DPR Dorong Transparansi Dividen BUMN di Danantara

Senin, 28 Juli 2025 | 12:00:36 WIB
DPR Dorong Transparansi Dividen BUMN di Danantara

JAKARTA - Dorongan untuk memperkuat tata kelola dan transparansi pengelolaan dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) mengemuka dalam rapat Komisi VI DPR RI bersama Kementerian BUMN dan Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (BPI Danantara). Alih-alih sekadar mempersoalkan, anggota dewan menempatkan isu ini sebagai momentum untuk memastikan hak rakyat atas dividen BUMN tercatat jelas, akuntabel, dan selaras dengan prinsip-prinsip pengelolaan keuangan negara yang baik.

Sorotan utama datang dari Anggota Komisi VI DPR Mufti Anam. Ia mempertanyakan transparansi dan akuntabilitas BPI Danantara dalam mengelola dana jumbo sekitar Rp90 triliun. Menurutnya, terdapat pergeseran besar dalam mekanisme pengelolaan dividen BUMN: jika sebelumnya dividen tersebut masuk ke kas negara melalui Kementerian Keuangan, kini pengelolaannya langsung berada di tangan BPI Danantara. Perubahan arsitektur pengelolaan ini, bagi Mufti, menuntut penjelasan yang terang mengenai alur, tata kelola, dan mekanisme pertanggungjawaban agar tidak menimbulkan ruang tafsir yang berlebihan.

“Dividen dari BUMN adalah hak rakyat dan semestinya dicatat dalam APBN serta dibahas bersama DPR. Namun kenyataannya, dividen tersebut tidak lagi dikelola Kementerian Keuangan, melainkan langsung ke BPI Danantara,” ujar Mufti. Pernyataan ini menandaskan bahwa keberadaan BPI Danantara harus diimbangi kerangka kerja yang memastikan setiap rupiah yang berasal dari BUMN tetap melalui mekanisme yang dapat ditelusuri publik dan lembaga perwakilan.

Politikus Fraksi PDI Perjuangan itu juga menyinggung aspek konstitusionalitas kebijakan baru tersebut. Ia menilai, aliran dana langsung ke Danantara berpotensi bersinggungan dengan Pasal 23 UUD 1945, yang menegaskan seluruh penerimaan negara harus dimasukkan ke dalam APBN dan dibahas bersama DPR. Dalam perspektif Mufti, penguatan tata kelola bukan semata soal prosedur administratif, melainkan bentuk penghormatan terhadap mandat konstitusi yang mengatur bagaimana penerimaan negara dikelola, diawasi, dan diputuskan secara transparan.

Lebih jauh, Mufti menggarisbawahi konsekuensi kebijakan ini terhadap beban yang dirasakan masyarakat. Menurutnya, ketika penerimaan negara dari dividen BUMN tidak lagi tercatat sebagaimana mestinya, Direktorat Jenderal Pajak dituntut bekerja ekstra untuk menutup ruang fiskal, yang pada akhirnya imbasnya justru dirasakan oleh pelaku usaha kecil. “Akibatnya, rakyat kecil yang jualan daring di platform seperti Shopee dan TikTok mulai dipajaki. Ini ironi. Rakyat semakin tertekan sementara ada dana besar yang tidak jelas pertanggungjawabannya,” jelas dia.

Di titik ini, seruan Mufti dapat dibaca sebagai upaya menyelaraskan dua tujuan sekaligus: menjaga optimalisasi penerimaan negara dari dividen BUMN serta memastikan kebijakan perpajakan tidak menambah tekanan pada lapisan masyarakat bawah. Dengan kata lain, ia mendorong agar reformasi tata kelola dividen BUMN tidak memunculkan beban baru yang tidak proporsional bagi pelaku usaha kecil dan menengah yang tengah bertumbuh di ruang ekonomi digital.

Ia juga mendesak kejelasan tugas dan fungsi antara Kementerian BUMN dan BPI Danantara. Kejelasan ini penting agar tidak terjadi tumpang tindih atau bahkan saling lempar tanggung jawab di kemudian hari. Keterpaduan mandat akan memudahkan publik menilai siapa yang bertanggung jawab atas perencanaan, pelaksanaan, hingga pengawasan pengelolaan dividen BUMN. Dalam kerangka good corporate governance, garis komando dan alur pertanggungjawaban yang terang tidak hanya mencegah risiko tata kelola, tetapi juga meningkatkan kepercayaan pemangku kepentingan.

Mufti menutup pandangannya dengan pengingat agar proses reformasi ini tidak mengabaikan pelajaran dari masa lalu. “Kami mengingatkan agar sejarah tidak dilupakan. Jangan sampai ada kegagalan dalam pengelolaan ini yang nantinya menjadi noda dalam perjalanan keuangan negara,” tutup dia. Pernyataan tersebut menegaskan bahwa yang diupayakan bukanlah penolakan atas inovasi institusional, melainkan jaminan bahwa inovasi tersebut berdiri di atas fondasi regulasi yang kuat, pengawasan yang efektif, dan akuntabilitas yang dapat diuji secara periodik.

Secara keseluruhan, dinamika di Komisi VI DPR menunjukkan orientasi kolaboratif: BUMN sebagai penghasil dividen strategis, Kementerian BUMN sebagai pengampu kebijakan, dan BPI Danantara sebagai pengelola investasi dituntut menyatukan langkah. Dengan pengaturan peran yang jelas, pelaporan yang terstruktur, serta komitmen transparansi yang konsisten, pengelolaan dividen BUMN berpeluang menjadi instrumen penguatan fiskal sekaligus motor pembiayaan pembangunan nasional yang kredibel dan berkelanjutan.

Ke depan, arah positif yang diharapkan adalah terbentuknya mekanisme pelaporan yang rutin dan komprehensif kepada DPR dan publik, penegasan posisi dividen BUMN dalam kerangka APBN, serta sinkronisasi kebijakan fiskal agar tidak memberatkan masyarakat kecil. Dengan begitu, dividen BUMN tetap menjadi hak rakyat, ditata melalui jalur yang dapat dipertanggungjawabkan, dan pada akhirnya berkontribusi optimal pada kesejahteraan umum. Transparansi, akuntabilitas, dan kepastian hukum menjadi tiga kata kunci yang dirasakan penting untuk memastikan transformasi ini berjalan dalam koridor yang konstruktif dan berorientasi pada kemajuan.

Terkini