Industri Sepatu Indonesia Hadapi Tantangan Tarif Impor AS

Kamis, 10 Juli 2025 | 16:07:26 WIB
Industri Sepatu Indonesia Hadapi Tantangan Tarif Impor AS

JAKARTA - Industri sepatu di Indonesia sedang berada di titik krusial seiring rencana pengenaan tarif impor baru oleh Amerika Serikat yang mencapai 32 persen. Kenaikan tarif tersebut menjadi perhatian serius bagi pelaku industri alas kaki nasional karena berpotensi mengganggu kelangsungan ekspor dan produksi.

Direktur Eksekutif Asosiasi Persepatuan Indonesia (Aprisindo), Yoseph Billie Dosiwoda, menjelaskan dalam diskusi bersama RRI Pro 3 bahwa kebijakan tarif baru ini jauh lebih tinggi dibandingkan tarif impor sebelumnya yang hanya sebesar 10 persen. Meskipun saat ini tarif baru tersebut belum resmi diterapkan, ketidakpastian ini sudah menimbulkan kecemasan di kalangan produsen sepatu nasional.

“Kami masih menunggu hasil negosiasi pemerintah dengan AS, karena tarif 32 persen ini belum ketok palu. Harapan kami tentu adanya jalan keluar yang menguntungkan semua pihak,” ujar Yoseph.

Menurutnya, Amerika Serikat merupakan pasar utama ekspor alas kaki dari Indonesia. Meski selama ini dikenai tarif sebesar 10 persen, industri mampu bertahan dan terus memproduksi. Namun, dengan rencana tarif yang melonjak tiga kali lipat, Aprisindo harus menghitung ulang dampaknya terhadap margin keuntungan serta kelangsungan produksi.

“Perlu waktu satu sampai dua bulan untuk mengamati bagaimana tarif baru ini akan memengaruhi jalannya produksi,” tambah Yoseph.

Untuk mengantisipasi kemungkinan buruk tersebut, Aprisindo mendukung penuh langkah diplomasi pemerintah Indonesia yang tengah aktif melakukan negosiasi dengan pihak AS. Langkah tersebut dianggap penting agar produksi tetap berjalan lancar dan mampu menghindari potensi pemutusan hubungan kerja (PHK) yang dapat merugikan ribuan pekerja.

Selain berharap pengurangan tarif, Aprisindo juga menyiapkan sejumlah strategi antisipasi jika tarif tinggi tersebut tetap diterapkan. Salah satu skenario yang tengah disiapkan adalah pengajuan program insentif kepada pemerintah untuk membantu menjaga kelangsungan produksi.

Selain berfokus pada pasar AS, Aprisindo pun mulai memperluas pangsa pasar ekspor ke wilayah lain, terutama Uni Eropa yang dianggap memiliki potensi besar sebagai pasar alternatif. Sejauh ini, ekspor alas kaki Indonesia juga telah menyentuh kawasan Amerika Latin dan Australia, namun AS tetap menjadi pasar dengan tingkat konsumsi tertinggi, dengan rata-rata tujuh pasang sepatu per orang setiap tahunnya.

“Kami percaya diversifikasi pasar ekspor penting untuk memitigasi risiko dari perubahan kebijakan perdagangan di satu negara,” terang Yoseph.

Kebijakan tarif impor yang direncanakan AS ini muncul dalam konteks perlindungan industri domestik mereka. Namun, bagi pelaku industri Indonesia, kenaikan tarif ini menjadi tantangan berat yang membutuhkan penanganan cermat agar tidak menimbulkan efek negatif berkelanjutan bagi sektor alas kaki nasional.

Dengan upaya negosiasi dan strategi pengembangan pasar, diharapkan industri sepatu Indonesia tetap dapat menjaga stabilitas produksi dan mempertahankan kontribusinya dalam perekonomian nasional. Yoseph menegaskan, kolaborasi antara asosiasi, pelaku industri, dan pemerintah sangat penting untuk menghadapi dinamika perdagangan global yang semakin kompleks.

Terkini