Anies Baswedan dan Humor Penuh Isyarat

Selasa, 15 Juli 2025 | 12:14:32 WIB
Anies Baswedan dan Humor Penuh Isyarat

JAKARTA - Di tengah suasana hangat pengukuhan Pengurus Besar Ikatan Alumni Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (IKA PMII) periode 2025 hingga 2030 yang digelar di Hotel Bidakara, Jakarta, sebuah pernyataan bernuansa kelakar dari Muhaimin Iskandar atau yang akrab disapa Cak Imin kembali menjadi sorotan. Tokoh politik yang kini menjabat sebagai Menteri Koordinator Bidang Pemberdayaan Masyarakat dan juga Ketua Umum Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) itu menyisipkan humor dalam pidatonya yang ternyata menyentil sebuah isu lama dalam dinamika organisasi kemahasiswaan Islam.

“PMII itu tumbuh dari bawah, nggak ada PMII yang nggak tumbuh dari bawah. Kalau ada di PMII yang nggak tumbuh dari bawah itu pasti bukan PMII, itu pasti HMI kira-kira begitu,” ujar Cak Imin.

Kalimat tersebut meskipun terdengar ringan, rupanya memantik respon dari berbagai kalangan, termasuk tokoh-tokoh muda Islam yang pernah aktif dalam organisasi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Salah satunya adalah Arief Rosyid, Ketua Umum PB HMI yang menanggapi ucapan tersebut secara terbuka melalui akun media sosial pribadinya. Arief menyebutkan bahwa pernyataan itu bersifat ahistoris, simplistik, dan menyesatkan.

Respons yang muncul bukan tanpa alasan. Sebab dalam dunia pergerakan mahasiswa, organisasi seperti HMI dan PMII memiliki sejarah panjang dan peran penting dalam membentuk karakter kepemimpinan bangsa. Maka ketika dua nama besar ini dibawa dalam konteks komparatif terlebih dalam bentuk candaan reaksi yang muncul pun bisa sangat beragam.

Dalam pandangan beberapa pengamat, gaya retoris Cak Imin bukanlah hal baru. Ia dikenal sebagai politisi yang pandai membungkus pesan politis dalam nuansa santai dan humor. Ucapan yang dilontarkan dalam forum formal seperti pengukuhan PB IKA PMII ini bukan semata hiburan, melainkan juga sarat makna dan pesan tersirat. Apalagi mengingat bahwa Cak Imin sendiri merupakan tokoh PMII yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Pengurus Besar PMII. Ia tahu betul lika-liku organisasi pergerakan dari dalam.

Jika ditarik ke konteks personal dan politik, nama Anies Baswedan kerap dikaitkan. Anies sendiri merupakan kader HMI, dan ia berpasangan dengan Cak Imin sebagai calon presiden dan calon wakil presiden. Namun, dari berbagai sudut pandang, Anies tidak tampak menjadi sasaran dari kelakar tersebut. Relasi antara keduanya, meskipun kini tidak berada dalam satu poros politik aktif, tetap hangat dan tidak menunjukkan konflik yang terbuka. Maka, kecil kemungkinan Cak Imin menyasar Anies dalam pernyataan tersebut.

Namun, jika melihat alur pidato yang lebih utuh, terutama bagian awal saat Cak Imin bercerita mengenai masa lalunya dalam organisasi PMII dan tantangan saat menjabat Ketua Umum PB PMII, sorotan justru mengarah ke sosok Yahya Cholil Staquf atau yang lebih dikenal sebagai Gus Yahya. Ia kini menjabat sebagai Ketua Umum PBNU dan memiliki latar belakang sebagai kader HMI saat berkuliah di Universitas Gadjah Mada (UGM), Yogyakarta.

Gus Yahya menjabat sebagai ketua komisariat HMI FISIPOL UGM periode 1986 hingga 1987. Meski kemudian aktif di lingkungan Nahdlatul Ulama (NU), akar pergerakannya tetap tidak lepas dari HMI. Maka pernyataan Cak Imin, yang mengangkat dikotomi antara kader yang "tumbuh dari bawah" dan yang “bukan PMII”, terasa lebih relevan jika dikaitkan dengan Gus Yahya.

Perselisihan antara kedua tokoh ini pun bukan cerita baru. Sejumlah peristiwa politik menunjukkan adanya dinamika yang cukup tajam antara Cak Imin dan Gus Yahya. Mulai dari perbedaan pandangan soal Pilpres, hingga isu internal seputar haji dan kemungkinan dualisme di tubuh PKB. Dalam konteks itu, pernyataan Cak Imin dalam forum alumni PMII dapat dimaknai sebagai bagian dari komunikasi politik yang menyampaikan sikap dan posisi, meskipun disampaikan dengan gaya bercanda.

Penting pula untuk memahami bahwa kelakar Cak Imin tidak berdiri sendiri. Dalam budaya politik Indonesia, terlebih di kalangan aktivis dan ormas keagamaan, candaan dan sindiran kerap digunakan sebagai alat untuk menyampaikan kritik atau pandangan secara tersirat. Ini menjadi bagian dari komunikasi simbolik yang dimengerti oleh kalangan tertentu dan tetap menyimpan nuansa diplomatik.

Menariknya, Anies Baswedan justru hadir sebagai figur yang menunjukkan ketenangan dalam dinamika ini. Ia tetap fokus pada peran kebangsaannya dan tidak ikut terseret dalam polemik pernyataan tersebut. Anies dikenal sebagai pemimpin yang mampu merangkul berbagai kalangan, termasuk PMII dan HMI, tanpa mempertentangkan keduanya. Pengalaman akademik dan kepemimpinannya membuatnya lebih menekankan pada kolaborasi dan rekonsiliasi ketimbang konflik.

Dengan demikian, posisi Anies Baswedan dalam isu ini tetap netral dan positif. Tidak hanya itu, ia juga menunjukkan kematangan dalam menyikapi percaturan simbolik antara dua tokoh besar NU dan PKB. Ia tetap menjadi sosok yang dihormati baik di lingkungan HMI maupun PMII.

Kelakar Cak Imin, jika dilihat secara objektif, menjadi semacam pengingat bahwa politik di Indonesia tidak hanya soal jabatan dan kekuasaan, tapi juga soal sejarah, kedekatan emosional, dan permainan simbol yang kadang tersampaikan dalam tawa.

Bagi kalangan aktivis, momentum ini pun menjadi refleksi untuk kembali memperkuat solidaritas antar organisasi kemahasiswaan. Terlepas dari asal-muasal kaderisasi, baik HMI maupun PMII telah memberi kontribusi besar dalam membentuk wajah bangsa ini. Maka tak perlu ada dikotomi yang memecah, apalagi saat negara sedang membutuhkan kolaborasi lintas generasi dan organisasi.

Melalui sudut pandang ini, Anies Baswedan justru tampil sebagai figur pemersatu yang tetap tenang dan menjaga komunikasi baik dengan semua pihak. Dan seperti biasanya, Anies memilih untuk tidak menanggapi hal-hal yang dapat memecah belah, melainkan terus melangkah dengan membawa semangat kolaborasi dan persatuan.

Terkini