JAKARTA — Sorotan terhadap praktik perbankan kembali mencuat, kali ini melalui upaya hukum dan advokasi yang dilakukan Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI) Jakarta. Organisasi tersebut mengadukan dugaan kelalaian yang dilakukan Bank Rakyat Indonesia (BRI), yang dituding berpotensi merugikan nasabah dan melanggar prinsip kehati-hatian dalam pemberian kredit.
Salah satu kasus yang menjadi sorotan adalah dialami oleh Endang Setia Handayani (56), warga Pondok Aren, Tangerang Selatan. Didampingi PBHI Jakarta, Endang mengaku sebagai korban kejahatan perbankan setelah aset rumahnya terancam hilang lantaran diduga digunakan sebagai jaminan kredit tanpa prosedur yang transparan dan akuntabel oleh BRI.
“Bank dalam memberikan kredit kepada nasabah didasarkan atas kepercayaan, oleh karena itu untuk menjaga keamanannya sudah seharusnya bank di dalam menyalurkan kredit benar-benar yakin bahwa nasabahnya akan mampu mengembalikan pinjaman yang diterimanya dengan waktu yang telah dijanjikan,” tegas Ketua PBHI Jakarta, Muhamad Ridwan Ristomoyo, S.H., kepada media.
Sengketa Informasi dan Upaya Hukum
Endang dan tim kuasa hukumnya kini sedang mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat. Permohonan ini diajukan dengan nomor perkara 009/II/KIP-PSI/2025, sebagai bentuk tuntutan terhadap BRI untuk membuka sejumlah dokumen penting yang berkaitan dengan pinjaman yang menjerat Endang.
Dokumen yang diminta mencakup surat perjanjian kredit antara PT Mitra Sempurna (selaku debitur) dengan BRI Cabang Tanah Abang, sertifikat hak tanggungan atas nama Endang Setia Handayani, akta perusahaan (AHU) PT Mitra Sempurna, serta surat perjanjian kerja (SPK). Namun, PBHI menyesalkan tidak adanya itikad baik dari pihak bank untuk memenuhi permintaan tersebut.
“Pihak Bank BRI tidak mau memberikan dokumen-dokumen tersebut, seakan-akan Bank BRI sedang menutupi sesuatu, padahal Ibu Endang merupakan penjamin dalam pengajuan kredit tersebut. Terlebih lagi, rumah Ibu Endang lah yang menjadi jaminan,” kata Ridwan.
Dorongan Evaluasi Internal
Lebih jauh, PBHI mendesak agar BRI bertanggung jawab secara institusional, bukan hanya mempersoalkan kesalahan pegawai secara individual. Organisasi ini menegaskan bahwa dalam sistem hukum Indonesia, bank dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindakan kelalaian atau manipulasi yang dilakukan oleh karyawannya.
“PBHI Jakarta meminta kepada pihak Bank BRI untuk mengusut pegawai mereka yang melakukan tindakan ceroboh dan tidak menerapkan prinsip kehati-hatian. Selain itu, pihak Bank BRI juga harus menindak tegas pegawai yang terbukti lalai dan merugikan nasabah, serta melakukan manipulatif kerja sama dengan perusahaan-perusahaan yang tidak aktif dalam memajukan perusahaannya,” ungkapnya.
Menurut Ridwan, prinsip kehati-hatian atau prudent banking principle merupakan pijakan utama dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Ia menambahkan, prinsip ini mencakup kewajiban mengenali nasabah (know your customer/KYC) dan penerapan sistem informasi debitur yang memadai.
“Adapun rangkaian dari prinsip kehati-hatian adalah Prinsip Mengenal Nasabah dan Sistem Informasi Debitur,” imbuhnya.
Permintaan Perlindungan ke Komnas HAM
Sebagai bentuk eskalasi kasus, PBHI Jakarta telah mengagendakan pelaporan langsung ke Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM). Laporan rencananya diserahkan pada 1 Juli 2025 pukul 16.00 WIB.
“Dalam kasus ini, PBHI Jakarta menilai pejabat BRI telah melanggar prinsip kehati-hatian sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Perbankan. Karena itu, kami meminta Komnas HAM untuk memberikan jaminan perlindungan bagi korban kejahatan perbankan,” ujar Ridwan.
Langkah ini menandai perluasan ruang advokasi terhadap korban kejahatan perbankan, dengan memperluas ranahnya dari persoalan hukum bisnis menjadi isu hak asasi manusia.
Inisiatif Posko dan Evaluasi Direksi BUMN
Tak berhenti pada pengaduan, PBHI juga berencana membuka Posko Pengaduan bagi masyarakat yang merasa menjadi korban praktik serupa di dunia perbankan. Posko ini ditujukan untuk mendorong pengawasan yang lebih luas, termasuk mendesak Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN), Erick Thohir, untuk mengevaluasi bank-bank pelat merah yang dianggap lalai atau menyalahgunakan kewenangannya.
Langkah PBHI ini turut merespons pernyataan Presiden Prabowo Subianto pada April 2025 lalu, yang meminta agar seluruh direksi BUMN yang dinilai tidak amanah dan menyalahgunakan kewenangan segera dievaluasi dan diganti.
“Para direksi dan komisaris di dalam tubuh perbankan juga harus menyadari bahwa tanggung jawab tidak hanya berada di level pegawai. Sesuai Pasal 1367 ayat (1) KUHPerdata, bank juga dapat dimintai pertanggungjawaban terhadap kerugian yang ditimbulkan akibat perbuatan orang yang berada di bawah pengawasannya,” tutur Ridwan.
Membangun Budaya Transparansi di Dunia Perbankan
Kasus ini menjadi pengingat pentingnya membangun kembali budaya kehati-hatian dan transparansi dalam sistem perbankan nasional. Dalam dunia yang semakin digital dan kompleks, prinsip mengenali nasabah dan akuntabilitas dalam pengelolaan kredit menjadi benteng terakhir dalam menjaga kepercayaan publik terhadap lembaga keuangan.
Langkah PBHI bersama Ibu Endang menunjukkan bahwa masyarakat tidak tinggal diam menghadapi praktik perbankan yang dinilai merugikan dan tidak adil. Jika dibiarkan, kasus serupa berpotensi melebar dan mencoreng kredibilitas sistem perbankan nasional.