JAKARTA - Banyak orang menjadikan teh sebagai minuman pendamping yang menemani waktu santai, bahkan tak jarang juga dikonsumsi setelah makan berat. Namun, apakah kebiasaan tersebut berdampak baik bagi kesehatan tubuh?
Minum teh setelah makan memang terasa menyegarkan. Apalagi jika disajikan dalam kondisi hangat atau dengan tambahan rasa seperti lemon, madu, atau jahe. Tetapi di balik kelezatan dan kenyamanan tersebut, ada pertimbangan penting yang perlu diketahui terkait waktu konsumsi teh yang tepat.
Menurut sejumlah pakar kesehatan, kebiasaan minum teh setelah makan perlu diperhatikan dengan bijak karena bisa berdampak terhadap penyerapan nutrisi dalam tubuh. Bukan berarti teh tidak baik untuk kesehatan, melainkan waktu konsumsinya yang menjadi perhatian utama.
Ahli gizi dari Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Leona Victoria Djajadi, MND, menyampaikan pandangannya tentang hal ini. Ia menegaskan bahwa minum teh tidak secara langsung berbahaya, namun bisa mengurangi penyerapan zat besi dari makanan yang baru dikonsumsi.
"Teh itu tidak haram. Kalau orang bilang minum teh setelah makan tidak boleh, ya tidak benar juga. Yang penting tahu dulu, makanannya apa dan orangnya seperti apa," ujar Leona.
Menurut Leona, teh mengandung senyawa tanin yang bersifat mengikat zat besi, khususnya yang bersumber dari tumbuhan atau zat besi non-heme. Ketika seseorang mengonsumsi makanan yang kaya zat besi lalu langsung disusul dengan teh, maka kemampuan tubuh untuk menyerap zat besi bisa berkurang. Hal ini menjadi penting terutama bagi mereka yang memiliki risiko anemia atau kadar hemoglobin yang rendah.
Meski demikian, bagi individu yang asupan zat besinya sudah mencukupi, atau pola makannya seimbang dan bergizi, dampak dari minum teh setelah makan tidak akan terlalu signifikan. Namun tetap disarankan untuk memberikan jeda waktu sebelum mengonsumsi teh, setidaknya 30 hingga 60 menit setelah makan, agar tubuh dapat menyerap nutrisi secara optimal terlebih dahulu.
Kebiasaan minum teh setelah makan memang sudah menjadi tradisi di beberapa budaya. Di negara seperti Cina, Jepang, dan sebagian wilayah Timur Tengah, teh justru disajikan sebagai pelengkap makanan. Akan tetapi, jenis teh dan cara penyajiannya berbeda-beda, termasuk waktu penyajiannya yang tidak selalu langsung setelah makan utama.
Leona juga menambahkan bahwa efek tanin dalam teh lebih dominan terhadap zat besi dari sumber nabati, misalnya dari sayuran hijau, kacang-kacangan, atau makanan berbasis kedelai. Sedangkan zat besi heme dari sumber hewani seperti daging merah, hati, atau unggas, tidak terlalu mudah terpengaruh oleh kandungan tanin.
Dalam hal ini, pemahaman tentang kombinasi makanan dan minuman menjadi sangat penting. Jika seseorang mengonsumsi makanan tinggi zat besi non-heme, seperti nasi dengan sayur bayam atau tahu tempe, maka lebih baik tidak langsung minum teh setelahnya. Sebagai gantinya, bisa memilih air putih atau minuman dengan vitamin C yang justru membantu penyerapan zat besi.
"Sebenarnya kita bukan melarang, tapi lebih kepada menyesuaikan. Kalau sedang makan tinggi zat besi non-heme, lebih baik teh diminum agak nanti. Tapi kalau makanan kita cukup tinggi zat besi heme dan kita sehat, minum teh sesudah makan sesekali tidak masalah," jelas Leona.
Ia juga menekankan bahwa efek dari minum teh setelah makan bukan sesuatu yang instan. Artinya, sekali dua kali dilakukan tidak akan langsung menyebabkan kekurangan zat besi atau masalah kesehatan. Namun jika menjadi kebiasaan jangka panjang, apalagi tanpa diimbangi pola makan bergizi, maka dampaknya bisa terasa secara perlahan.
Teh sendiri mengandung berbagai zat yang justru bermanfaat bagi tubuh, seperti antioksidan dalam bentuk katekin, flavonoid, dan senyawa polifenol lainnya. Kandungan ini membantu melawan radikal bebas, meningkatkan imunitas, dan bahkan membantu menjaga kadar kolesterol. Oleh karena itu, teh tetap menjadi minuman yang menyehatkan jika dikonsumsi secara tepat dan seimbang.
Bagi masyarakat yang gemar minum teh setelah makan, tidak perlu panik atau langsung mengubah kebiasaan. Yang paling penting adalah menyadari kondisi kesehatan pribadi, jenis makanan yang dikonsumsi, serta frekuensi dan waktu minum teh.
Jika seseorang sudah mengatur pola makan sehat, mencukupi kebutuhan zat besi harian, dan tidak memiliki gangguan penyerapan nutrisi, maka minum teh setelah makan tidak akan menjadi masalah besar. Namun, bagi mereka yang punya risiko anemia atau sedang menjalani terapi penambahan zat besi, akan lebih baik jika konsultasi dengan ahli gizi atau dokter terlebih dahulu.
Kesadaran terhadap hal-hal kecil seperti ini bisa menjadi bagian dari gaya hidup sehat yang menyeluruh. Tanpa harus menghilangkan kenikmatan minum teh, setiap orang bisa menyesuaikan kebiasaan makan dan minumnya agar tetap mendukung kesehatan tubuh.
Sebagai penutup, kebiasaan minum teh tetap bisa dinikmati dengan penuh rasa syukur, asal dilakukan dengan memperhatikan waktu dan kondisi tubuh masing-masing. Menjadikan teh sebagai bagian dari pola hidup sehat akan jauh lebih bermanfaat dibanding menjadikannya ritual tanpa pemahaman yang utuh.