Rahmad Darmawan Kritik PSSI Usai Liga Indonesia

Senin, 07 Juli 2025 | 08:36:51 WIB
Rahmad Darmawan Kritik PSSI Usai Liga Indonesia

JAKARTA - Kekalahan telak yang dialami Liga Indonesia All Star dari Oxford United dalam ajang Piala Presiden 2025 bukan sekadar hasil pertandingan biasa. Lebih dari itu, kekalahan tersebut menimbulkan perenungan serius tentang arah pembinaan sepak bola Indonesia, terutama dalam aspek pengelolaan pemain muda.

Salah satu reaksi paling tajam datang dari pelatih kawakan, Rahmad Darmawan. Ia menilai bahwa hasil tersebut harus menjadi alarm keras bagi federasi, khususnya PSSI, untuk kembali mengevaluasi pola pembinaan yang selama ini dijalankan. Dalam pandangannya, kekalahan bukan semata karena kualitas lawan yang lebih baik, tetapi juga akibat kelemahan struktural yang selama ini dibiarkan.

"Ini bukan hanya soal skor besar, tapi bagaimana kita kelola pemain muda kita. Harus diakui, PSSI belum serius membangun pondasi jangka panjang," ujar Rahmad Darmawan.

Laga melawan Oxford United sejatinya adalah kesempatan emas untuk menguji kualitas para pemain terbaik Liga Indonesia, khususnya yang tergolong muda dan potensial. Namun, realitas di lapangan menunjukkan jurang kualitas yang cukup lebar. Tim All Star yang diisi sejumlah pemain muda terbaik Indonesia tampak kesulitan mengimbangi organisasi permainan dan fisik tim asal Inggris tersebut.

Rahmad menilai bahwa hasil buruk tersebut tidak bisa semata-mata dibebankan kepada para pemain. Ia menekankan pentingnya pembinaan yang berjenjang, terstruktur, dan berkelanjutan sejak usia dini. Menurutnya, pemain muda Indonesia sebenarnya memiliki potensi besar, tetapi selama tidak ditunjang sistem pengembangan yang baik, maka potensi itu akan terus tertinggal dibandingkan negara-negara lain, termasuk dari Eropa.

“Masalahnya bukan di kemampuan individu pemain saja, tapi bagaimana mereka dibina sejak usia belia, dari akademi, dari kompetisi usia dini yang konsisten dan berkualitas,” katanya.

Kritik Rahmad bukan tanpa dasar. Ia telah lama terlibat dalam pengembangan pemain muda dan melihat langsung bagaimana minimnya perhatian yang diberikan pada level pembinaan usia dini. Banyak klub yang belum memiliki sistem akademi yang terintegrasi, dan jika pun ada, tidak semua dijalankan dengan standar tinggi. Di sisi lain, kompetisi kelompok umur seringkali tidak berkelanjutan dan hanya dilakukan secara sporadis.

Selain itu, Rahmad juga menyoroti bagaimana sistem seleksi dan pemantauan bakat sering kali tidak akurat. Banyak talenta muda yang tenggelam karena tidak mendapatkan kesempatan bermain secara konsisten, atau bahkan karena sistem yang lebih mengedepankan faktor non-teknis dalam pemilihan pemain.

Kritik ini mencerminkan kekecewaan mendalam terhadap kegagalan sistemik, bukan hanya soal hasil satu pertandingan. Ia menyarankan agar PSSI segera berbenah dan fokus pada pembentukan fondasi yang kokoh. Salah satu upaya penting menurutnya adalah membangun kolaborasi nyata antara federasi, klub, dan sekolah sepak bola, termasuk menghadirkan kompetisi usia dini yang reguler dan berkualitas tinggi.

“Kita selalu bicara hasil jangka pendek, padahal sepak bola itu butuh proses panjang. Kalau kita terus mengabaikan pembinaan dasar, maka hasilnya akan selalu begini,” ujarnya menambahkan.

Laga melawan Oxford United pun semestinya tidak hanya dijadikan ajang hiburan atau promosi, tetapi menjadi momen pembelajaran serius untuk mengukur posisi sepak bola Indonesia dibandingkan standar internasional. Dengan permainan tim asal Inggris yang rapi, terorganisir, dan disiplin, para pemain Indonesia tampak kewalahan dan kurang mampu merespons secara taktis maupun fisik.

Situasi ini, menurut Rahmad, menjadi bukti bahwa pembinaan tidak boleh hanya fokus pada pencarian bakat semata, tapi juga pada pembentukan karakter dan pemahaman taktik sejak usia muda. Ia menggarisbawahi bahwa sepak bola modern membutuhkan pemain yang tidak hanya teknikal, tetapi juga punya pemahaman taktik tinggi dan daya tahan fisik yang mumpuni.

Sebagai solusi, ia mendorong agar federasi membangun sistem pembinaan berjenjang yang mengacu pada praktik terbaik dari negara-negara dengan sepak bola maju. Salah satunya adalah dengan membentuk pusat pelatihan regional yang bisa mengidentifikasi dan membina bakat secara konsisten, bukan sekadar mengandalkan pencarian bakat instan menjelang turnamen.

Tak hanya itu, ia juga menyoroti pentingnya edukasi pelatih usia muda. Menurutnya, banyak pelatih di level akar rumput yang belum mendapatkan pelatihan cukup, sehingga metode latihan dan pendekatan mereka masih jauh dari standar internasional. Padahal, pelatih-pelatih inilah yang menjadi fondasi awal bagi pembentukan karakter pemain muda.

“Kita butuh pelatih-pelatih usia muda yang punya lisensi, punya visi jangka panjang. Mereka ini yang akan bentuk pemain dari dasar,” ungkap Rahmad dengan tegas.

Kritik tajam seperti yang disampaikan oleh Rahmad Darmawan sepatutnya tidak diabaikan. Sebaliknya, hal ini bisa menjadi pintu masuk untuk evaluasi menyeluruh terhadap sistem sepak bola nasional, khususnya dalam pengembangan usia muda. Kekalahan dari Oxford United harus menjadi cermin besar, bahwa tanpa pembinaan berkelanjutan dan sistem yang sehat, pencapaian di level internasional akan terus menjadi angan.

Langkah pembenahan tentu tidak bisa dilakukan dalam semalam. Namun, langkah awal harus segera diambil—dari pembangunan kompetisi usia muda yang teratur, peningkatan kualitas pelatih, hingga sinergi nyata antara PSSI dan klub-klub anggota. Hanya dengan itu, mimpi Indonesia menjadi kekuatan sepak bola Asia dapat diwujudkan.

Terkini