Kesehatan Butuh Pemerataan Dokter

Selasa, 08 Juli 2025 | 17:28:29 WIB
Kesehatan Butuh Pemerataan Dokter

JAKARTA - Upaya Kementerian Kesehatan untuk mempercepat pemerataan tenaga medis spesialis ke daerah terpencil kembali menjadi sorotan publik. Salah satu kebijakan yang tengah disiapkan adalah pemberian insentif sebesar Rp30 juta per bulan bagi dokter spesialis yang bersedia bertugas di wilayah pedalaman. Namun, sejumlah akademisi dan pengamat kebijakan kesehatan menilai bahwa insentif semata tak cukup untuk menjawab kompleksitas persoalan distribusi tenaga medis.

Dr Djazuly Chalidyanto, dosen Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Airlangga (Unair), termasuk salah satu yang menanggapi wacana ini dengan kritis. Menurutnya, rencana pemberian insentif tersebut memang merupakan langkah positif, tetapi perlu dilengkapi dengan berbagai dukungan sistemik lainnya agar kebijakan itu benar-benar efektif.

“Pemberian insentif itu baik, tapi bukan satu-satunya cara untuk menyelesaikan masalah kekurangan dokter,” kata Djazuly dalam keterangannya di Surabaya.

Dalam pandangannya, seorang dokter spesialis tidak bisa bekerja secara optimal tanpa kehadiran sumber daya pendukung lainnya. Perawat, tenaga laboratorium, hingga alat kesehatan yang memadai menjadi bagian yang tak terpisahkan dari praktik kedokteran. Oleh karena itu, kebijakan insentif harus dilihat sebagai bagian dari solusi menyeluruh, bukan satu-satunya jalan keluar.

Sebagai tenaga profesional, dokter spesialis juga sangat bergantung pada teknologi medis dan kondisi lingkungan kerja. Tidak semua daerah terpencil memiliki infrastruktur yang mendukung pelayanan medis lanjutan. Bahkan, beberapa fasilitas kesehatan di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) masih belum memiliki sarana dasar yang layak.

“Aspek finansial mungkin menjadi pertimbangan mendasar bagi seorang dokter. Namun, banyak aspek lain yang juga dipertimbangkan ketika seorang dokter menerima tugas di pedalaman,” jelas Djazuly.

Ia menyoroti bahwa bagi dokter yang telah berkeluarga, ada banyak hal yang menjadi bahan pertimbangan sebelum menerima penempatan di daerah. Faktor teknologi, kultur masyarakat setempat, hingga pertimbangan psikologis turut berperan besar. Ketimpangan ini sering kali menjadi penghalang utama dalam merealisasikan pemerataan dokter di seluruh wilayah Indonesia.

Selain itu, Djazuly menilai kebijakan ini bersifat jangka pendek dan cenderung instan. Pemerintah dinilai lebih menekankan pada percepatan distribusi tenaga medis ketimbang pembangunan sistem kesehatan yang kokoh dan berkelanjutan.

“Ini instan ini, karena pemerintah ingin mempercepat distribusi pelayanan kesehatan. Terutama dokter spesialis,” katanya.

Langkah pemerintah seharusnya tidak berhenti pada aspek kuantitas. Menurut Djazuly, fokus terhadap kualitas layanan kesehatan juga perlu menjadi perhatian utama. Keberhasilan dari penempatan dokter di wilayah terpencil tidak hanya dilihat dari jumlah tenaga yang dikirim, tetapi juga dari dampaknya terhadap masyarakat.

Dalam konteks itu, ia menyarankan agar pemerintah mulai menetapkan indikator keberhasilan yang lebih komprehensif. Jumlah dokter memang penting, namun keberhasilan pelayanan kesehatan harus diukur pula lewat indikator klinis seperti penurunan angka infeksi atau peningkatan angka kesembuhan.

Tak hanya itu, indikator non-klinis seperti kepuasan masyarakat terhadap layanan medis juga harus dikaji secara berkala. Hal ini penting untuk mengetahui apakah kehadiran dokter spesialis benar-benar memberi manfaat nyata bagi masyarakat yang dilayani.

“Maka, indikator klinis juga perlu menjadi capaian yang riil. Misalnya angka infeksi, tingkat kesembuhan, dan lain-lain. Indikator nonklinis pun juga perlu menjadi perhatian. Misalnya bagaimana kepuasan masyarakat setempat dengan adanya dokter spesialis,” tutur Djazuly.

Ia juga menekankan pentingnya evaluasi berkala terhadap kebijakan ini. Evaluasi tidak boleh sekadar administratif, namun harus menyentuh kualitas pengalaman baik dari sisi dokter maupun pasien. Pemerintah diminta tidak hanya berfokus pada keberadaan fisik dokter di lokasi penugasan, tapi juga memastikan keberlangsungan dan kepuasan kerja mereka.

“Kebijakan ini baik untuk jangka pendek. Tapi perlu adanya evaluasi yang sangat ketat, karena memang secara konsep untuk meningkatkan ketersediaan pelayanan kesehatan itu faktor utama adalah tenaga kesehatan. Seringkali pemerintah hanya melihat ‘oh sudah ada dokter spesialis’ tapi tidak melihat apakah masyarakat happy, dokternya happy ngga,” ujarnya.

Kritik ini menjadi pengingat bahwa pembangunan sektor kesehatan tidak bisa disederhanakan hanya pada pendekatan insentif. Tantangan yang dihadapi daerah terpencil sangat kompleks, mencakup faktor geografis, sosial, hingga ekonomi.

Jika tujuan akhirnya adalah pemerataan layanan kesehatan yang berkualitas, maka strategi yang ditempuh pun harus menyentuh akar persoalan. Investasi pada infrastruktur, pelatihan tenaga pendukung, hingga sistem insentif yang berkeadilan menjadi bagian dari agenda besar yang harus dijalankan secara konsisten.

Dengan melibatkan akademisi dan praktisi dalam perumusan kebijakan, diharapkan pemerintah mampu menciptakan ekosistem pelayanan kesehatan yang berkelanjutan. Pemberian insentif hanyalah salah satu bagian dari solusi. Tanpa dukungan sistemik, kebijakan tersebut dikhawatirkan hanya menjadi langkah sementara yang tak menyelesaikan persoalan mendasar.

Terkini