penyelenggara layanan pinjaman online, memiliki tanggung jawab besar untuk menyampaikan informasi dengan cara yang jujur, transparan, dan tidak menyesatkan. Informasi yang diberikan kepada calon konsumen haruslah mudah dipahami dan tersedia dalam berbagai format, baik versi umum maupun personal.

Lebih lanjut, setiap perusahaan fintech diwajibkan mencantumkan identitas yang jelas dalam seluruh materi pemasaran, termasuk nama dan logo PUJK serta pernyataan yang menegaskan bahwa mereka terdaftar dan diawasi oleh OJK. Ketentuan ini menjadi penting untuk meningkatkan akuntabilitas dan mencegah praktik pemasaran yang merugikan konsumen.

Selain itu, perusahaan juga dilarang menggunakan pendekatan pemasaran yang menyalahgunakan kondisi konsumen, serta harus memperhatikan kesesuaian produk dengan kebutuhan individu masing-masing pengguna. Apabila pemasaran dilakukan melalui sarana komunikasi pribadi, maka tata cara khusus yang ditetapkan oleh OJK harus diikuti.

Dalam menjalankan pengawasan terhadap kegiatan pemasaran tersebut, OJK memiliki dua pendekatan, yaitu secara langsung melalui pemeriksaan, dan tidak langsung dengan memantau laporan serta perilaku PUJK. Kiki menjelaskan bahwa jika ditemukan pelanggaran, OJK akan mengambil langkah tegas berupa tindakan pengawasan atau pemberian sanksi sesuai dengan tingkat dan jenis pelanggaran yang ditemukan.

“Hal ini termasuk memerintahkan penggantian kerugian konsumen apabila memang ditemukan adanya kesalahan PUJK yang menyebabkan kerugian konsumen,” tegasnya.

Pengawasan ini menjadi semakin penting mengingat perkembangan pesat industri P2P lending. Industri ini kini ditargetkan untuk meningkatkan porsi pembiayaan ke sektor produktif hingga mencapai 50 hingga 70% dari total pembiayaan pada tahun 2028. Namun, berdasarkan data OJK per porsi pembiayaan ke sektor produktif dan UMKM baru mencapai 35,38%, atau sekitar Rp28,63 triliun dari total penyaluran pinjaman.

Di balik target ambisius tersebut, muncul tantangan baru berupa meningkatnya kredit bermasalah (non-performing loan/NPL) di kalangan peminjam dari sektor badan usaha. OJK mencatat outstanding pinjaman macet selama kuartal I/2025 mencapai Rp849,24 miliar, tumbuh 85,9% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya sebesar Rp456,91 miliar.

Tak hanya dari sisi nominal, jumlah entitas peminjam juga mengalami lonjakan signifikan. Pada kuartal I/2024, hanya terdapat 478 entitas badan usaha yang tercatat sebagai peminjam bermasalah. Namun, angka tersebut melonjak drastis menjadi 404.192 badan usaha pada kuartal I/2025. Kenaikan ini menunjukkan perlunya evaluasi mendalam terhadap strategi penyaluran pinjaman ke segmen ini.

Ketua Umum Asosiasi Fintech Pendanaan Bersama Indonesia (AFPI), Entjik S. Djafar, mengakui bahwa lonjakan kredit bermasalah tersebut merupakan konsekuensi dari upaya agresif sejumlah platform dalam mengejar target pembiayaan produktif. Menurutnya, beberapa platform memang mendorong peningkatan penyaluran ke sektor usaha guna memperluas penetrasi pasar.

“Kami mengakui memang beberapa platform pindar khususnya yang produktif banyak yang masuk ke segmen borrower badan usaha untuk mengejar peningkatan di market produktif,” ujar Entjik.

Ia juga menjelaskan bahwa lonjakan NPL tidak sepenuhnya berasal dari kelalaian internal platform, melainkan turut dipicu oleh situasi ekonomi yang belum sepenuhnya stabil. Faktor eksternal, seperti perlambatan ekonomi baik di dalam negeri maupun secara global, turut berkontribusi terhadap meningkatnya risiko gagal bayar di sektor ini.

Dengan tantangan tersebut, penguatan pengawasan pemasaran menjadi bagian penting dari ekosistem perlindungan konsumen dan menjaga keberlangsungan industri fintech yang sehat. Melalui pendekatan pengawasan market conduct, OJK tidak hanya bertugas mengawasi kepatuhan regulasi, tetapi juga membina praktik bisnis yang berkelanjutan dan berorientasi pada konsumen.

Langkah ini juga dinilai penting untuk menjaga reputasi industri fintech secara keseluruhan. Dengan menjunjung tinggi prinsip transparansi dan kepatuhan terhadap ketentuan pemasaran, penyelenggara pinjaman online dapat membangun kepercayaan yang lebih kuat dari masyarakat.

Secara keseluruhan, pendekatan OJK dalam hal ini menunjukkan bahwa pengawasan tidak hanya dilakukan untuk memastikan keamanan sistem keuangan, tetapi juga sebagai upaya nyata dalam menciptakan ekosistem digital yang inklusif dan bertanggung jawab. Dengan regulasi yang tepat dan implementasi yang konsisten, industri pinjaman online diharapkan mampu berkembang secara berkelanjutan dan memberikan kontribusi nyata bagi pertumbuhan ekonomi, khususnya di sektor UMKM dan produktif.

Terkini