Wisata Ziarah, Antara Iman dan Industri

Kamis, 03 Juli 2025 | 10:11:56 WIB
Wisata Ziarah, Antara Iman dan Industri

JAKARTA - Masyarakat Indonesia, khususnya umat Islam, telah lama menjadikan ziarah kubur sebagai bagian dari tradisi keagamaan yang sakral. Aktivitas ini bukan sekadar mengenang para leluhur atau tokoh agama, tetapi juga bentuk penghormatan kepada para wali dan ulama yang berperan penting dalam penyebaran Islam di tanah air. Namun dalam perjalanannya, ziarah kini tidak hanya dimaknai sebagai aktivitas spiritual, tetapi juga berkembang menjadi bagian dari kegiatan wisata religi yang semakin populer.

Ziarah yang awalnya hanya berkutat pada aspek ibadah kini masuk ke ranah sosial yang lebih luas. Fenomena ini muncul sebagai respons terhadap meningkatnya minat masyarakat untuk menjalankan ibadah yang juga sekaligus memberikan pengalaman budaya. Tradisi ini juga turut menggerakkan sektor ekonomi lokal, karena tempat-tempat ziarah menjadi magnet wisata bagi ribuan peziarah setiap tahunnya.

Di banyak tempat, makam wali dianggap sebagai lokasi yang penuh berkah. Kepercayaan ini mengakar kuat dalam keyakinan masyarakat, bahwa berdoa di tempat tersebut akan lebih mustajabah. Melalui prosesi tawassul, sosok wali yang diyakini memiliki karamah atau keistimewaan spiritual menjadi perantara harapan dalam doa.

Ziarah kini bahkan telah mengaburkan sekat antara kelompok keagamaan yang sebelumnya cenderung memandang praktik ini berbeda. Jika dulu ziarah identik dengan kalangan "abangan" dalam istilah Clifford Geertz, sekarang ziarah juga banyak dilakukan oleh kalangan santri yang aktif di masjid dan pesantren. Ini membuktikan bahwa ziarah telah menjadi milik bersama dalam ranah keagamaan Islam Indonesia.

Seiring waktu, unsur wisata mulai masuk dalam tradisi ini. Makam para wali kemudian dilihat tidak hanya sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai destinasi wisata yang potensial. Pemerintah daerah mulai menjadikan situs-situs ziarah sebagai andalan dalam strategi pengembangan pariwisata, lengkap dengan infrastruktur dan promosi budaya lokal.

Makam-makam seperti milik Sunan Kalijaga di Demak, Sunan Gunung Jati di Cirebon, dan Sunan Ampel di Surabaya menjadi pusat keramaian, bukan hanya karena nilai spiritualnya, tetapi juga karena peran mereka sebagai pusat pergerakan ekonomi. Pasar oleh-oleh, penginapan, jasa pemandu wisata, hingga UMKM lokal turut menggeliat karena aktivitas para peziarah.

Dalam konteks Islam, ziarah bukanlah sesuatu yang asing. Hadis Nabi Muhammad SAW menyebutkan, “Dulu aku melarang kalian ziarah kubur. Sekarang berziarahlah karena ia dapat mengingatkan pada kematian.” (HR. Muslim). Ini mempertegas bahwa ziarah adalah bentuk introspeksi, memperkuat kesadaran akan kematian, dan memperdalam spiritualitas seseorang.

Namun di balik geliat ekonomi dan pengembangan destinasi, muncul tantangan yang tak bisa diabaikan. Komersialisasi yang berlebihan sering kali mengaburkan niat utama dari ziarah itu sendiri. Alih-alih menjadi pengalaman kontemplatif dan sakral, aktivitas ini berisiko menjadi kegiatan yang hanya menonjolkan aspek ekonomi.

Pemandangan kios suvenir yang mengelilingi area makam, jasa pemandu spiritual yang terkadang memberi informasi tidak sesuai, hingga praktik pungutan liar dalam bentuk tarif parkir atau "donasi" menjadi keluhan yang semakin sering terdengar dari para peziarah. Semua ini menimbulkan kekhawatiran bahwa nuansa spiritual dalam wisata ziarah mulai tergeser oleh kepentingan ekonomi.

Di sisi lain, kehadiran wisata religi membawa berkah nyata bagi masyarakat lokal. Banyak warga menggantungkan mata pencaharian pada kunjungan para peziarah. Pelaku usaha kecil, pemilik losmen, dan penjaja makanan merasakan manfaat langsung dari geliat wisata ini. Oleh karena itu, penting untuk menjaga keseimbangan antara pemaknaan spiritual dan pengelolaan ekonomi.

Pemerintah dan pengelola kawasan ziarah perlu mengambil peran lebih aktif dalam pengaturan ini. Penataan lokasi, edukasi spiritual kepada pengunjung, serta penyediaan informasi yang benar dan mendidik menjadi langkah krusial agar nilai luhur dari tradisi ini tidak hilang. Pamflet keagamaan, ceramah berkala, dan pelibatan tokoh agama lokal bisa menjadi instrumen penguat spiritualitas peziarah.

Fenomena wisata religi bukan hanya terjadi di Indonesia. Di banyak negara, wisata berbasis spiritual menjadi sektor yang berkontribusi signifikan pada perekonomian nasional. Bahkan dalam beberapa dekade terakhir, studi akademik mencatat peningkatan minat terhadap bentuk wisata ini, sebagai bagian dari pencarian makna hidup di tengah dunia modern yang semakin sibuk.

Indonesia memiliki potensi besar dalam pengembangan wisata religi, terlebih dengan keberadaan makam para wali yang tersebar luas. Namun, kemajuan ini harus diiringi dengan pengelolaan yang tidak melenceng dari substansi ajaran. Nilai-nilai religius, sejarah lokal, dan budaya harus tetap menjadi landasan utama.

Ziarah dan wisata religi sejatinya bisa berjalan beriringan. Ketika nilai spiritual tetap dijaga dan dimuliakan, sementara manfaat ekonomi bisa dinikmati secara adil oleh masyarakat, maka harmoni dapat terwujud. Tradisi ini bukan hanya melestarikan warisan leluhur, tetapi juga mempererat hubungan sosial, meningkatkan ekonomi warga, dan memperkuat identitas keagamaan yang moderat dan inklusif.

Yang terpenting, arah perjalanan ziarah harus tetap mengarah kepada Sang Pencipta, bukan semata-mata kepada kenangan atau pencapaian duniawi. Spiritualitas sejati akan terus tumbuh bila niat yang mendasarinya tetap terjaga.

Terkini