Sejarah KB Nasional, Kejayaan, hingga Perkembangan BKKBN

Bru
Senin, 07 Juli 2025 | 08:24:45 WIB
sejarah KB

Sejarah KB yang dikenal saat ini adalah buah dari perjuangan panjang para pelopor di bidangnya, baik dari dalam negeri maupun mancanegara.

Di tingkat internasional, gagasan tentang pengaturan keluarga pertama kali muncul pada awal abad ke-19 di Inggris, dipelopori oleh sekelompok orang yang peduli terhadap isu kesehatan ibu.

Seiring dengan ditinggalkannya metode tradisional dalam mencegah kehamilan dan mulai digunakannya alat kontrasepsi yang memenuhi standar medis, gerakan pengaturan keluarga memasuki era modern. 

Tujuan dan cakupannya pun menjadi lebih luas, tidak lagi sebatas menjaga kesehatan ibu dan anak melalui pengendalian kehamilan serta kelahiran.

Di Inggris, sosok Marie Stopes (1880–1950) dikenal karena menyerukan pentingnya pengaturan kehamilan di kalangan keluarga pekerja. 

Sementara itu, di Amerika Serikat, Margareth Sanger (1883–1966) memperkenalkan gagasan birth control, yang kelak menjadi cikal bakal program KB modern.

Margareth Sanger kemudian merintis berdirinya International Planned Parenthood Federation (IPPF) pada tahun 1952. 

Sejak saat itu, berbagai organisasi keluarga berencana bermunculan di berbagai negara, termasuk di Indonesia yang tergabung sebagai anggota IPPF.

Dengan demikian, sejarah KB tak lepas dari perkembangan gerakan global yang bertujuan menciptakan keluarga sehat dan sejahtera melalui pengaturan kelahiran secara terencana dan bertanggung jawab.

Sejarah KB (Keluarga Berencana) Nasional

Sejarah KB di Indonesia dimulai pada era 1950-an oleh sejumlah dokter spesialis kandungan yang berupaya menurunkan tingginya angka kematian ibu dan bayi. 

Tahun 1957 menjadi tonggak awal berdirinya Perkumpulan Keluarga Berencana Indonesia (PKBI), sebuah organisasi sosial yang fokus pada isu keluarga berencana. 

Meski demikian, aktivitas PKBI sempat terhambat oleh keberadaan KUHP pasal 283 yang melarang penyebaran ide mengenai pengendalian kelahiran.

Barulah pada tahun 1967, PKBI memperoleh status hukum resmi dari Departemen Kehakiman. 

Dalam Kongres Nasional I yang diselenggarakan di Jakarta, PKBI menetapkan kerja sama dengan lembaga pemerintah sebagai strategi untuk memperluas jangkauan programnya. 

Di tahun yang sama, Presiden Soeharto mengesahkan Deklarasi Kependudukan Dunia, yang menegaskan pentingnya pengaturan jumlah anak dan jarak kelahiran sebagai bagian dari hak asasi manusia.

Kemajuan selanjutnya terjadi pada 17 Oktober 1968, saat diputuskan pendirian Lembaga Keluarga Berencana Nasional (LKBN) sebagai lembaga semi-pemerintah. 

Selanjutnya, tahun 1970, lahirlah Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang dipimpin oleh dr. Suwardjo Suryaningrat. 

Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1972, BKKBN diakui sebagai lembaga pemerintah non-departemen yang berada langsung di bawah naungan Presiden.

Kejayaan di Masa Orde Baru

Pada masa pemerintahan Orde Baru, pelaksanaan program pengendalian kelahiran mengalami perkembangan pesat karena memperoleh dukungan penuh dari Presiden Soeharto. 

Saat itu, keterlibatan semua jenjang pemerintahan, mulai dari kementerian, gubernur, bupati atau wali kota, camat, hingga lurah dan juga unsur militer sangat kuat dalam menyukseskan pelaksanaan kebijakan tersebut.

Tak hanya bantuan dari dalam negeri, dukungan dana dari lembaga-lembaga internasional, termasuk Bank Dunia, turut memperkuat implementasi program ini. 

Promosi yang intensif membuat kampanye pengendalian kelahiran menjangkau hingga wilayah terpencil di Indonesia dan berhasil membangkitkan kesadaran masyarakat luas.

Antara tahun 1970 hingga 1980, pendekatan pelaksanaan program ini dikenal dengan istilah “Management for the People.” 

Dalam kurun waktu tersebut, pemerintah menjadi aktor utama dalam pengambilan keputusan, sementara peran serta masyarakat tergolong minim. 

Pendekatan ini menekankan pada pencapaian target tertentu dan sering kali melibatkan aparat keamanan seperti kepolisian dan militer dalam kegiatan massal, termasuk pelayanan kontrasepsi, sehingga menimbulkan kesan adanya unsur tekanan dan kurangnya kebebasan masyarakat.

Namun, memasuki era 1980-an, pendekatan yang semula bersifat dari atas ke bawah mulai diubah. Kebijakan baru yang diberlakukan lebih menekankan pada keterlibatan masyarakat secara aktif, dengan istilah “Management with the People.” 

Dalam sistem baru ini, elemen paksaan dikurangi, dan masyarakat diberikan keleluasaan untuk menentukan jenis kontrasepsi sesuai dengan kebutuhan dan kenyamanan masing-masing individu.

Upaya yang dilakukan selama masa tersebut membuahkan hasil positif. Program pengendalian kelahiran mencapai sasaran yang telah ditetapkan secara nasional, dan pencapaian ini mendapat pengakuan dari dunia internasional. 

Salah satu bentuk pengakuan tersebut adalah penghargaan dari United Nations Population Fund (UNFPA) pada tahun 1989 berupa United Nations Population Award.

Perkembangan Organisasi BKKBN

Dari perspektif historis, lembaga pelaksana program pengendalian kelahiran di Indonesia bermula sebagai organisasi independen yang berdiri pada tahun 1957. Seiring waktu, statusnya berubah menjadi lembaga setengah pemerintah pada 1968.

Kemudian pada tahun 1970, resmi menjadi bagian dari struktur pemerintahan yang bertugas menjalankan dan mengatur jalannya program nasional pengendalian kelahiran hingga saat ini. 

Berikut ini adalah penjabaran singkat mengenai transformasi struktur organisasi tersebut:

Lembaga Pengelola Program Pengendalian Kelahiran Nasional

Awalnya didirikan untuk menjalankan dua peran utama: membentuk sistem kelembagaan dan mengatur semua jenis bantuan terkait pengendalian kelahiran. 

Setahun setelah berdiri, upaya memperkenalkan konsep pengendalian kelahiran kepada masyarakat berjalan dengan baik tanpa hambatan berarti. 

Karena itulah pemerintah mengambil langkah untuk mengintegrasikan inisiatif ini ke dalam agenda pembangunan nasional yang dirancang secara periodik lima tahunan.

Lembaga Pelaksana Berdasarkan Ketetapan Presiden Tahun 1970

Pemerintah membentuk lembaga resmi guna mengelola dan melaksanakan program pengendalian kelahiran secara lebih terstruktur. Tujuannya adalah memaksimalkan potensi dan sumber daya yang tersedia untuk memperkuat jangkauan program.

Pelaksanaannya melibatkan partisipasi aktif dari masyarakat dan instansi pemerintah, serta dilakukan secara sistematis dan terencana agar tujuan yang telah ditetapkan dapat tercapai. 

Lembaga ini bertanggung jawab langsung kepada kepala negara dan didampingi oleh forum pertimbangan khusus di bidang kependudukan. 

Pada tahap awal, cakupan wilayahnya meliputi enam provinsi di wilayah Jawa dan Bali, yaitu Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Timur, dan Bali.

Status sebagai Lembaga Pemerintah Berdasarkan Keputusan Presiden Tahun 1972

Melalui kebijakan baru ini, lembaga tersebut ditetapkan sebagai institusi pemerintah non-kementerian yang langsung berada di bawah wewenang kepala negara. 

Tugas utamanya adalah memberikan masukan dalam merumuskan kebijakan nasional di bidang pengendalian kelahiran sekaligus mengoordinasikan pelaksanaannya. 

Kepala negara tetap menjadi penanggung jawab utama program ini, sementara pimpinan lembaga bertanggung jawab langsung kepada presiden.

Cakupan wilayah program juga mengalami perluasan mencakup sepuluh provinsi tambahan di luar wilayah Jawa dan Bali tahap pertama, seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, dan Nusa Tenggara Barat.

Lebih lanjut, kebijakan ini menetapkan bahwa gubernur dan kepala daerah tingkat kabupaten/kota menjadi penanggung jawab pelaksanaan program di wilayah masing-masing.

Pembaruan Organisasi Berdasarkan Ketetapan Presiden Tahun 1978

Untuk mengimplementasikan kebijakan strategis dalam bidang pengendalian kelahiran dan kependudukan yang tertuang dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) tahun 1978, dilakukan penyesuaian struktur organisasi lembaga pelaksana program melalui Keputusan Presiden Nomor 38 Tahun 1978. 

Dalam kebijakan ini, wilayah operasional program pengendalian kelahiran diperluas lagi mencakup sebelas provinsi tambahan di luar wilayah Jawa dan Bali tahap kedua, yaitu Riau, Jambi, Bengkulu, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Maluku, Papua, dan Timor Timur.

Penyempurnaan Lembaga Berdasarkan Ketetapan Presiden Tahun 1983

Dalam dokumen arah pembangunan nasional tahun 1983, dirumuskan bahwa program pengendalian kelahiran diarahkan untuk meningkatkan taraf hidup ibu dan anak serta membentuk unit keluarga yang kecil, bahagia, dan mandiri melalui pengaturan kelahiran guna mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. 

Untuk merealisasikan hal tersebut, struktur lembaga pelaksana kembali disesuaikan melalui Keputusan Presiden Nomor 64 Tahun 1983.

Kebijakan ini juga mempertegas bahwa pengelolaan program pengendalian kelahiran sebagai bagian dari pembangunan nasional harus ditingkatkan dengan memaksimalkan penggunaan fasilitas dan sumber daya yang ada agar tujuan menurunkan angka kelahiran dapat tercapai serta kesejahteraan masyarakat semakin meningkat.

Perubahan Organisasi Berdasarkan Ketetapan Presiden Tahun 1993

Dalam upaya mempercepat terwujudnya keluarga kecil yang sehat dan mandiri, diperlukan peningkatan kolaborasi antara pemerintah dan masyarakat secara lebih menyeluruh. 

Pendekatan koordinatif, integratif, dan selaras menjadi dasar bagi dikeluarkannya Keputusan Presiden Nomor 109 Tahun 1993 yang menjadi pedoman baru dalam pelaksanaan program pengendalian kelahiran dan pembangunan keluarga sejahtera.

Penyesuaian Lembaga Berdasarkan Ketetapan Presiden Tahun 2000

Sejalan dengan dinamika program pengendalian kelahiran, perkembangan arah pembangunan nasional, era reformasi, serta tantangan globalisasi, dilakukan penyempurnaan kembali terhadap struktur organisasi pelaksana melalui Keputusan Presiden Nomor 20 Tahun 2000. 

Keputusan ini mengakomodasi berbagai perubahan program dan substansi dalam era baru pelaksanaan pengendalian kelahiran.

Dasar pertimbangan dari kebijakan ini adalah untuk mempercepat terbentuknya keluarga yang tangguh, mandiri, dan berkualitas melalui keterlibatan semua elemen masyarakat secara sinergis dan terintegrasi, termasuk dalam aspek pembangunan keluarga sejahtera dan pemberdayaan perempuan.

Dalam struktur ini, lembaga tetap berstatus sebagai institusi non-kementerian yang berada langsung di bawah kepala negara dan dipimpin oleh seorang kepala yang bertanggung jawab kepada Presiden, serta secara struktural berada dalam koordinasi Menteri yang menangani pemberdayaan perempuan.

Penyesuaian Berdasarkan Ketetapan Presiden Nomor 166 Tahun 2000

Sebagai bagian dari respons terhadap dinamika reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan, diterbitkanlah Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 166 Tahun 2000, yang kemudian diperbarui dengan Keputusan Presiden Nomor 178 Tahun 2000 tentang Struktur Organisasi dan Tugas Lembaga Pemerintah Non-Kementerian. Salah satu lembaga yang diatur dalam kebijakan ini adalah lembaga pelaksana program pengendalian jumlah penduduk dan kesejahteraan keluarga.

Berdasarkan aturan tersebut, lembaga ini memiliki mandat untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan yang berkaitan dengan pengendalian kelahiran dan pembangunan keluarga sejahtera sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Lembaga ini berstatus sebagai lembaga pemerintah non-kementerian, berada langsung di bawah Presiden, dan dipimpin oleh seorang kepala yang pelaksanaannya dikoordinasikan melalui Menteri yang menangani urusan pemberdayaan perempuan.

Penetapan Tugas Berdasarkan Keppres Nomor 103 dan 110 Tahun 2001

Melalui Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 103 Tahun 2001 yang kemudian diikuti oleh Keputusan Presiden Nomor 110 Tahun 2001, ditegaskan kembali bahwa lembaga ini tetap memegang tanggung jawab dalam melaksanakan tugas negara di bidang pengendalian kelahiran serta peningkatan kesejahteraan keluarga, dengan tetap mengacu pada regulasi yang berlaku.

Dalam ketentuan tersebut, lembaga ini dipimpin oleh seorang kepala, berstatus non-kementerian, dan berada di bawah Presiden dengan koordinasi teknis yang dilaksanakan oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia.

Sebagai implikasi dari kebijakan ini, sebagian wewenang lembaga tersebut mulai dialihkan kepada pemerintah daerah tingkat kabupaten dan kota. 

Mulai Januari 2004, struktur kelembagaan di tingkat daerah resmi menjadi bagian dari kewenangan masing-masing pemerintah kabupaten/kota. 

Dengan adanya pelimpahan tersebut, format institusi pelaksana program di tingkat daerah pun menjadi beragam—ada yang berbentuk dinas atau badan gabungan, dan ada pula yang berupa kantor khusus urusan pengendalian kelahiran.

Stagnasi Target Program KB Nasional

Sejak keberhasilan program pengendalian penduduk di Indonesia mendapatkan pengakuan dari dunia internasional, banyak negara berkembang mulai menjadikan Indonesia sebagai contoh dalam membangun sistem serupa. 

Hal ini disebabkan oleh keberhasilan luar biasa Indonesia dalam menjalankan upaya pengendalian kelahiran yang dinilai sebagai salah satu yang paling efektif di dunia. 

Peningkatan signifikan terlihat dari lonjakan angka partisipasi penggunaan alat kontrasepsi (CPR) yang melonjak dua kali lipat hingga mencapai sekitar 60% selama periode 1976 hingga 2002.

Di sisi lain, angka rata-rata kelahiran anak per wanita (TFR) juga berhasil ditekan secara signifikan, dari 5,6 menjadi 2,6. 

Capaian tersebut turut memberikan kontribusi besar terhadap kestabilan pertumbuhan ekonomi nasional yang tercatat rata-rata 5% per tahun sejak dekade 1980-an.

Namun demikian, pencapaian yang sempat menonjol tersebut kemudian mengalami perlambatan atau stagnasi. 

Hasil dari Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia selama kurun waktu 2002 hingga 2012 memperlihatkan bahwa rata-rata jumlah kelahiran masih berada di angka 2,6 anak per wanita. 

Kenaikan angka pengguna kontrasepsi pun tergolong lambat, hanya sekitar 1,5% per tahun. Selain itu, angka kematian ibu saat melahirkan tetap tinggi, yakni mencapai 190 kematian per 100.000 kelahiran hidup.

Salah satu faktor utama yang memengaruhi perlambatan ini adalah perubahan sistem dari pengelolaan terpusat ke sistem desentralisasi. 

Peralihan ini sering kali menyebabkan kebingungan dalam pembagian peran dan tanggung jawab antar lembaga pelaksana di daerah, sehingga pada praktiknya, sejumlah program tidak berjalan sebagaimana mestinya.

Revitalisasi Program KB Nasional

Selama kurang lebih 15 tahun terakhir, keterbatasan anggaran serta lemahnya komitmen dari pihak pemerintah menjadi hambatan utama dalam kemajuan program pengendalian kelahiran di Indonesia. 

Namun, setelah Indonesia turut serta dalam London Summit pada tanggal 11 Juli 2012, muncul kembali harapan untuk menghidupkan kembali efektivitas pelaksanaan program ini.

Pertemuan tersebut merupakan wadah global yang menyatukan berbagai pihak yang berkomitmen mendukung keberhasilan pengaturan jumlah kelahiran. 

Fokus utama dari forum ini adalah menurunkan jumlah rata-rata kelahiran melalui peningkatan jumlah individu yang menggunakan metode kontrasepsi modern.

Pada awal tahun 2016, Presiden Joko Widodo meresmikan kawasan khusus di salah satu desa di Jawa Barat sebagai bagian dari inisiatif baru dalam rangka memperluas cakupan program. 

Layanan kontrasepsi pun diberikan secara cuma-cuma melalui mekanisme jaminan kesehatan nasional. 

Selain itu, pemerintah juga berupaya memperbaiki kualitas sarana dan tenaga kesehatan agar sasaran dari program tersebut bisa lebih mudah tercapai.

Langkah-langkah ini turut diperkuat dengan peningkatan signifikan pada sektor pendanaan. 

Pemerintah menaikkan anggaran untuk program tersebut hingga lima kali lipat, dari hanya 700 miliar Rupiah pada tahun 2006 menjadi 3,8 triliun Rupiah pada tahun 2016. 

Jumlah tersebut termasuk salah satu alokasi dana terbesar di dunia dalam kategori serupa. Upaya revitalisasi ini mulai menunjukkan dampak positif. 

Berdasarkan survei internal yang dilakukan oleh lembaga terkait pada tahun 2015, diketahui bahwa rata-rata angka kelahiran telah menurun menjadi 2,3 anak per perempuan, sementara tingkat penggunaan metode kontrasepsi meningkat menjadi 60,2 persen. 

Target ke depan adalah menurunkan angka kelahiran menjadi 2,1 anak per perempuan dan meningkatkan pemakaian alat kontrasepsi hingga 66,3 persen.

Untuk mewujudkan target tersebut, perlu adanya perluasan akses terhadap informasi dan peningkatan promosi yang menyeluruh mengenai program pengendalian penduduk ini. 

Meskipun program tersebut telah dijalankan secara nasional, kenyataannya masih banyak warga, termasuk yang tinggal di daerah perkotaan, belum sepenuhnya mengetahui keberadaannya. 

Data dari survei internal juga mencatat bahwa hanya 29,3 persen dari perempuan yang telah menggunakan alat kontrasepsi mengaku mendapatkan informasi yang cukup mengenai layanan dan manfaatnya.

Sebagai penutup, sejarah KB mencerminkan perjalanan panjang bangsa dalam mengendalikan pertumbuhan penduduk demi mewujudkan keluarga kecil yang sehat dan sejahtera.

Terkini