JAKARTA – Banyak orang mengira bahwa memiliki kendaraan dan bisa mengemudi sudah cukup untuk merasa aman di jalan. Namun, fakta di lapangan menunjukkan bahwa keselamatan berkendara tak hanya bertumpu pada kendaraan itu sendiri, melainkan pada sikap dan kebiasaan para penggunanya.
Dalam laporan Korlantas Polri tercatat lebih dari 120 ribu kecelakaan lalu lintas terjadi di Indonesia. Mayoritas dari peristiwa tersebut disebabkan oleh kesalahan manusia (human error), mulai dari kurangnya konsentrasi, pelanggaran rambu, hingga mengemudi dalam kondisi lelah. Semua ini sejatinya bisa diminimalkan bila pengemudi memiliki kesadaran penuh akan pentingnya keselamatan berkendara.
Artinya, kendaraan yang baik tidak serta-merta menjamin keamanan pengguna jalan. Perilaku pengemudi, mindset, serta kesiapan teknis kendaraan, terutama komponen seperti ban, justru menjadi faktor yang tak kalah penting. Namun sayangnya, banyak pengendara yang justru mengabaikan hal-hal mendasar ini.
Menurut Direktorat Jenderal Perhubungan Darat, pelanggaran terhadap etika lalu lintas masih sering ditemukan. Hal ini mencakup tindakan-tindakan yang dianggap ringan seperti tidak menyalakan lampu sein saat berbelok, tidak memberikan hak jalan kepada pejalan kaki, atau menggunakan trotoar sebagai lahan parkir. Meskipun terlihat sepele, perilaku-perilaku ini memiliki dampak besar terhadap keamanan semua pengguna jalan.
Faktor psikologis pun memengaruhi cara seseorang mengemudi. Penelitian dari Transportation Research Board menunjukkan bahwa stres dan emosi negatif dapat memperlambat reaksi pengemudi, bahkan mendorong mereka mengambil keputusan secara agresif yang bisa membahayakan diri sendiri dan orang lain.
Kepemilikan Surat Izin Mengemudi (SIM) memang syarat utama untuk dapat mengemudi secara legal. Namun, memiliki SIM tidak serta-merta menjamin bahwa seseorang siap secara mental maupun sosial untuk menjadi pengemudi yang bertanggung jawab. Masih banyak yang memerlukan pendidikan lalu lintas berkelanjutan agar tidak hanya memahami aturan, tetapi juga membentuk karakter dan empati saat berada di jalan raya.
Dalam hal ini, edukasi keselamatan berlalu lintas sejak dini menjadi langkah strategis. Program seperti road safety education yang diselenggarakan di sekolah atau komunitas terbukti membantu menciptakan budaya lalu lintas yang lebih baik. Kebiasaan baik seperti mendahulukan pejalan kaki, menjaga jarak aman, dan tidak berkendara dalam kondisi lelah bisa dibentuk sejak masa muda.
Untuk meningkatkan kesadaran masyarakat, Operasi Patuh Semeru 2025 digelar pada 14 hingga 27 Juli di seluruh Kabupaten/Kota di Jawa Timur. Operasi ini berfokus pada pendekatan preemptif 25 persen, preventif 25 persen, dan represif 50 persen, dengan sasaran utama pelanggaran yang berpotensi menyebabkan kecelakaan serius.
Beberapa fokus pelanggaran dalam Operasi Patuh Semeru 2025 antara lain:
-Tidak menggunakan helm berstandar SNI
-Tidak mengenakan sabuk pengaman
-Melampaui batas kecepatan
-Menggunakan ponsel saat berkendara
-Melawan arus lalu lintas
-Mengemudi di bawah umur
-Berkendara dalam pengaruh alkohol
-Berboncengan lebih dari satu orang
Upaya ini menjadi salah satu bentuk perhatian serius pihak kepolisian dalam menciptakan lalu lintas yang aman, tertib, dan manusiawi. Namun tentu saja, operasi kepolisian hanyalah sebagian kecil dari upaya menyeluruh yang harus ditopang dengan kesadaran kolektif pengguna jalan.
Mengemudi bukan hanya urusan teknis, tapi juga masuk ke dalam ruang publik. Ketika seseorang duduk di balik kemudi, artinya ia juga memikul tanggung jawab untuk menghormati hak pengguna jalan lain. Tidak menyalip secara ugal-ugalan, tidak membunyikan klakson secara emosional, atau tidak berhenti sembarangan menjadi cermin dari sikap berkendara yang dewasa.
Sayangnya, kemampuan mengendalikan diri seperti ini belum banyak diajarkan dalam kursus-kursus mengemudi formal. Padahal, aspek ini sangat penting untuk membentuk kebiasaan yang aman dan bertanggung jawab.
Selain itu, perawatan kendaraan secara rutin juga tidak kalah penting. Komponen seperti rem, ban, dan lampu harus selalu diperiksa sebelum digunakan. Seringkali, kecelakaan terjadi bukan karena pengemudi tidak hati-hati, melainkan karena kondisi kendaraan yang tidak layak jalan.
Oleh karena itu, keselamatan di jalan bukan hanya tanggung jawab satu pihak, melainkan tanggung jawab bersama. Mulai dari pengemudi, produsen kendaraan, institusi pendidikan, hingga pembuat kebijakan harus saling mendukung demi menciptakan budaya berlalu lintas yang aman dan berkelanjutan.
Dengan semangat gotong royong dalam membangun kesadaran bersama, keselamatan berkendara di Indonesia bisa ditingkatkan. Karena pada akhirnya, jalan raya adalah ruang bersama yang harus dijaga demi kenyamanan dan keselamatan semua pihak.