JAKARTA - Saham perbankan besar di Indonesia tengah mengalami dinamika yang menarik di pasar modal, di mana tren penurunan belakangan ini menyimpan makna strategis bagi para pelaku industri dan investor. Meski Bank Indonesia (BI) telah meluncurkan beberapa stimulus dengan menurunkan suku bunga acuan, saham-saham di sektor perbankan belum menunjukkan kenaikan signifikan, menimbulkan diskusi tentang faktor di balik kondisi tersebut dan prospek yang akan datang.
Rully Arya Wisnubroto, Head of Research & Chief Economist Mirae Asset, menyoroti pergerakan saham bank-bank berkapitalisasi besar yang cenderung melemah meskipun BI sudah melakukan penurunan suku bunga yang seharusnya dapat menggerakkan pertumbuhan kredit dan aktivitas perbankan. Menurutnya, penurunan ini selaras dengan ekspektasi bahwa pertumbuhan kredit juga menurun cukup signifikan. Ada pula kekhawatiran terhadap peran perbankan, khususnya bank BUMN, dalam mendukung berbagai program pemerintah saat ini.
Rully menyatakan pentingnya melihat panduan (guidance) dari manajemen industri perbankan untuk memahami arah ke depan, apakah perlambatan ini bersifat sementara atau akan berlanjut. "Mungkin kita lihat dari guidance dari manajemen dulu. Kira-kira apakah akan ada perubahan dari sisi guidance-nya. Pertumbuhan kreditnya seperti apa," ungkapnya usai acara Media Day Mirae Asset pada Juli 2025.
Bank Indonesia sendiri memang sudah memangkas suku bunga acuan sebagai stimulus, terutama dalam upaya mempercepat penyaluran kredit dan menjaga likuiditas pasar. Namun, Rully memperkirakan perbankan akan mengambil sikap yang lebih berhati-hati dan selektif dalam menyalurkan kredit di tengah ketidakpastian tersebut. Ia menambahkan bahwa beberapa kali BI menurunkan proyeksi ekonomi nasional yang juga menuntut kesigapan dan kehati-hatian di sektor perbankan.
Selain itu, dari sisi pasar modal, pergerakan volatilitas cukup tinggi dengan aliran dana asing yang mencatat tren keluar signifikan sejak awal tahun 2025. Meskipun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) masih menunjukkan penguatan tipis, aliran modal asing justru menunjukkan net outflow mencapai hampir Rp58 triliun hingga pertengahan Juli 2025. Hal ini mengindikasikan bahwa kenaikan IHSG lebih didukung oleh investor domestik.
Sementara itu, pasar obligasi justru menunjukkan tren positif seiring dengan masuknya aliran dana asing yang cukup besar khususnya sepanjang Juli dengan nett buy mencapai Rp17,2 triliun dalam sebulan. Pendukung utama fenomena ini adalah pemangkasan BI Rate pada paruh pertama tahun ini dan optimisme pasar terhadap potensi penurunan Fed Fund Rate (FFR) pada semester kedua tahun 2025. Oleh karenanya, Rully memprediksi BI Rate akan dipertahankan di level 5,5 persen sampai akhir tahun, menunggu respon perbankan untuk menurunkan suku bunga kredit.
Faktor eksternal juga turut memengaruhi kondisi pasar saham perbankan. Tekanan dari kondisi ekonomi global yang tidak menentu serta pengaruh kebijakan moneter Amerika Serikat menjadi variabel yang harus diperhitungkan. Menurut Rully, bank sentral Amerika Serikat kemungkinan akan tetap berhati-hati dan mengamati data-data ekonomi sebelum menentukan besaran dan kecepatan penurunan suku bunga ke depan, meski ada tekanan dari beberapa pihak agar penurunan dilakukan secara agresif.
Secara keseluruhan, meski terdapat tantangan berupa perlambatan pertumbuhan kredit dan ketidakpastian dalam peran perbankan BUMN, sektor perbankan Indonesia masih menunjukkan ketahanan. Penguatan IHSG yang ditopang oleh investor dalam negeri serta tren positif di pasar obligasi memberikan sinyal optimisme terhadap prospek jangka menengah.
Dalam situasi ini, keputusan strategis manajemen perbankan dan kebijakan fiskal maupun moneter yang adaptif menjadi kunci utama untuk menjaga momentum positif dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional yang inklusif. Dengan pendekatan yang waspada namun tetap optimis, industri perbankan di Tanah Air diproyeksikan dapat menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang untuk tumbuh secara berkelanjutan.