JAKARTA - Memasuki pertengahan tahun, Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) menginformasikan bahwa sejumlah wilayah di Indonesia mulai mengalami transisi menuju musim kemarau. Berdasarkan data yang diperoleh, sekitar 39 persen Zona Musim (ZOM) di berbagai provinsi telah memasuki fase kemarau pada Juli 2025. Sementara itu, sebagian besar wilayah lainnya masih berada dalam masa peralihan.
Situasi ini menjadi perhatian penting, khususnya karena dinamika musim berpengaruh terhadap sektor pertanian, ketersediaan air bersih, dan aktivitas masyarakat. Namun, kondisi ini juga diiringi dengan upaya antisipatif dari BMKG yang mengedepankan mitigasi dan kewaspadaan terhadap potensi kekeringan meteorologis.
Menurut laporan BMKG, daerah yang sudah mulai merasakan musim kemarau tersebar di berbagai wilayah, dengan cakupan yang bervariasi. Beberapa daerah baru mengalami musim kemarau pada sebagian kecil wilayahnya. Provinsi seperti Bengkulu, Lampung, Jakarta, Jawa Barat, Bali bagian utara, Kalimantan Timur, Kalimantan Selatan, Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan, Papua Barat, dan Papua bagian timur termasuk dalam kategori ini.
Sementara itu, wilayah lain seperti Provinsi Banten, disebutkan baru memasuki musim kemarau di sebagian wilayahnya. Sedangkan untuk daerah yang telah mengalami musim kemarau di sebagian besar wilayahnya meliputi Aceh, Sumatra Utara, Riau, Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Selatan, Jawa Tengah, Jawa Timur, serta Nusa Tenggara Timur (NTT).
Secara keseluruhan, seluruh wilayah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) dan Kepulauan Nusa Tenggara Barat (NTB) telah berada dalam periode musim kemarau sepenuhnya.
Sebagai langkah preventif, BMKG mengeluarkan peringatan dini terkait potensi terjadinya kekeringan meteorologis pada Dasarian II Juli 2025. Kekeringan meteorologis sendiri merupakan kondisi kekeringan akibat minimnya curah hujan dalam jangka waktu tertentu, khususnya selama musim kemarau.
Untuk memperjelas dampak yang mungkin timbul, BMKG membagi peringatan tersebut ke dalam tiga tingkatan, yaitu Waspada, Siaga, dan Awas.
Di level Waspada, BMKG memprediksi pengurangan curah hujan yang cukup signifikan di beberapa kabupaten dan kota, khususnya di Bali, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTB, dan NTT. Kondisi ini perlu dicermati oleh berbagai pihak, terutama sektor yang bergantung pada ketersediaan air dan kelembaban tanah, seperti pertanian dan peternakan.
Kemudian di tingkat Siaga, penurunan curah hujan diperkirakan disertai dengan durasi hari kering yang lebih panjang. Wilayah yang berada dalam kategori ini antara lain sejumlah bagian di Bali, Jawa Tengah, NTB, dan NTT. BMKG menekankan pentingnya pemantauan secara rutin untuk mengantisipasi dampak yang lebih besar terhadap lingkungan dan kehidupan masyarakat.
Hingga laporan ini disampaikan, BMKG belum menemukan wilayah yang masuk dalam kategori Awas kekeringan meteorologis. Hal ini menunjukkan bahwa dengan langkah monitoring yang ketat, kondisi masih dapat dikendalikan dan diantisipasi dengan baik.
BMKG juga terus mengimbau agar masyarakat dan pemerintah daerah senantiasa waspada dan meningkatkan kesadaran terhadap perubahan musim ini. Langkah-langkah seperti efisiensi penggunaan air, pengelolaan irigasi yang tepat, serta penyimpanan air hujan dapat menjadi solusi jangka menengah untuk mengurangi dampak musim kemarau.
“Monitoring curah hujan dan langkah mitigasi menjadi bagian penting dari upaya kami untuk menjaga stabilitas selama musim kemarau berlangsung,” demikian disampaikan oleh pihak BMKG dalam laporan resminya.
Kesiapsiagaan yang ditunjukkan oleh berbagai pihak dinilai akan sangat membantu, terutama dalam menjaga sektor pertanian yang menjadi tulang punggung pangan nasional. Selain itu, masyarakat juga diharapkan menjaga kondisi kesehatan dengan memperhatikan asupan cairan dan tidak beraktivitas terlalu lama di luar ruangan saat suhu meningkat.
Tidak hanya itu, daerah-daerah yang sudah memasuki musim kemarau secara penuh diharapkan bisa mulai mengaktifkan sistem peringatan dini lokal, memperkuat sinergi dengan lembaga pemerintah, dan menyesuaikan strategi pengelolaan sumber daya air.
Melalui informasi cuaca yang terus diperbarui, BMKG berkomitmen untuk menjadi mitra aktif dalam menyediakan data dan panduan yang akurat kepada masyarakat. Pembaruan informasi dilakukan secara berkala melalui kanal resmi BMKG agar publik dapat mengambil keputusan yang tepat berdasarkan perkembangan iklim terbaru.
Momentum ini juga menjadi ajakan untuk membangun budaya adaptif terhadap perubahan iklim yang kini semakin terasa. Dengan cuaca yang kian tidak menentu, kesiapan masyarakat menjadi aspek krusial dalam menjaga produktivitas serta kualitas hidup di berbagai wilayah.
Sebagai penutup, BMKG menekankan pentingnya kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan berbagai sektor untuk menghadapi musim kemarau dengan sikap yang lebih tanggap dan positif. Dengan informasi yang akurat, tindakan cepat, dan sikap gotong royong, tantangan musim kemarau dapat dihadapi secara lebih ringan dan terkendali.