Jejak Karbon Gadget yang Tak Terlihat Tapi Nyata

Rabu, 02 Juli 2025 | 10:23:24 WIB
Jejak Karbon Gadget yang Tak Terlihat Tapi Nyata

JAKARTA – Gadget kini telah menjadi bagian tak terpisahkan dalam keseharian kita. Namun, di balik kenyamanan dan hiburan yang ditawarkan, aktivitas digital dari perangkat ini ternyata menyimpan ancaman tersembunyi: jejak karbon digital.

Bayangkan, setiap kali kamu scrolling TikTok, streaming serial favorit, atau mabar (main bareng) game online, ada emisi karbon yang muncul sebagai konsekuensi energi yang dibutuhkan. Emisi ini mungkin tak terlihat seperti asap kendaraan bermotor, tetapi tetap berbahaya bagi lingkungan.

Apa Itu Jejak Karbon Digital?

Jejak karbon digital adalah emisi gas rumah kaca yang dihasilkan dari penggunaan perangkat digital, transmisi data, hingga penyimpanan informasi di pusat data. Bahkan saat kamu menyimpan dokumen di cloud, tindakan itu tetap menyumbang emisi karbon karena server tempat penyimpanan tersebut memerlukan listrik yang besar.

Untuk memahami lebih dalam, mari kita lihat tiga sumber utama penyumbang emisi karbon dalam dunia digital.

1. Gadget yang Kita Gunakan

Setiap perangkat digital seperti smartphone, laptop, hingga tablet, sudah meninggalkan jejak karbon sejak dari proses pembuatannya. Misalnya, produksi satu unit smartphone menyumbang emisi sekitar 60 kilogram CO₂e, jumlah yang setara dengan emisi mobil yang menempuh perjalanan sejauh 320 kilometer.

Begitu dipakai, gadget-gadget ini terus menyedot energi—baik saat digunakan untuk streaming, bermain game, maupun video call. Konsumsi energi tiap perangkat pun bervariasi. Desktop standar membutuhkan sekitar 30 watt, sedangkan komputer gaming bisa mencapai 500 watt.

Dengan miliaran perangkat aktif di seluruh dunia, bayangkan total konsumsi energinya. Tak heran jika perangkat pribadi menjadi kontributor besar dalam jejak karbon digital global.

2. Jaringan Transmisi yang Tak Pernah Tidur

Aktivitas digital tak bisa berjalan tanpa jaringan transmisi. Router Wi-Fi, menara seluler, kabel optik, dan perangkat jaringan lainnya bekerja 24/7 untuk memastikan data bisa terkirim dari satu perangkat ke lainnya. Semua infrastruktur ini membutuhkan pasokan listrik konstan.

Menurut data dari International Energy Agency (IEA), jaringan transmisi data global mengonsumsi antara 260 hingga 340 TWh listrik pada tahun 2022. Bahkan jaringan seluler menyumbang dua pertiga dari jumlah tersebut, yaitu antara 156 hingga 238 TWh.

3. Pusat Data: Jantung Aktivitas Digital

Pusat data adalah tempat seluruh data dari aktivitas digital kita diproses dan disimpan. Server, perangkat penyimpanan, serta sistem pendingin di pusat data bekerja tanpa henti dan menyedot energi dalam jumlah masif.

Sistem pendingin sendiri bisa menyumbang hingga 40% dari total konsumsi listrik tahunan sebuah pusat data. Dan dengan makin masifnya penggunaan kecerdasan buatan (AI), kebutuhan energi pun diprediksi melonjak.

IEA memperkirakan konsumsi listrik global pusat data yang pada 2022 mencapai 460 TWh, bisa naik dua kali lipat menjadi lebih dari 1.000 TWh pada tahun 2026. Lonjakan ini akan menambah beban pada sistem energi dunia yang masih bertumpu pada bahan bakar fosil.

Indonesia: Konsumen Digital Aktif dengan Jejak Besar

Sebagai negara dengan jumlah pengguna internet terbesar keempat di dunia, Indonesia berada dalam posisi krusial. Survei terbaru dari Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) tahun 2024 mencatat bahwa ada 221,5 juta pengguna internet di Indonesia.

Menariknya, 34,4% dari pengguna tersebut berasal dari Generasi Z, yang dikenal sangat aktif secara digital. Indonesia bahkan tercatat sebagai negara dengan durasi tertinggi menggunakan TikTok, dengan rata-rata 38 jam 26 menit per bulan.

Selain itu, 95,3% pengguna internet di Indonesia aktif bermain game online, dan 42,2% di antaranya menghabiskan lebih dari empat jam per hari untuk bermain game. Aktivitas ini jelas menyedot energi dalam jumlah besar.

Sayangnya, kebutuhan energi digital di Indonesia mayoritas masih dipenuhi dari pembangkit listrik berbasis batu bara. Pada tahun 2023, bauran energi baru terbarukan (EBT) Indonesia baru mencapai 13,09%, jauh dari target 23% pada 2025. Ini berarti, sebagian besar aktivitas digital kita disokong oleh “energi kotor” yang memperbesar jejak karbon digital per kapita.

Menuju Generasi Digital yang Lebih Hijau

Menuju masa depan digital yang berkelanjutan tentu tak bisa dilakukan sendirian. Perubahan harus datang dari berbagai lapisan: individu, perusahaan, hingga pemerintah.

Langkah Kecil dari Individu

Ada sejumlah cara yang bisa kita lakukan sebagai pengguna gadget agar lebih ramah lingkungan, seperti:

-Mengurangi aktivitas digital yang tidak perlu.

-Melakukan digital decluttering, misalnya menghapus file atau email lama. Satu email dengan lampiran bisa menghasilkan sekitar 50 gram CO₂e.

-Menggunakan gadget lebih lama dan merawatnya dengan baik agar tidak cepat rusak, sehingga mengurangi emisi dari proses produksi perangkat baru.

Inisiatif Perusahaan

Sejumlah perusahaan di Indonesia mulai menerapkan praktik ramah lingkungan. Contohnya, DCI Indonesia membangun pusat data yang ditenagai panel surya. Langkah ini menjadi contoh bagaimana teknologi dan keberlanjutan bisa berjalan beriringan.

Peran Strategis Pemerintah

Pemerintah memiliki peran penting dalam mengatur arah industri digital melalui kebijakan yang mendukung transisi energi dan efisiensi teknologi. Kebijakan yang mendorong pembangunan pusat data berbasis energi terbarukan dan efisiensi energi digital sangat dibutuhkan.

Anak Muda, Kunci Perubahan

Generasi muda, khususnya Generasi Z dan milenial, memegang kunci penting dalam transisi menuju era digital hijau. Bukan hanya melalui kebiasaan digital sehari-hari, tapi juga dengan menjadi suara kolektif yang menuntut industri dan pemerintah bertindak lebih bertanggung jawab.

Mereka adalah penentu masa depan ekosistem digital Indonesia. Menjadi generasi sadar digital adalah langkah awal menuju peradaban digital yang tak hanya canggih, tapi juga berkelanjutan dan bersahabat dengan bumi.

Terkini