Asuransi Perkuat Perlindungan Petani Jember

Jumat, 25 Juli 2025 | 08:36:05 WIB
Asuransi Perkuat Perlindungan Petani Jember

JAKARTA - Upaya memberikan perlindungan menyeluruh kepada petani di Jember terus dilakukan melalui pembahasan Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani. Salah satu perhatian utama dalam rapat pembahasan yang digelar oleh DPRD Jember adalah penyusunan strategi yang menyentuh langsung persoalan di lapangan, seperti penanganan gagal panen dan skema asuransi pertanian.

Dalam rapat yang digelar oleh Badan Pembentukan Peraturan Daerah (Bapemperda), sejumlah poin krusial diangkat ke permukaan, terutama yang tercantum dalam Pasal 7 Raperda. Pasal ini dianggap sebagai fondasi arah kebijakan perlindungan terhadap petani, dengan cakupan mulai dari sarana pertanian, kepastian usaha, hingga pembiayaan dan jaminan produksi.

Wakil Ketua Bapemperda DPRD Jember, Tabroni, menjelaskan bahwa Pasal 7 ayat (1) berisi dua fokus utama: strategi perlindungan dan strategi pemberdayaan petani. Dalam penjabaran strateginya, terdapat upaya sistematis untuk memastikan petani memperoleh dukungan yang memadai, baik dari segi fasilitas, akses usaha, hingga jaminan hasil panen.

"Pasal 7 ini merupakan bagian penting karena memuat arah perlindungan petani, termasuk bantuan pembiayaan, kepastian lahan, serta jaminan ketersediaan air sesuai dengan rencana tata tanam," ujar Tabroni saat menyampaikan isi draf dalam forum pembahasan.

Salah satu isu yang cukup menarik perhatian dalam pasal tersebut adalah pengaturan mengenai skema ganti rugi akibat gagal panen dan asuransi pertanian. Dua butir yang diatur dalam poin F dan G mendapat masukan penting dari perwakilan Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura, dan Perkebunan (TPHP) Kabupaten Jember.

Luhur Prayogo, Kepala Bidang Tanaman Pangan Dinas TPHP Jember, memberikan pandangan terkait kemungkinan terjadinya tumpang tindih antara skema ganti rugi dan asuransi. Ia menyarankan agar keduanya dievaluasi untuk digabungkan menjadi satu skema agar lebih efektif dan efisien dalam implementasinya.

“Kalau ganti rugi gagal panen akibat kejadian luar biasa ini ditanggung pemerintah dan asuransi juga untuk gagal panen, apa tidak lebih baik digabung saja ke dalam satu skema asuransi pertanian?” ujarnya saat menyampaikan catatan dalam rapat tersebut.

Luhur juga menambahkan bahwa bila keduanya tetap dipisah, maka perlu dirumuskan batasan yang tegas, sehingga tidak semua beban ditanggung pemerintah daerah. Ia menilai pentingnya pembatasan yang jelas dalam regulasi agar mekanisme yang berlaku dapat berjalan sesuai kapasitas fiskal dan tidak membingungkan.

Menanggapi hal tersebut, Kristo Samurung Tua Sagala, anggota tim penyusun naskah akademik dari Universitas Jember, menjelaskan bahwa secara hukum, kedua skema memang memiliki dasar yang berbeda. Merujuk pada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013 tentang Perlindungan dan Pemberdayaan Petani, disebutkan bahwa asuransi merupakan tanggung jawab badan usaha, sedangkan ganti rugi akibat kejadian luar biasa menjadi kewajiban pemerintah.

“Asuransi itu badan usaha, sedangkan ganti rugi akibat kejadian luar biasa adalah tanggung jawab pemerintah. Maka dalam Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2013, keduanya disebut secara terpisah,” terang Kristo.

Meski demikian, Kristo mengakui bahwa dalam implementasi, kedua skema ini perlu dicantumkan secara eksplisit dalam Raperda, namun dengan penekanan pada batasan yang rinci agar tidak menimbulkan multitafsir. Ia menyarankan agar ganti rugi hanya difokuskan untuk kejadian-kejadian luar biasa yang berada di luar cakupan perlindungan asuransi pertanian.

“Memang perlu pembatasan yang jelas. Misalnya, ganti rugi hanya untuk kejadian luar biasa yang tidak bisa ditanggung oleh asuransi,” tambah Kristo.

Selain aspek hukum dan perlindungan, diskusi juga menyinggung tentang keterbatasan kapasitas fiskal pemerintah daerah. Dalam hal ini, Kristo menilai pentingnya pertimbangan realistis dalam menyusun skema perlindungan. Ia mengingatkan bahwa apabila kejadian luar biasa menyebabkan gagal panen dalam skala luas, kemampuan fiskal daerah bisa menjadi kendala besar.

“Kalau ratusan hektar gagal panen karena kejadian luar biasa dan itu semua harus ditanggung pemerintah, saya pikir kemampuan daerah juga terbatas. Jadi lebih baik diarahkan ke mekanisme asuransi yang sudah berjalan,” jelasnya.

Pernyataan tersebut menggambarkan urgensi untuk memperkuat skema asuransi pertanian yang sudah ada saat ini. Selain sebagai instrumen mitigasi risiko, asuransi juga bisa menjadi solusi jangka panjang dalam mengurangi beban fiskal daerah saat terjadi bencana yang memengaruhi sektor pertanian.

Pada akhir rapat, semua pihak yang hadir sepakat bahwa penjelasan dalam pasal harus diperjelas kembali, agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan atau penafsiran di lapangan. Pemerintah daerah tetap didorong untuk hadir memberikan perlindungan bagi petani, misalnya melalui mekanisme subsidi atau bantuan tambahan yang tetap disesuaikan dengan kemampuan anggaran daerah.

Raperda ini diharapkan menjadi pijakan hukum yang tidak hanya melindungi petani dari risiko pertanian, tetapi juga memperkuat posisi mereka dalam menghadapi berbagai tantangan sektor pangan di masa depan. Fokus pada kejelasan skema asuransi dan ganti rugi merupakan bentuk konkret keberpihakan terhadap petani dalam pembangunan daerah.

Terkini